Heart beats fast
Jantungku berdebar kencang
Colors and prom-misses
Warna-warni dan janji-janji
How to be brave
Bagaimana agar berani
How can I love when I’m afraid to fall?
Bagaimana bisa aku cinta saat aku takut jatuh?

But watching you stand alone
Namun melihatmu sendirian
All of my doubt suddenly goes away somehow
Segala bimbangku mendadak hilang
One step closer
Selangkah lebih dekat

CHORUS
I have died every day waiting for you
Tiap hari aku tlah mati karena menantimu
Darling don’t be afraid
Kasih jangan takut
I have loved you for a thousand years
Aku tlah mencintaimu ribuan tahun
I’ll love you for a thousand more
Aku kan mencintaimu ribuan tahun lagi

Time stands still
Waktu berhenti berputar
Beauty in all she is
Segala tentangnya begitu indah
I will be brave
Aku akan berani
I will not let anything take away
Takkan kubiarkan segalanya berlalu begitu saja

What’s standing in front of me
Apa yang menghalangi di depanku
Every breath
Tiap tarikan nafas
Every hour has come to this
Tiap jam telah sampai di sini
One step closer
Selangkah lebih dekat

CHORUS
And all along I believed I would find you
Dan selama itu aku yakin aku kan temukan dirimu
Time has brought your heart to me
Waktu tlah membawa hatimu padaku
I have loved you for a thousand years
Aku tlah mencintaimu ribuan tahun
I’ll love you for a thousand more
Aku kan mencintaimu ribuan tahun lagi

One step closer
Selangkah lebih dekat
One step closer
Selangkah lebih dekat

CHORUS
And all along I believed I would find you
Dan selama itu aku yakin aku kan temukan dirimu
Time has brought your heart to me
Waktu tlah membawa hatimu padaku
I have loved you for a thousand years
Aku tlah mencintaimu ribuan tahun
I‘ll love you for a thousand more
Aku kan mencintaimu ribuan tahun lagi

Lyrics Source : http://terjemah-lirik-lagu-barat.blogspot.com.

 

Masa Pra Penjajahan

Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara. Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore. Kesultanan-kesultanan tersebut –sebagaimana tercatat dalam sejarah- itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.

Masa Penjajahan Belanda

Disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa. Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC. Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut: 1. Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. 2. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda. 3. Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat). 4. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling  (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.[10]mahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.

Masa Penjajahan Jepang

Nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa,

Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.Mendirikan pesantren untuk memberikan pendidikan agama Islam

Masa Kemerdekaan (1945)

Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam. Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI.

 

Masa Kemerdekaan (Periode revolusi hingga dekrit presiden 1950

tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949. Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950. Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat.

 

Masa orde Lama-Reformasi

Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. terbentuknya MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan; salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya. Pada masa orde lama Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya –menurut Hazairin- hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri. Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu.

 

Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002. Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Referensi:

1. Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005.
2. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta, Oktober 1998.
3. Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, Jakarta,  27 September 2000.

Zakat dan Pajak dalam Islam

Posted: Desember 12, 2012 in Fiqh, hukum Islam, pajak, zakat

ِA. Pendahuluan

Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara, sebab 78% dari dana APBN berasaldari pajak. Sumber pajak yang jumlahnya besar ini berada di tangan penduduk muslim. Sebagaimana diketahui penduduk muslim di Indonesia berjumlah sekitar 87% dari total penduduk. Walaupun penduduk muslim 87% dari penduduk Indonesia, tetapi dalam pemasukan pajak tidak berbanding lurus dengan banyaknya jumlah penduduk muslim yang ada.[1] Hal ini mungkin saja disebabkan penduduk muslim enggan membayar pajak, karena telah ada kewajiban pajak dalam agama Islam yang biasa disebut zakat.

Dalam Islam kewajiban zakat memiliki makna yang sangat fundamental. Selain berkaitan erat dengan aspek ketuhanan[2], zakat juga erat kaitannya dengan aspek sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan.

Yang kemudian menjadi persoalan adalah adanya anggapan bahwa umat Islam di Indonesia yang membayar  zakat seolah-olah terkena  pengeluaran berganda, selain membayar pajak juga membayar zakat dari  penghasilan yang diperolehnya.[3] Pada tanggal 23 Agustus 2010, pemerintah telah menerbitkan PP no 60 tahun 2010 yang berisi bahwa zakat dan atau sumbangan keagamaan lain yang bersifat wajib dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Padahal, sampai saat ini sebenarnya masih terjadi perdebatan di kalangan ahli agama mengenai boleh tidaknya menganggap pajak yang telah dibayarkan sebagai pembayaran zakat.[4]

Berdasarkan konteks tersebut maka timbullah sebuah pertanyaan, bagaimanakah pandangan ahli fiqh tentang zakat sebagai pengurang pajak? Oleh karena itu, kami ingin sedikit mengagas pertanyaan tersebut dalam sebuah makalah yang mungkin dengan hal ini akan ditemukan jawaban atas persoalan di atas. Sehingga dapat menimbulkan kemaslahatan bagi masyarakat yang telah menyalahi persepsi mengenai zakat dan pajak.

 

  1. B.     Substansi Kajian
  2. 1.      Pengetian Zakat

Dilihat dari sudut etimologi, kata zakat merupakan mashdar dari zakā yang berarti berkah, tumbuh bersih dan baik.[5] Pendapat lain mengatakan bahwa kata dasar zakā, berarti bertambah dan tumbuh, sedangkan setiap sesuatu yang bertambah disebut zakat artinya bertambah. Bila satu tanaman tumbuh tanpa cacat, kata-kata zakat berarti bersih.[6]

Adapun zakat menurut terminology, banyak para ahli mendefinisikannya.Misalnya dari segi istilah fiqh berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada orang yang berhak, disamping berarti mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri.[7]Madzhab Maliki mendefinisikan zakat dengan mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nishab (batas kuantitas yang mewajibkan zakat) kepada yang berhak menerimanya (mustahiqq). Dengan catatan, kepemilikan itu penuh dan mencapai hawl (setahun), bukan barang tambang dan bukan pertanian. Madzhab Hanafi mendefinisikan zakat dengan menjadikan sebagian harta yang khusus dari harta yang khusus sebagai milik yang khusus, ditentukan oleh syari’at karena Allah SWT. Madzhab Syafi’i mendefinisikan zakat dengan ungkapan untuk keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan cara khusus. Sedangkan madzhab Hanbali mendefinisikan zakat dengan hak yang wajib (dikeluarkan) dari harta yang khusus untuk kelompok yang khusus pula.[8]

Menurut Nawawi, jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat karena yang dikeluarkan itu “menambah banyak, membuat lebih berarti dan melindungi kekayaan dari kebinasaan”. Sedangkan menurut Ibnu Taymiyah, jiwa orang yang berzakat itu menjadi bersih dan kekayaannya akan bersih pula, bersih dan bertambah maknanya. Hal ini berarti bahwa makna tumbuh dan berkembang itu tidak hanya diperuntukkan buat harta kekayaan tetapi lebih jauh dari itu.[9]

Menurut UU No. 38 Tahun 1999 yang dimaksud dengan zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.[10]Zakat adalah hak tertentu yang diwajibkan Allah terhadap harta kaum muslimin yang di peruntukkan bagi fakir miskin dan mustahik lainnya, sebagai tanda syukur atas nikmat Allah dan untuk mendekatkan diri kepada –Nya serta membesihkan diri dari hartanya[11].

Para pemikir ekonomi Islam kontemporer mendifinisikan zakat sebagai harta yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau pejabat berwenang, kepada masyarakat umum atau individu yang bersifat mengikat, final, tanpa mendapat imbalan tertentu yang dilakukan pemerintah sesuai dengan kemampuan pemilik harta, yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan delapan golongan yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an, serta untuk memenuhi tuntutan politik bagi keuangan Islam[12]

 

 

  1. 2.      Pengertian Pajak

Secara bahasa pajak  dalam bahasa arab disebut dengan Dharibah, yang berarti mewajibkan, menetapkan, menentukan  Para ulama memakai ungkapan dharibah untuk menyebut harta yang dipungut sebagai kewajiban[13]. Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama Adh-Dharibah,[14] yang artinya adalah beban. Ia disebut beban karena merupakan kewajiban tambahan atas harta setelah zakat, sehingga dalam pelaksanaannya akan dirasakan sebagai sebuah beban. Secara bahasa maupun tradisi, dharibah dalam penggunaannya memang mempunyai banyak arti, namun para ulama memakai ungkapan dharibah untuk menyebut harta yang dipungut sebagai kewajiban dan menjadi salah satu sumber pendapatan negara. Sedangkan kharaj adalah berbeda dengan dharibah, karena kharaj adalah pajak yang obyeknya adalah tanah (taklukan) dan subyeknya adalah non-muslim. Sementara jizyah obyeknya adalah jiwa (an-nafs) dan subyeknya adalah juga non-muslim.[15]

Pajak menurut para ahli keuangan ialah : kewajibab yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa dapat prestasi kembali dari negara, dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran umum disatu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi.[16]

Pajak adalah a compulsory levy made by public authorities for which nothing is received direcly in return.[17]Sommerfield mendefinisikan pajak adalah suatu pengalihan sumber-sumber yang wajib dilakukan dari sektor swasta kepada sektor pemerintah berdasarkan peraturan tanpa mendapat suatu imbalan kembali yang langsung dan seimbang, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas – tugasnya dalam menjalankan pemerintahan.[18]

Sedangkan menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa imbalan (kontra prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (public investment).[19]

Menurut UU No 28 Tahun 2007, pasal 1, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.[20]

Gaji Inayah berpendapat bahwa pajak adalah kewajibab untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau pejabat berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan tertentu. Ketentuan pemerintah ini sesuai dengan kemampuan sipemilik harta dan dialokasikan untuk mencukupi kebutuhan pangan secara umum dan untuk memenuhi tuntutan politik keuangan bagi pemerintah.[21]

Abdul Qadim Zallum berpendapat bahwa pajak adalah harta yang diwajibkan Allah SWT, kepada kaum muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos – pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi baitul mal tidak ada uang atau harta.[22]

PJA. Adriani menyatakan bahwa pajak adalah iuran wajib pada negara yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak dapat prestasi kembali, yang lansung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiaya pengeluaran-pengeluaran umum yang berhubungan dengan tugas pemerintah[23]

 

 

  1. 3.      Asas Teori Wajib Pajak Dan Zakat
  2. a.      Asas Hukum Mengenai Wajib Pajak

1)      Teori Perjanjian

Para filosof abad ke-19 berpendapat, bahwa pajak diwajibkan atas dasar hubungan timbal balik negara dengan masyarakat. Menurut para pendukung teori timbal balik, perjanjian ilmiah yang kokoh antara negara dengan pembayar pajak mengemukakan berbagai aliran. Mirabau berpendapat bahwa pajak adalah pembayaran di muka yang dilakukan oleh seseorang terhadap perlindungan sekelompok manusia. Adam Smith menyatakan bahwa pajak adalah perjanjian berbentuk pembayaran jasa atas pekerjaan. Montesque dan Hobes berpendapat bahwa pajak adalah  perjanjian berbentuk jaminan keamanan.[24]

2)      Teori Kedaulatan Negara

Teori ini mempunyai pandangan, bahwa negara melakukan fungsinya untuk melayani kebutuhan masyarakat, tidak untuk kepentingan pribadi. Untuk melaksanakan fungsinya negara memerlukan pembiayaan, oleh karena itu negara punya hak untuk mewajibkan penduduknya atas dasar kedaulatan menanggung pembiayaan itu sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing warganya.[25]

 

  1. b.      Asas Wajib Zakat

Adapun asas wajib zakat adalah sebagai berikut:

1)      Teori beban umum

Teori ini didasarkan bahwa merupakan hak Allah – sebagai pemberi nikmat – untuk membebankan kepada hamba-Nya apa yang dikehendakinya, baik kewajiban badani maupun harta, untuk melaksanakan kewajibannya dan tanda syukur atas nikmatnya. Dan untuk menguji siapa yang paling baik amalnya diantara mereka dan untuk menguji apa yang ada di dalam hati mereka.[26] Karena sesubgguhnya manusia tidak ditakdirkan Allah untuk bermain-maindan dibiarkan sesuka hatinya, firman Allah:

óOçFö7Å¡yssùr&$yJ¯Rr&öNä3»oYø)n=yz$ZWt7tãöNä3¯Rr&ur$uZøŠs9Î)Ÿwtbqãèy_öè?ÇÊÊÎÈ

115.  Maka apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?

Dan firman Allah:

Ü=|¡øts†r&ß`»|¡RM}$#br&x8uŽøIビ´‰ß™ÇÌÏÈ

36.  Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?

 

2)      Teori Khilafah

Harta adalah amanah Allah. Dan manusia sebagai pemegang amanah atas harta itu. Allahlah sang pemilik langit dan bumi.[27] Seperti firman-Nya:

¬!ur$tB’ÎûÏNºuq»yJ¡¡9$#$tBur’ÎûÇÚö‘F{$#y“Ì“ôfu‹Ï9tûïÏ%©!$#(#q䫯»y™r&$yJÎ/(#qè=ÏHxåy“Ì“øgs†urtûïÏ%©!$#(#qãZ|¡ômr&Óo_ó¡çtø:$$Î/ÇÌÊÈ

31.  Dan Hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang Telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (syurga).

 

Harta kekayaan adalah rizki dari Allah untuk manusia sebagai anugerah dan nikmat darinya. Dan setelah memperoleh nikmat itu, ia harus mengeluarkan sebagian rizkinya itu dengan tujuan meninggikan rahmat Allah, dan menolong saudara-saudaranya sesama hamba Allah, sebagai tanda syukur atas segala nikmat yang diberikan kepadanya.[28]

 

3)      Teori pembelaan antara pribadi dan masyarakat

Jamaah mempunyai hak atas harta individu, yaitu hak yang tidak merampas hak miliknya yang telah ditetapkan baginya. Hak itu berupa bagian tertentu untuk kepentingan umum. Kabanyakan hak itu dituntut pada waktu ada hal-hal yang diperlukan.[29]

$yg•ƒr’¯»tƒšúïÏ%©!$#(#qãYtB#uäŸw(#þqè=à2ù’s?Nä3s9ºuqøBr&Mà6oY÷t/È@ÏÜ»t6ø9$$Î/HwÎ)br&šcqä3s?¸ot»pgÏB`tã<Ú#ts?öNä3ZÏiB4Ÿwur(#þqè=çFø)s?öNä3|¡àÿRr&4¨bÎ)©!$#tb%x.öNä3Î/$VJŠÏmu‘ÇËÒÈ

29.  Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu.[30] Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

 

4)      Teori persaudaraan

Masyarakat Islam ibarat satu bangunan yang kokoh dan kuat, yang satu menunjang yang lainnya.Ia adalah satu keluarga,saling tolong menolong dan saling menjaga satu sama lainnya, bahkan ia bagaikan satu jasad, bila satu keluarga menderita, maka semuanya menderita.[31]

(المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يسلمه).

 

  1. 4.      Dalil alquran tentang zakat dan pajak
    1. a.      Dasar hukum wajib pajak

Dalam Al-qur’an: Dalam surat An-Nisa : 29

$yg•ƒr’¯»tƒšúïÏ%©!$#(#qãYtB#uäŸw(#þqè=à2ù’s?Nä3s9ºuqøBr&Mà6oY÷t/È@ÏÜ»t6ø9$$Î/HwÎ)br&šcqä3s?¸ot»pgÏB`tã<Ú#ts?öNä3ZÏiB4Ÿwur(#þqè=çFø)s?öNä3|¡àÿRr&4¨bÎ)©!$#tb%x.öNä3Î/$VJŠÏmu‘ÇËÒÈ

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil. QS.An-Nisa : 29

Dalam ayat diatas Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya

 

  1. b.      Dasar hukum wajib zakat

Dalam Al-qur’an: Dalam surat At- Taubah: 103

õ‹è{ô`ÏBöNÏlÎ;ºuqøBr&Zps%y‰|¹öNèdãÎdgsÜè?NÍkŽÏj.t“è?ur$pkÍ5Èe@|¹uröNÎgø‹n=tæ(¨bÎ)y7s?4qn=|¹Ö`s3y™öNçl°;3ª!$#urìì‹ÏJy™íOŠÎ=tæÇÊÉÌÈ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkandan mensucikanmereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(Q.S At-Taubah:103)

 

  1. 5.      Subyek Zakat dan Pajak

Kalau subyek zakat adalah orang-orang muslim yang memiliki harta kekayaan yang cukup senishab, yang disebut dengan istilah A-Muzakkiy dalam Hukum Islam, maka subyek pajak sudah ditetapkan dalam undang-undang RI nomor 7 Tahun 1983, Bab II Pasal 2, ayat 1 dan 2 berbunyi:

  1. Yang menjadi subyek pajak adalah orang pribadi atau perorangan warisanyang belum terbagi sebagai kesatuan menggantikan yang berhak, badan yang terdiri dari perseroan terbatas, petseroan komanditer, badab usaha milik negara dan daerah dengan atas nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan perorangan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi, perkumpulan koperasi, yayasan atau lembaga dan bentuk usaha tetap.
  2. Subyek pajak terdiri dari pajak dalam negeri dan pajak luar negeri yaitu subyek pajak yang tidak bertempat tinggal, tidak didirikan, atau tidak berkedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
  1. Meskipun subyek pajak yang telah ditentukan sejak awal perkembangan Islam, yang hanya meliputi orang-orang muslim. Ahlu Dzimmi dan Ahlu Harbi, tetap ketentuan perpajakan yang telah diundangkan oleh pemerintah Indonesia, tidak bertentangan dengan Hukum Islam, karena pajak yang telah dikumpulkan dari wajib pajak, digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk yang sebenarnya suatu hal yang menjadi salah satu sasaran ajaran Islam.[32]

 

  1. 6.      Obyek Zakat dan Pajak

Obyek zakat adalah kekayaan orang-orang muslim baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan oleh para fuqoha’ antara lain:

  1. Emas dan Perak (mata Uang)
  2. Barang-barang perniagaan
  3. Hasil tanaman (pertanian maupun perkebunan)
  4. Hasil tambang dari rikaz
  5. Penghasilan profesi (gaji, upah dan honorarium)

Tetapi obyek pjak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperolehwajib pajak baik yang berasal dari Indonesia, maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk di dalamnya.

Yang dimaksud dengan penghasilan sebagai obyek pajak di atas masih dijabarkan pada bagian lain dalam Undang-Undang ini, tapi dalam uraian ini memang senagaj tidak di muatnya, karena hanya dimaksudkan sebagai bahan perbandingan dengan pelaksanaan pajak pada masa awal perkembangan Islam dimana obyek pajak ketika itu hanya terbatas pada harta perniagaan, pertanian, perkebunan dan peternakan. Meskipun demikian, tetap tidak bertentangan dengan obyek pajak yang telah ditatapkan dalam Undang –[Undang tersebut, kecuali hanya maerupakan pengembangan dari apa yang telah ada, sesuai dengan perkembangan perekonomian di masa sekarang ini.

  1. Kewajiban Zakat sebelum Islam

Zakat merupakan syari’at yang telah dibawa oleh para Rasul terdahulu, lalu dikuatkan lagi dalam Syari’at Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Makaa sebenarnya waktu syari’at Islam tidak hanya melarang tradisi lama yang bertentangan dengannya, serta tidak semata-mata mengadakan peraturan baru, tetapi dapat pula melestariakan syafa’atnya lama yang sangat bermanfaat terhadap kehidupan umat Islam misalnya shalat, zakat, puasa, haji dan beberapa bentuk muamalah, misalnya jual-beli, sewa menyewa dan sebagainya.

Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan bahwa zakat merupakan salah satu syari’at umat-umat terdahulu, misalnya:

  1. Yang dibawa oleh Nabi Ibrahim. Sebagaimana dalam Al-Qur’an berbunyi:

öNßg»uZù=yèy_ur Zp£Jͬr& šcr߉öku‰ $tR̍øBr’Î/ !$uZøŠym÷rr&ur öNÎgø‹s9Î) Ÿ@÷èÏù ÏNºuŽöy‚ø9$# uQ$s%Î)ur Ío4qn=¢Á9$# uä!$tFƒÎ)ur Ío4qŸ2¨“9$# ( (#qçR%x.ur $oYs9 tûïωÎ7»tã ÇÐÌÈ

Artinya: Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah. (Al-Anbiya: 73)

Yang dibawa oleh Nabi Ismail dalam Al-Qur’an berbunyi:

öä.øŒ$#ur ’Îû É=»tGÅ3ø9$# Ÿ@ŠÏè»oÿôœÎ) 4 ¼çm¯RÎ) tb%x. s-ϊ$|¹ ωôãuqø9$# tb%x.ur Zwqߙu‘ $|‹Î;¯R ÇÎÍÈ   tb%x.ur ããBù’tƒ ¼ã&s#÷dr& Ío4qn=¢Á9$$Î/ Ío4qx.¨“9$#ur tb%x.ur y‰ZÏã ¾ÏmÎn/u‘ $wŠÅÊötB ÇÎÎÈ

Artinya: 54 dan Ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan Dia adalah seorang Rasul dan Nabi.

55. dan ia menyuruh ahlinya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya.

Karena pelaksanaan zakat merupakan salah satu merupakan salah satu wahana untuk meratakan tingkat pendapatan masyarakat, yang sejak umat-umat terdahulu sudah dirasakan manfaatnya, terutama sekali golongan ekonomi lemah (fakir miskin). Maka Syari’at Islam melestarikannya dengan menyempurnakan syari’at-syari’atnya, sesuai dengan tuntunan situasi dan kondisi yang dialami oleh masyarakat Islam. Maka kewajiban zakat mengandung unsur ibadah murni (mahda) dan unsur sosial atau ibadah umum (‘aammah atau ghairu mahdha).

Tetapi penentuan permulaan diwajibkannya zakat dalam Islam,terdapat yang saling berbeda di antara para Fuqaha.

  1. Pendapat pertama mengatakan bahwa zakat itu diwajibkan pada tahun kedua Hijriyah. Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad bin Ismail Ash Shan’aaniy, Muhammad Al-Khudhari dan Abdul Wahhab Khallaf dengan mengemukakan beberapa alasan sebagai berikut:
    1. Sebelum hijrah ke Madinah, para Ulama sepakat bahwa tidak pernah ada suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh hartawan Muslim berupa zakat dari hartanya.
    2. Sebelum tahun kedua Hijriyah, tidak sedikit orang-orang yang tergolong kaya maupun miskin, namun ketika hanya merupakan kerelaan hati para pemberi infaq.
    3. Meskipun diawal timbulnya Islam sudah ada anjuran untuk mengeluarkan infaq, namun infaq itu termasuk zakat karena kadarnya tidak ditentukan, kecuali hanya merupakan kerelaan hati para pemberi infaq.
    4. Pendapat kedua mengatakan bahwa zakat itu diwajibkan, bersamaan dengan kewajiban shalat sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Pendapat ini dikemukakan oleh Syeh Abbas Kaharoh dan Ibnu Kastir,

Karena pelaksana zakat merupakan salah satu wahana untuk meratakan tingkat pendapatan masyarakat, yang sejak umat-umat terdahulu sudah di rasakan manfaatnya, terutama sekali golongan ekonomi lemah ( fakir miskin). Maka syariat islam melestarikannya dengan menyempurnakan syari’at-syari’atnya, sesuai dengan tuntunan situasi dan kondisi yang di alami oleh masyarakat islam. Maka kewajiban zakat mengandung unsure ibadah murni ( mahdah ) dan unsur sosial atau ibadah ( ‘aammah atau ghairuh mahdah ).

Tetapi penentuan permulaan diwajibkannya zakat dalam islam, terdapat dua pendapat yang saling berbeda di antara para Fuqoha: Pendapat pertama mengatakan bahwa zakat itu di wajibkan pada tahun kedua hijriah. Pendapat ini di kemukakan oleh Muhammad bin Ismail Ash Shan’aany,Muhammad Al-Khudari dan Abdul Wahhab Khallaf: dengan mengemukakan alas an sebagai berikut:

1). Sebelum hijrah ke madinah, para ulama sepakat bahwa tidak pernah ada suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh hartawan muslim berupa zakat dari hartanya;

2). Sebelum tahun kedua hijriah, tidak sedikit orang-orang yang tergolong kaya maupun miskin,namun ketika itu tidak ada perintah untuk mengeluarkan zakat;

3). Meskipun diawal timbulnya islam sudah ada anjuran untuk mengeluarkan infaq, namun infaq itu tidak termasuk zakat karena kadarnya tidak ditentukan, kecuali hanya merupakan kerelaan hati para pemberi infaq.

b.  Pendapat kedua mengatakan bahwa zakat itu diwajibkan, bersamaan dengan kewajiban shalat sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Pendapat ini di kemukakan oleh Syekh Abbas Kaharoh dan Ibnu Katsir; dengan mengemukakan beberapa alasan sebagai berikut;

1)  Ayat-ayat mengenai perintah zakat, pada umumnya beriringan dengan perintah shalat. Karena itu, ketika shalat diwajibkan, maka zakatpun turut diwajibkan.

2)  Diantara sekian banyak ayat mengenai perintah zakat yang beriringan dengan perintah shalat, terdapat beberapa ayat Makkiyah; antara lain berbunyi:

ô‰s% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$# ÇÊÈ   tûïÏ%©!$# öNèd ’Îû öNÍkÍEŸx|¹ tbqãèϱ»yz ÇËÈ   tûïÏ%©!$#ur öNèd Ç`tã Èqøó¯=9$# šcqàÊ̍÷èãB ÇÌÈ   tûïÏ%©!$#ur öNèd Ío4qx.¨“=Ï9 tbqè=Ïè»sù ÇÍÈ

1. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,

2. (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya,

3. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,

4. Dan orang-orang yang menunaikan zakat,

Karena zakat merupakan salah rukun islam yang begitu penting untuk dijadikan sarana peningkatan tarap hidup fakir-miskin sebagai bagian dari masyarakat islam, yang turut menentukan berhasilnya perjuangan islam menata kehidupan bermasyarakat, maka banyak ayat mengenai kewajiban zakat diturunkan sebelum hijrah ke madinah. Oleh karena itu banyak waktu yang digunakan oleh nabi untuk mempersiapkan umat islam melaksanakan kewajiban itu, termasuk upaya untuk merukunkan antar suku dan keluarga yang saling bertentangan.

6. Kewajiban Pajak Sebelum Islam

Dalam Tafsir Al-Manar,Rasyid Ridha menerangkan panjang lebar bahwa kerajaan Persia yang lebih awal menciptakan system perpajakan yang dianggap paling lengkap ketika itu, dimana para wajib pajak dibagi menjadi empat klarifikasi, dengan batas umur mulai dari 20 tahun sampai 50 tahun. Pajak yang telah dikumpulkannya, digunakan untuk memberikan gaji kepada pejabat kerajaan yang berfungsi untuk mengatur jalannya pemerintahan melindungi kerajaan serta pahlawan-pahlawan yang berjasa terhadap kerajaan.

Istilah pajak dalam islam, baru dikenal pada tahun sembilan Hijriyah menurut pendapat yang kuat, meskipun ada pendapat yang lemah mengatakan bahwa tahun kedelapan Hijriyah.

Ketika nabi masih hidup, wajib pajak baru terbatas pada orang-orang Dzimmi dan Ahlul Kitab yang ditaklukkan dalam peperangan. Penarikan pajak ini, dilatar-belakangi oleh turunnya perintah dalam Al-Quran yang berbunyi :

(#qè=ÏG»s% šúïÏ%©!$# Ÿw šcqãZÏB÷sム«!$$Î/ Ÿwur ÏQöqu‹ø9$$Î/ ̍ÅzFy$# Ÿwur tbqãBÌhptä† $tB tP§ym ª!$# ¼ã&è!qߙu‘ur Ÿwur šcqãYƒÏ‰tƒ tûïϊ Èd,ysø9$# z`ÏB šúïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tFÅ6ø9$# 4Ó®Lym (#qäÜ÷èムsptƒ÷“Éfø9$# `tã 7‰tƒ öNèdur šcrãÉó»|¹ ÇËÒÈ

29. Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah[638] dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.

Kewajiban zakat dalam islam dengan dasar ayat tersebut, dikembangkan oleh Khalifah Umar bin Khatab dengan mewajibkan seluruh penduduk yang tunduk dibawah kekuasaan pemerintah islam. Lalu hasil penarikan pajak itu digunakannya untuk memberikan gaji kepada pejabat pemerintah dan serdadunya. Hal ini dilakukan oleh khalifah setelah Kerajaan Persia ditaklukkan oleh tentara islam, maka disanalah beliau mempelajari sistem perpajakan yang telah berlaku di negeri itu. Lalu diterapkannya di seluruh wilayah pemerintahan islam. Maka itulah yang dimaksudkan oleh Ad-Dainury bahwa Khalifah Umar yang mula-mula menerapkan sistem perpajakan yang sama dengan sistem yang pernah berlaku di kerajaan Persia.[33]

 

 

  1. 8.      Persamaan zakat dan pajak
  2. a.      Unsur Paksaan

Seorang muslim yang memiliki harta yang telah memenuhi persyaratan zakat, juga melalaikan atau tidak mau menunaikannya, penguasa yang diwakili oleh para petugas zakat, wajib memaksanya. Dengan firman Allah dalam QS Al-Taubah: 103

õ‹è{ô`ÏBöNÏlÎ;ºuqøBr&Zps%y‰|¹öNèdãÎdgsÜè?NÍkŽÏj.t“è?ur$pkÍ5Èe@|¹uröNÎgø‹n=tæ(¨bÎ)y7s?4qn=|¹Ö`s3y™öNçl°;3ª!$#urìì‹ÏJy™íOŠÎ=tæÇÊÉÌÈ

Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan  mensucikan  mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

 

Dalam sebuah riwayat Abu Daud dikemukakan bahwa banyak orang yang mengingkari kewajiban zakat di zaman Abu Bakar al- Shidiq, beliau mengatakan: Demi Allah, saya akan memerangi orang-orang yang memisahkan kewajiban shalat dengan kewajiban zakat. Sesungguhnya zakat itu hak yang terkait dengan harta. Demi Allah, jika mereka menolak mengeluarkan zakat untuk yang biasa mereka tunaikan kepada Rasulullah saw., pasti aku akan memeranginya, karena penolakkan tersebut.Bagi seseorang yang telah termasuk dalam kategori wajib pajak, dapat dikenakan tindakkan tegas oleh Negara, baik secara langsung maupun tidak langsung.[34]

 

  1. b.      Unsur Pengelola

Asas pelaksanaan pengelolaan zakat didasarkan pada firman Allah dalam QS Al-Taubah: 60

$yJ¯RÎ)àM»s%y‰¢Á9$#Ïä!#ts)àÿù=Ï9ÈûüÅ3»|¡yJø9$#urtû,Î#ÏJ»yèø9$#ur$pköŽn=tæÏpxÿ©9xsßJø9$#uröNåkæ5qè=è%†ÎûurÉ>$s%Ìh9$#tûüÏB̍»tóø9$#ur†ÎûurÈ@‹Î6y™«!$#Èûøó$#urÈ@‹Î6¡¡9$#(ZpŸÒƒÌsùšÆÏiB«!$#3ª!$#uríOŠÎ=tæÒO‹Å6ymÇÏÉÈ

            Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,  pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Berdasarkan ayat tersebut, dapat diketahui bahwasanya pengelolaan zakat bukanlah semata-mata yang dilakukan secara individual, dari muzakki diserahkan langsung kepada mustahik, tetapi dilaksanakan oleh sebuah lembaga yang khusus menangani zakat, yang memenuhi persyaratan yang disebut dengan amil zakat.[35]

Di samping perkaitan dengan perintah Al-Qur’an, pengelolaan zakat oleh amil zakat yang mempunyai beberapa kelebihan atau keunggulan yaitu:[36]

  1. Untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat
  2. Menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat
  3. Untuk mencapai efisiensi, efektivitas, dan tempat sasaran dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat
  4. Untuk memperlihatkan syi’ah Islam dalam penyelenggaraan Negara dan pemerintah yang Islami

 

  1. c.       Dari Sisi Tujuan
    1. Pihak menerima zakat ialah untuk memenuhi kebutuhan hidup terutama kebutuhan primer sehari-hari dan tersucikan hati dari rasa dengki dan kebencian yang sering menyelimuti hati melihat orang kaya yang bakhil.
    2. Kepentingan kehidupan social ialah zakat yang bernilai ekonomis, merealisasikan fungsi harta hanya alat perjuangan untuk menegakkan agama Allah dan mewujudkan keadilan sosial.

 

  1. Dalam ketentuan pajak ialah  tidak adanya imbalan tertentu, demikian halnya dalam zakat. Seseoarang membayar zakat adalah selaku masyarakat islam.
  2. Pajak pada zaman modern mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi dan politik disamping tujuan keuangan, maka zakat pun mempunyai tujuan yang lebih jauh dan jangkauan yang lebih luas pada aspek –sapek yang disebutkan tadi dan aspek –aspek lain, semua itu sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat[37].

 

 

  1. 9.      Perbedaan zakat dan Pajak

Terdapat beberapa perbedaan antara zakat dan pajak yang terpenting yaitu:[38]

  1. Zakat mengandung arti suci, tumbuh, dan berkah.

Orang yang mengeluarkan zakat, jiwanya bersih dari sifat kikir, tamak, hartanya tidak kotor lagi, karena hak orang lain telah disisihkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya.

Dalam pandangan agama Allah  pajak adalah utang, pajak tanah, dan sebagainya, yang dibayar sehingga pajak adalah beban yang berat yang dipaksakan walaupun hasil pajak itu juga dimanfaatkan untuk membangun dan kepentingan Negara. Ada dorongan yang membuat orang tidak berkeberatan mengeluarkan zakat itu seperti firman Allah dalam QS Al-Baqarah: 276

ß,ysôJtƒª!$#(#4qt/Ìh9$#‘Î/öãƒurÏM»s%y‰¢Á9$#3ª!$#urŸw=Åsヨ@ä.A‘$¤ÿx.?LìÏOr&ÇËÐÏÈ

Artinya: Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah, dan Allah tidak menyukai Setiap        orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.

  1. Zakat adalah ibadah yang diwajibkan kepada umat sebagai tanda bersyukur kepada Allah dan mendekatkan diri kepadanya.
  1. Zakat ketentuannya dari Allah dan Rasulnya, yaitu penentuan nishabnya dan penyalurannya.
  2. Zakat adalah kewajiban yang bersifat permanent, terus-menerus berjalan bersama hidup di atas bumi ini.
  3. Wajib pajak berhubungan dengan perintah (penguasa) dan adakalanya orang menghindar dari kewajiban membayar pajak, kecuali orang yang benar-benar sadar sebagai warga Negara.
  4. Pos-pos pengeluaran zakat, sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan kemudian diikuti oleh amal perbuatan Rasulullah dan para sahabatnya.
  5. Maksud dan tujuan zakat mengandung pembinaan spritual dan moral yang lebih tinggi dari maksud dan tujuan pajak.

 

Meskipun pajak dan zakat memiliki titik singgung yang sama, yaitu kewajiban yang mengikat, dan kekuasaan yang menekan, namun di antara keduanya terdapat perbedaan penting, yaitu:[39]

  1. Bahwa zakat itu adalah ibadah, dan pajak adalah kewajiban kepada negara.
  2. Dari aspek kewajiban. Zakat hanya diwajibkan bagi umat Islam, sedangkan umatyang beragama lain tidak terkena kewajiban zakat. Sedangkan pajak, wajib bagi setiap warganegara, baik yang beragama Islam maupun lainnya.
  3. Subyek zakat adalah orang kaya. Hal ini dibuktikan bahwayang harus membayar zakat adalah orang yang hartanya telah mencapai nishab. Sedangkan pajaknampaknya tidak pandang bulu, semua warga negara baik kaya maupun miskin harus bayar pajak.Terutama pajak konsumsi, yaitu PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Setiap orang yang membeli suatubarang, secara otomatis sebenarnya dia telah membayar pajak, karena harga yang dibayarnya itusudah termasuk PPN.
  4. Secara tegas, Al-Qur’an menyatakan bahwa zakat hanyadiperuntukkan bagi depatan golongan mustahik, yaitu fakir, miskin, amil zakat, muallaf, riqob,gharimin, ibnu sabil, dan fi sabilillah (QS. At-Taubah: 60). Adapun peruntukan pajak adalah sangattergantung situasi dan kondisi negara pada saat itu. Suatu saat digunakan untuk membanguninfrastruktur, lain waktu untuk program pendidikan, atau untuk membayar pokok dan bunga pinjaman.
  5. dari aspek pemanfaatan. Menurut agama Islam, zakat harus disalurkan secaralangsung kepada yang berhak (yaitu delapan asnaf mustahik), tidak boleh ditahan-tahan terlalu lama.Sedangkan pajak, secara konsep dan praktek, pemanfaatannya adalah secara tidak langsung. Jadipembayar pajak tidak bisa menuntut pemerintah untuk segera menggunakannya untuk kepentinganrakyat, tetapi tergantung pada mekanisme yang ada di pemerintahan (pemerintah dan DPR).
  6. Agama Islam sudah mengatur secara rinci tentang tarif zakat, danhal tersebut sudah baku, tidak bisa diubah-ubah. Sedangkan tarif pajak bisa diubah disesuaikandengan kondisi.
  7. Zakat adalah memberikan sebagian harta menurut kadar yang ditentukan oleh Allahbagi orang yang mempunyai harta yang telah sampai nishabynya [10]. Sedangkan pajak tidak ada ketentuan yang jelas kecuali ditentukan oleh penguasaa di suatu tempat.
  8. Zakat berlaku bagi kaum muslimin saja, hal itu lantaran zakat berfungsi untuk menyucikan pelakunya, dan hal itu tidak mungkin kita katakan kepada orang kafir karena orang kafir tidak akan menjadi suci malainkan harus beriman terlebih dahulu. Sedangkan pajak berlaku bagi orang-orang kafir yang tinggal di tanah kekuasaan kaum muslimin
  9. Yang dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang penarikan sepersepuluh dari harta manusia adalah pajak yang biasa ditarik oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, maka ia bukanlah pajak, karena zakat termasuk bagian dari harta yang wajib ditarik oleh imam/pemimpin dan dikembalikan/diberikan kepada orang-orang yang berhak.
  10. Zakat adalah salah satu bentuk syari’at Islam yang cicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan pajak merupakan sunnahnya orang-orang jahiliyah yang asal-usulnya biasa dipungut oleh para raja Arab atau non Arab, dan diantara kebiasaan mereka ialah menarik pajak sepersepuluh dari barang dagangan manusia yang melalui/melewati daerah kekuasannya.[40]
  1. Penetapan nishab dan persentase zakat ditetapkan oleh syariat, maka hukumnya tetap dan tidak berubah. Sedangkan pajak ditetapkan oleh Ulil amri, maka merekalah yang menentukan dan menghapuskan.
  2. Pajak berhubungan antara warga dan negara. Sedangkan zakat adalah hubungan manusia dengan Tuhannya. Seorang muzakki akan membayar zakatnya, meskipun tidak ada yang menagihnya.
  3. Pajak terbatas sasarannya, hanya pada target materi; sedangkan zakat memiliki sasaran Ruhiyah, akhlak, dan insaniyah (kemanusiaan). Zakat adalah ibadah yang sekaligus pungutan

 

Jika diliat dari tiap-tiap aspek, maka perbedaan zakat  dan pajak yakni;

  1. a.      Dari Segi Nama dan Etikanya:

Kata zakat menurut bahasa, berarti suci, tumbuh dan berkembang. Dalam syari’at islam zakat untuk mengungkapkan arti dari bagian harta yang wajib dikeluarkan untuk fakir miskin dan para mustahik lainya. Sebagai mana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat: 276

ß,ysôJtƒª!$#(#4qt/Ìh9$#‘Î/öãƒurÏM»s%y‰¢Á9$#3ª!$#urŸw=Åsヨ@ä.A‘$¤ÿx.?LìÏOr&ÇËÐÏÈ

yang artinya:’’Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah“ Sedangakan pajak diambil dari kata dharaba, yang artinya utang, pajak, tanah atau upeti.Yaitu sesuatu yang mesti dibayar, sesuatu yang menjadi beban. Seperti yang dikatakan dalam Al- Qur’an surat Al-Baqarah ayat: 61

3ôMt/ΎàÑurÞOÎgøŠn=tæä’©!Éj‹9$#èpuZx6ó¡yJø9$#ur

yang artinya: “ Dan timpakan atas mereka kehinaan dan kemiskinan

 

  1. b.      Mengenai Hakikat dan Tujuannya:

Zakat adalah ibadah yang yang diwajibkan kepada orang islam, sebagai tanda syukur kepada Allah SWT dan mendekatkan diri kepadanya. Adapun pajak adalah kewajiban dari negara semata –mata yang tidak ada hubungannya dengan makna ibadat dan pendekatan diri.

 

  1. c.       Mengenai Batas Nisab dan Ketentuanya:

Zakat adalah hak yang ditentukan oleh Allah, sebagai pembuat syariat. Dialah yang menentukan batas nisab bagi setiap macam benda juga Allah memberikan ketentuan atas kewajibab zakat itu seperlima, sepersepuluh, separuh, sampai seperempat puluh. Berbeda dengan pajak yang tergantung pada kebijaksanaan dan kekuatan penguasa baik mengenai objek, presentase, harga dan ketentuannya, bahkan ditetapkan dan dihapuskan pajak tergantung pada penguasa sesuai dengan kebutuhan.

 

  1. d.      Mengenai Kelestarian dan Kelangsungan:

Zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap dan terus – menerus, adapun pajak tidak memiliki sifat yang tetap dan terus – menerus, baik mengenai macam, presentase, dan kadarnya.

 

  1. e.       Mengenai Pengeluaranya:

Zakat mempunyai sasaran khusus yang ditetapkan oleh Allah SWT dalam Qur’an dan dijelaskan oleh Rosulullah SAWdengan perkataan dan perbuatantya, sasaran itu kemanusiaan dan keislaman, sedangkan pajak dikeluarkan untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran umum negara, sebagai mana ditetapkan pengaturanta oleh penguasa.

 

  1. f.        Hubungannya dengan Penguasa:

Pajak selalu berhubungan antara wajib pajak dengan pemerintah yang berkuasa. Karena pemerintah yang yang mengadakan, pemerintah yang memungutnya dan juga membuat ketentuan wajib pajak, adapun zakat adalah hubungan pezakat dengan Tuhannya, Allah lah yang memberinya harta dan mezajibkan membayar zakat.

 

  1. g.      Maksud dan Tujuan :

Zakat mempunyai tujuan spiritual dan moral yang legih tinggi dari pajak. Tujuanya cukup jelas dan tegas dalam firman Allah mengenai keadaan pemilik harta yang berkewajiban mengeluarkan zakat, Firmannya adalah : ’’ Ambillah sedekah dari sebagian harta mereka, dengan sedekah itu kamu membersihkan dan mensucikan dan berdoalah buat mereka, sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentuan jiwa bagi mereka. Sedangkan pajak tidak mempunyai tujuan yang luhur, selain untuk menghasilkan pembiayaan (uang) untuk mengisi kas negara (madzhab netro pajak)[41].

 

 

  1. 10.  Pendapat Para Ulama tentang Zakat dan Pajak[42]
  2. a.      Pendapat Syekh Ulaith

Syekh Ulaith dalam fatwanya dari madzhab Maliki menyebutkan bahwa seseoarang yang memiliki ternak yang sudah mencapai nisabnya dan dipungut uang setiap tahunya tetapi tidak atas nama zakat, maka ia tidak boleh berniat zakat dan jika ia berniat zakat maka kewajibannya tidak menjadi gugur sebagaimana telah diftwakan oleh Nasir al- Hatab.

 

  1. b.      Fatwa Sayid Rasyid Ridha

Seseorang yang mempunyai tanah dan telah dipungut uangnya separuh danseperempat oleh orang nasrani  tidaklah termasuk kewajibab zakat, karena sesungguhnya dari hasil bumi itu adalah dari harta zakat yang wajib dikeluarkan pada delapan sasaran (delapan ashnaf) menurut nash, maka bebaslah pemilik tanah dari kewajibanya. Harta yang dipungut orang nasrani tadi dianggap sebagai pajak dan tidak menggugurkan wajib zakat, hal ini berarti bahwa pajak tidak dapat dianggap sebagai zakat.

 

  1. Fatwa Syakh Mahmud Syaltut

Dalam masalah yang dibicarakan, bahwa zakat bukanlan pajak. Pada prinsipnya pendapat beliau sama dengan ulama – ulama yang mengatakan bahwa zakat dan pajak berbeda asas dan sasaranya. Zakat kewajibab atas Allah sedangkan pajak kewajiban kepada pemerintah (penguasa).

 

  1. d.      Pendapat Syekh Abu Zahrah

Bahwa pajak itu sampai sekarang tidak memiliki nilai-nilai khusus, yang dapat memberikan jaminan social, padahal tujuan pokok pajak adalah menanggulangi masalah social kemasyarakatan.

 

Dari keempat pendapat ulama tersebut dapat dipahami, bahwa zakat harus di keluar sesudah memenuhi persyaratan, Waupun seseorang telah membayar pajak.Sebaiknya pajak boleh dipungut bila diperlukan, Waupun zakat sudah ditunaikan.

 

 

  1. 11.  Zakat sebagai pengurang pajak

Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa ulama terbagi menjadi tiga pendapat dalam hal ini. Pertama, adalah Dr.Yusuf Qardawi dengan pendapatnya bahwa “zakat adalah kewajiban agama dan pajak adalah kewajiban terhadap negara”. Kedua, Dr. Hasan Turobi, Sudan dengan pendapatnya bahwa pajak tidak wajib bahkan haram. Ketiga, adalah pendapat yang menyamakan pajak dengan zakat yaitu Masdar F. Masudi yang mengatakan bahwa zakat adalah roh dan pajak adalah badannya.

 

  1. a.      Pendapat Pertama, Zakat tidak sama dengan pajak

Beberapa ulama berpendapat bahwa dalam harta kekayaan ada kewajiban lain selain zakat. Dalilnya adalah QS Al-Baqarah: 177; Al-An’am: 141; Al-Ma’un: 4-7; Al-Maidah: 2; Al-Isra’: 26; An-Nisa’: 36; al-Balad: 11-18, dan lain-lain. Jalan tengah dari dua perbedaan pendapat ini adalah bahwa kewajiban atas harta yang wajib adalah zakat, namun jika datang kondisi yang menghendaki adanya keperluan tambahan (darurah), maka aka nada kewajiban tambahan lain berupa pajak (dharibah). Pendapat ini misalnya dikemukakan oleh Qadhi Abu Bakar Ibn al-Aarabi, Imam Malik, Imam Qurtubi, Imam Syatibi, Mahmud Syaltut, dan lain-lain[43]

Jika memang negara sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan inipun harus terpenuhi beberapa syarat.[44] Dengan memakai paradigma bahwa zakat tidak sama dengan pajak, para ulama kemudian membolehkan umat Islam untuk membayarkan pajak di samping kewajiban untuk membayar zakat.[45]

Ada 3 persoalan yang berkaitan dengan pembayaran zakat dan pajak yang harus di laksanakan kaum muslim:[46]

Pertama, dalil-dalil yang membolehkan adanya kewajiban pajak di luar zakat. Kedua , syarat yang harus di perhatikan dalam kewajiban pajak. Ketiga , kritik terhadap tidak adanya ketentuan pajak di luar zakat.

 

1)      Dalil-dalil yang Membolehkan Adanya Kewajiban Pajak di Samping Zakat[47]

Ada 5 alasan yang membolehkan kewajiban pajak di samping pembayaran zakat yang harus di laksanakan kaum muslim, yaitu:

a)      Jaminan/ solidaritas sosial merupakan suatu kewajiban

Pajak merupakan sumber pembiayaan bagi kebutuhan social oleh karena itu, apabila dana zakat tidak mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan social tersebut, maka dibolehkan adanya pungutan-pungutan di luar zakat seperti pajak.

b)      Sasaran zakat itu terbatas, sedangkan pembiayaan banyak sekali

Zakat harus di gunakan pada sasaran yang di tentukan oleh syariah dan menempati fungsinya yang utama dalam menegakkan solidaritas social .atas dasar itu ulama berpendapat bahwa zakat tidak boleh di pergunakan untuk membangun jembatan , perbaikan jalan dan yang lainnya. Maka untuk membiayai kepentingan umum dibolehkan adanya ketentuan pajak bagi kaum muslim.

c)      Kaidah-kaidah hukum syara’

Dengan menggunakan kaidah yang berlandaskan nash (yaitu Al-Qur’an dan Sunnah), pajak bukan hanya dibolehkan, tetapi juga diwajibkan pemungutannya untuk merealisasikan kepentingan umat dan negara, apabila sumber penerimaan lain tidak mencukupi.

d)     Jihad atas harta dan tuntutannya yang besar

Islam mewajibkan kepada umatnya untuk berjihad di jalan Allah dengan harta jiwa. Salah bentuk jihad dengan harta yang diperintahkan adalah kewajiban lain di luar zakat.

e)      Kerugian dibalas dengan keuntungan

Dana yang diperoleh dari zakat dipergunakan untuk membiayai segala keperluan negara yang manfaatnya kembali kepada seluruh rakyat.

 

2)      Syarat-syarat Pajak

Sistem pajak yang di akui dalam sejarah Islam dibenarkan, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1.                           i.      Tidak ada sumber pendapatan lain.
  2.                         ii.      Pembagian beban pajak yang adil
  3.                       iii.      Di pergunakan untuk membiayai kepentingan umat bukan untuk maksiat.
  4.                       iv.      Persetujuan para ahli dan cendekia[48]

 

3)      Kritik terhadap orang yang enggan  membayar pajak

Keengganan sebagian masyarakat yang tidak mau membayar pajak karena menganggap zakat lebih utama dari yang lain. Alasan yang mereka kemukakan adalah sebagai berikut:

a)      Tidak ada kewajiban di luar zakat

Menurut pendapat kalangan ahli fiqh, bahwa tidak ada kewajiban lain atas harta selain zakat. Zakat hanya satu-satunya kewajiban atas harta dan tidak boleh menentukan kewajiban lain selain zakat.

b)      Menghormati hak pribadi

Islam menghormati milik pribadi dan menjadikan tiap orang lebih berhak atas hartanya sendiri dan mengharamkan harta orang lain. Alasan ini kurang dapat di terima karena penghormatan Islam terhadap milik pribadi tidak memutuskan hubungan haknya terhadap harta orang-orang miskin dan orang lemah dan mempunyai hak atas harta tersebut .

 

  1. b.      Pendapat Kedua, Membayar Pajak Tanpa Zakat[49]

Menurut Masdar Farid Ma’udi, proses kemanunggalan roh zakat kedalam badan pajak sudah barang tentu harus terjadi, pertama kali dari komitmen pribadi-pribadi mukmin sebagai pembayar pajak. Yakni apabila selama ini pajak hanya ditunaikan semata-mata hanya untuk memenuhi keharusan (keterpaksaan)sekular kepada negara, maka kini dengan komitmen itu, pajak diniati sebagai ibadah memenuhi perintah Allah untuk menolong sesama dan menegakkan keadilan semesta. Dalam bahasa syari’atnya, komitmen itu terjadi dengan cara meniatkan zakat ke dalam pembayaran pajak (dengan mekanisme niat dalama hati masing-masing pembayar pajak yang beriman), sama sekali tidak memerlukan ijin undang-undang atau perintah formal apapun juga. Akan tetapi dari sesuatu yang bersifat personal dan sederhana.[50]

Dengan masuknya spirit zakat ke dalam pajak, maka menurutnya : (a) Rakyat wajib pajak beriman akan menunaikan pembayaran pajaknya bukan lagi semata-mata sebagai keharusan sekular yang tak bermakna, melainkan sebagai tuntutan iman, sebagai ibadah karena Allah bagi tegaknya keadilan dan kemaslahatan semesta. (b) Rakyat pembayar pajak akan terpangggil oleh imannya untuk secara langsung atau melalui wakil-wakilnya, selalu kritis (ber-amar ma’ruf nahi munkar) terhadap negara dalam hal pengelolaan pajak serta kekuasaan yang ditimbulkannya, apakah benar-benar mensejahterakan rakyat, terutama yang lemah, atau justru untuk menyengsarakannya. (c) Rakyat pembayar pajak dengan spiritualitas (niat) zakat akan segera merubah persepsinya terhadap negara, dari kebiasaan memandang negara sebagai dewa perkasa yang bersemayam di ubun-ubunnya menjadi hanya sebagai administratur (‘amil) yang harus selalu melayani kepentingan segenap rakyat, sekali lagi dengan prioritas utama yakni fuqara’ dan masakin-nya.[51]

Gagasan seperti ini pada dasarnya merupakan intisari dari ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa berbagai pamahaman boleh dikembangkan untuk memenuhi kemaslahatan manusia, asal jangan sampai menghalalkan yang haram, atau mengharamkan yang dihalakan :

حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَ لاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا{رواه الترمذى}[52]

Artinya : “Diceritakan kepada kami oleh Katsir bin Abdullah bin ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; kaum muslimin itu bertransaski dengan syaratnya, kecuali satu syarat yang tidak boleh dilakukan, mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.” (HR. al-Turmudzi)

Dalam konteks pajak sebagai zakat, negara harus melayani rakyat. Pengertian rakyat di sini adalah asnaf delapan tersebut. Rakyat di sini beda dengan pengertian rakyat dalam UUD 1945 pasal 33; bumi, laut, air dan kekayaan di dalamnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Ternyata yang menikmati adalah para pajabat yang korup.Rakyat yang dimaksud di sini harus dimulai dari yang paling kecil yang dalam konteks zakat adalah fakir miskin.Tapi intinya segala hal yang dibayarkan melalui pajak harus dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemaslahatan rakyat.Kalau pajak tersebut digunakan untuk membiayai tentara, maka tentara tersebut harus yang manusiawi kepada rakyatnya, bukannya malah menembaki rakyat.Kalau pajak tersebut digunakan untuk membiayai birokrasi, maka birokrasi tersebut harus maksimal melayani masyarakat bukannya malah menyunat uang rakyat.Ia harus melayani tanpa pandang bulu, dan lain-lain.[53]

Menurut Abu Hanifah, tanah yang terkena pajak tidak terkena zakat, sekalipun pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dibeli oleh orang Muslim. Alas an-alasan yang dikemukakan oleh abu Hanifah adalah sebagai berikut;[54]

  1. Hadis Ibnu Mas’ud bahwa nabi bersabda,

لا يجتمع عشر وخراج في أرض مسلم (الحديث)

  1. Menurut riwayat, Darqan setelah masuk Islam, Khalifah Umar memerintahkan agar tanah Darqan kepada diserahkan kepadanya dan dipungut pajaknya. Ini jelas bahwa Umar memerintahkan untuk memungut pajaknya saja bukan zakatnya.
  2. Para penguasa (umara) dan ulama tidak menyuruh untuk memungut zakat dan pajak bersama-sama pada tanah yang semula kena pajak.
  3. Yang menyebabkan adanya pajak dan zakat itu adalah sama (satu), ialah tanahnya subur dan dapat menghasilkan. Sebab apabila tidak menghasilkan apa-apa, tidak terkena pajak atau zakat. Dan apabila penyebabnya sama dan tanahnya juga sama, maka tidaklah terkena dua beban, yakni pajak dan zakat, seperti halnya seseorang yang memiliki sejumlah ternak yang telah mencapai nisabnya lalu diperdagangkan maka ia tidak terkena dua macam zakat, ialah zakat ternak dan perdagangan. [55]

Menurut Masjfuk Zuhdi, tidak perlunya idak perlunya tidak perlunya membayar zakat jika sudah membayar pajak didasarkan pada dalil istishab dan kaidah hokum yang berbunyi الأصل بقاء ما كان على ما كان[56]

 

  1. c.       Pendapat ketiga, Pajak Tidak Boleh Dibebankan Sama Sekali Kepada Kaum Muslimin

            Ulama berbeda pendapat terkait apakah ada kewajiban kaum muslim atas harta selain zakat. Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa zakat adalah satu-satunya kewajiban kaum muslim atas harta. Barang siapa telah menunaikan zakat, maka bersihlah hartanya dan ebbaslah kewajibannya.Dasarnya adalah berbagai hadis Rasulullah.[57] Karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat. Dan ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais, bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda :

لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ

Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat. ”( HR Ibnu Majah, no 1779, meskipun di dalamnya ada rawi : Abu Hamzah ( Maimun ), menurut Ahmad bin Hanbal dia adalah dha’if hadist, dan menurut Imam Bukhari : dia tidak cerdas )

Apalagi banyak dalil yang mengecam para pengambil pajak yang zhalim dan semena-mena, diantaranya adalah :

Pertama : Hadist Abdullah bin Buraidah dalam kisah seorang wanita Ghamidiyah yang berzina bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :

Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh seorang penarik pajak, niscaya dosanya akan diampuni.” ( HR Muslim, no: 3208 )

Kedua : Hadist Uqbah bin ‘Amir, berkata saya mendengar Rasulullah saw bersabda :

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ

“ Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim).” ( HR Abu Daud, no : 2548, hadist ini dishahihkan oleh Imam al Hakim ) .

Dari beberapa dalil di atas, banyak para ulama yang menyamakan pajak yang dibebankan kepada kaum muslim secara zhalim dan semena-mena, sebagai perbuatan dosa besar, seperti yang dinyatakan Imam Ibnu Hazm di dalam Maratib al Ijma’, Imam Dzahabi di dalam bukunya Al-Kabair, Imam Ibnu Hajar al Haitami di dalam az- Zawajir ‘an Iqtirafi al Kabair, Syaikh Sidiq Hasan Khan di dalam ar-Raudah an-Nadiyah, Syaikh Syamsul al Haq Abadi di dalam Aun al-Ma’bud dan lain-lainnya[58]

 

C.  Skematika

 

Zakat

Pajak

Mengeluarkan sebagian harta setelah haul dan nishob

Mengeluarkan sebagian harta setelah haul dan nishob

Muslim membayar pajak dan zakat

Hanya membayar zakat, bukan pajak

Tidak boleh membayar pajak

Membayar zakat dan pajak

Membayar zakat sebagai pengurang pajak

Membayar zakat dan pajak secara individual


 

Kesimpulan

Jadi penjabaran diatas, apat pemakalah simpulkan bahwasanya antara hokum pembayaran pajak dan pembayaran zakat terdapat beberapa persamaan dan perbedaan. Setelah adanya beberapa pendapat dari para ahli fuqoha’ terkait dengan pembayaran zakat ataupun pajak, bahwasanya pajak dan zakat hanya berbanding tipis. Jika pajak dilakukan oleh seorang individu perkepala untuk memenuhi kewajibannya sebagai warga Negara, taua bisa juga dikatakan sebagai upeti sebagai kas wajib Negara. Sedangkan zakat itu dikeluarkan hanya bagi orang Islam dan diberikan kepada hanya orang Islam juga. Sebab, zakat adalah kewajiban sebagai orang muslim. Sedangkan pajak, tidak hanya terbatas pada umat muslim saja, tapi melihat kebijakan Negara mengatur pajak dalam undang-undang yang telah ditentukan. Melihat beberapa perbedaan diatas, akhirnya muncul beberapa problem dalam pengeluaran zakat dan pajak. Dimana memang hal itu menjadikan iri beberapa golongan, entah itu dari golongan muslim sendiri, atau pun non muslim yang menjadi warga Negara Indonesia. problem tersebut membuat beberapa fuqoha’ memberikan beberapa keputusan. dari semua pendapat tersebut, pada intinya mereka hanya ingin meringankan beban orang muslim. Karena memang ketika orang muslim diwajibkan membayar zakat yang memang menjadi kewajiban, mereka juga diwajibkan membayar pajak, karena mereka merupakan warga Negara Indonesia. sedangkan warga non muslim, karena mereka tidak ada kewajiban membayar zakat, maka mereka hanya diwajibkan membayar pajak. Namun peraturan tetaplah peraturan. Semua yang telah diatur dalam undang-undang haruslah dipatuhi oleh seluruh warga Indonesia. Begitupun zakat, yang memang telah diatur oleh Allah dalam Al-Qur’an, maka juga harus ditaati oleh seluruh pemeluk agama Islam. Bukankah Allah sudah memberikan keringanan (rukhsah) kepada delapan golongan yang berhak menerima zakat, maka mereka tidak diwajibkan membayar zakat, selama mereka tidak melanggar syari’at agama Islam yang membuat mereka harus mengeluarkan zakat. Sehingga hal itu tidak harus menjadi problematika yang besar mengingat pada saat ini semakin banyaknya  musuh Islam yang berusaha mengadu domba umat Islam agar terpecah belah dan saling menyalahkan. Maka sebagai warga Negara Indonesia yang baik, dan sebagai muslim yang taat, wajiblah bagi kita untuk mentaati dan menjalani semua sesuai pada proporsinya. Dengan begitu akan tercipta kedamaian dan kesejahteraan warga Negara Indonesia yang tidak membeda-bedakan hak dan kewajiban, serta tetap menjaga kerukunan hidup bermasyarakat dan beragama.

 

 

 

Daftar Puataka

 

Abdul Qadir Zalum, 1988, al-Amwal fi daulah al-Khilafah, Dar al-ilmi lilmalayin, Edisi terjemah oleh Ahmad dkk, 2002, Sistem Keuangan di Negara Khilafah. Bogor: Pustaka Thariq al-Izzah

Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, Shahih al-BukhariJuz 1,

Semarang: Usaha Keluarga

Ali Yafie, 1994, Menggagas Fiqh Sosial Bandung:

Allan G Jhonson, 1986, Human Arrangements, New York: HB

Amrullah Ahmad, 1999, Strategi Dakwah di Tengah Era reformasi menuju Indonesia Baru dalam memasuki Abad 21, Bandung: SMF Dakwah IAIN Sunan Gunung Jati

Boediono, Ekonomi Makro, 2001, Yogyakarta: 9BPFE

Didin Hafidhuddin, 2002Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani

Didin Hafidhuddin, 2002, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press

Forum Zakat, Peran Zakat Dalam Mengatasi Kemiskinan di Dunia, dalam “Majalah” INFOZ+, Edisi 9, Th V November-Desember 2010, h. 5

Gazi Inayah, 1995, al-Iqtishad al-Islami az-Zakah wa ad-dharibah, (Dirasah Muqaranah,) Edisi terjemah oleh Zainuddin Adnan dan Nailul Falah, 2005, Teori Komprehensif tentang Zakat dan Pajak. Yogyakarta: Tiara Wacana

Gusfahmi, 2007, Pajak Menurut Syari’ah, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada

Gusfahmi, 2007, Pajak Menurut Syariah. Jakarta: Rajawali Press, Lihat Al-Amwal oleh Abu Ubaid Al-Qasim

Gusfahmi, 2007, Pajak Menurut Syariah. Jakarta: Rajawali Press,

H. Zainal Abidin Ahmad, 1979, Dasar-Dasar Ekonomi Islam, Jakarta: Bulan Bintang

Hamidi, 2007, Metode Penelitian dan Teori Komunikasi, Malang: UMM Press

Hari Hikmat, 2001, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung:Humaniora Pratama

Press, http://syiar.republika.co.id/36836/Payung_Hukum_Pajak_Untuk_Syariah_Telah_Terbit, diakses 9 Nopember 2009

http://www.pkpu.or.id/, diakses 9 Nopember 2009

Imam al-Turmudzi, Sunan al-Tmudzi Kitab al-Ahkam Nomor Hadits 1272, CD. Al-Bayan

Imam Muslim, 2000, Shahih Muslim, Riyad: Dar al-Salam

Jeffery Edmund Curry, 2001, Memahami Ekonomi Internasional, Jakarta: PPM,

Kesit Bambang Prakosa, 2005,  Hukum Pajak.Yogyakarta: EKONISIA

M. Ali Hasan, 2006, Zakat dan Infak Salah Satu Mengatasi Problema Sosial di Indonesia, Jakarta, Kencana

Mahjuddin, 2008, Masailul Fiqhiyah, Jakarta: Kalam Media

Masdar F, Masudi, Agama KeadilanRisalah Zakat (Pajakdalam Islam, Jakarta: Penerbit P3M

Masdar Farid Mas’udi, 2002, Agama Keadilan; Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam, Jakarta: P3M

Masjfuk Zuhdi, 1991¸ Masail Fiqhiyah, Jakarta: Haji  Masagung

Masjfuk Zuhdi, 1987, pengantar hokum syariah, Jakarta: Haji mas Agung,

Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asqari, 1985, Zubdat al-Tafsir Juz 1, Kuwait: Wuzarah Al-Auqag wa Synun Al-Islamiyah

Nuruddin Mhd. Ali, 2006, Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal, Jakarta: Pt RajaGrafindo Persada

Nuruddin Mhd. Ali, 2006 , zakat sebagai intrumen dalam kebijakkan fiscal, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,

Pengelolaan Lembaga Amil Zakat Belum Maksimal?, Tabloid Jum’at Sarana Informasi dan Komunikasi Jama’ah, (Lampung), 5 Oktober 2007, h. 4

Rahmatul Ummah, “Perda Zakat Penting dan Kepentingan”, Lampung Post, (Lampung),  28 September 2007,

Rasihan Anwar, Majelis Ta’lim dan Pembinaan Umat, (Jakarta: Puslitbang Kultur Keagamaan Departemen Agama RI, 2002)

Redaksi PT. Ichtiar Baru-van Hoeve. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan RI, RI pen.2 PT.Intermasa, Jakarta 1989

Sayid Sabiq, fiqh sunnah vol I, Lebanon Darul Fikr, 1982

Simon James and Christopher Nobes, The Economics of Taxation. (Edinburgh: Pearson Educatioan Limited, ed. 7, 2003),

Soemarso, 2007,  Perpajakan Pendekatan Komprehensif. Jakarta: Salemba Empat,

Umer Chapra, Islam and The Economic challenge. (Herndon: IIIT, 1995)Diterjemahkan oleh Ikhwan Abidin Basri, Islam dan Tantangan Ekonomi. Jakarta: GIP, 2000

UU No 28 Tahun 2007, pasal 1

UU Pajak No. 17 Th. 2000, Pasal 9 huruf g

Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adilatuhu

Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, 2007, Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat

Yahya Abdurrahman, http://Hayatulislam.net, diakses 9 Nopember 2009

Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh Zakat (Beirut: Muassasah Risalah, 1991), h. 42

Yusuf Qaradhawi, Fiqh az-Zakah, (Beirut: Muasssasah al-Risalah, 1973), hal. 998.

Yusuf Qardhawi, 1987, Hukum Zakat, Bogor: Pustaka Litera Nusa, Lihat Fiqh az-Zakah, (Beirut: Muasssasah al-Risalah, 1973.

Zakat Bisa Menyejahtrakan Masyarakat, , Lampung Post, (Lampung),  28 September 2007, h. 20


[1]Hamidi, Metode Penelitian dan Teori Komunikasi, (Malang: UMM Press, 2007), hal 12

[2]Dalam konteks ini zakat dapat dilihat sebagai salah satu kewajiban Umat Islam yang termuat dalam Rukun Islam yang ketiga.Selain itu dalam Al Quran terdapat banyak ayat yang berisi perintah menunaikan zakat dan ada 27 ayat yang menyandingkan kewajiban zakat dengan kewajiban sholat secara bersamaan.Bahkan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad SAW.menempatkan zakat sebagai salah satu pilar utama dalam menegakkan agama Islam.

[3] H. Zainal Abidin Ahmad, Dasar-Dasar Ekonomi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal 88.

[4] Masdar F. Mas’udi dalam bukunya yang berjudul Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam menyatakan bahwa zakat dan pajak adalah sama. Zakat sebagai ruhnya, pajak sebagai badannya; Zakat sebagai komitmen spiritual moral; Pajak sebagai wujud kelembagaan yang hendak menjadi agung pengejawantahannya. Proses kemanunggalan atau perasukan roh zakat kedalam badan pajak ini pertama kali harus diawali dengan komitmen pribadi mukmin sebagai pembayar zakat. Komitmen ini terjadi dengan cara meniatkan zakat dalam membayar pajaknya. Lihat Masdar F, Masudi, Agama KeadilanRisalah Zakat (Pajakdalam Islam, (Jakarta: Penerbit P3M, 2004), hal 35

[5] Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, (Bogor: Pustaka Litera Nusa, 1987), hlm. 34. Lihat Fiqh az-Zakah, (Beirut: Muasssasah al-Risalah, 1973.

الزكاة لغة: مصدر “زكا الشيء” إذا نمى وزاد، وزكا فلان إذا صلح، فالزكاة هي: البركة والنماء والطهارة والصلاح

lihat mu’jamul wasith, juz I hal 398

[6] Yusuf Qardhawi, op.cit, hal 34

أن أصل مادة “زكا ” الزيادة والنماء. يقال زكا الزرع يزكو زكاء. وكل شيء ازداد فقد زكا. ولما كان الزرع لا ينمو إذا خلص من الدغل كانت لفظة ” الزكاة ” تدل على الطهارة أيضًا

[7] Yusuf Qardhawi, op.cit, hal 34

. والزكاة في الشرع: تطلق على الحصة المُقدرة من المال التي فرضها الله للمستحقين. كما تطلق على لحصة

[8] Wahbah Zuhaili, 83

وعرفها المالكية بأنها: إخراج جزء مخصوص من مال بلغ نصاباً، لمستحقه، إن تم الملك، وحول، غير معدن وحرث. وعرفها الحنفية بأنها: تمليك جزء مال مخصوص من مال مخصوص لشخص مخصوص، عينه الشارع لوجه الله تعالىوعرفها الشافعية بأنها اسم لما يخرج عن مال و بدن على وجه مخصوص.
وتعريفها عند الحنابلة هو أنها حق واجب في مال مخصوص لطائفة مخصوصة في وقت مخصوص.

[9] Yusuf Qardhawi, op.cit, hal 34

ونقل النووي عن صاحب الخاوي قال: ” اعلم أن الزكاة لفظة عربية معروف قبل ورود الشرع، مستعملة في أشعارهم، وذلك أكثر من أن يستدل له.

[10] Nuruddin Mhd. Ali, Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal, (Jakarta: Pt RajaGrafindo Persada, 2006), hal 6

[11]M. Ali Hasan, Zakat dan Infak Salah Satu Mengatasi Problema Sosial di Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2006), hlm.81

[12]Gazi Inayah, al-Iqtishad al-Islami az-Zakah wa ad-dharibah, (Dirasah Muqaranah, 1995) Edisi terjemah oleh Zainuddin Adnan dan Nailul Falah, Teori Komprehensif tentang Zakat dan Pajak. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hal:3).

[13] Gusfahmi, 2007, Pajak Menurut Syari’ah, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, hlm.27

[14]Gazi Inayah, al-Iqtishad al-Islami az-Zakah wa ad-dharibah, Dirasah Muqaranah, 1995, Edisi terjemah oleh Zainuddin Adnan dan Nailul Falah, Teori Komprehensif tentang Zakat dan Pajak. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hal. 24.

[15]Gusfahmi, op.cit., hal. 27-30.

[16]Yusuf Qardawi, op.cit, hlm.999

الضريبة كما عرَّفها علماء المالية: فريضة إلزامية. يلتزم الممول بأدائها إلي الدولة، تبعًا لمقدرته علي الدفع، بغض النظر عن المنافع التي تعود عليه من وراء الخدمات التي تؤديها السلطات العامة، وتستخدم حصيلتها في تغطية النفقات العامة من ناحية، وتحقيق بعض الأهداف الاقتصادية والاجتماعية والسياسة وغيرها من الأغراض التي تنشد الدولة تحقيقها من ناحية أخرى

[17]Simon James and Christopher Nobes, The Economics of Taxation. (Edinburgh: Pearson Educatioan Limited, ed. 7, 2003), hal. 10

[18]Kesit Bambang Prakosa, Hukum Pajak.(Yogyakarta: EKONISIA, 2005, hal. 2.

[19]Sebagaimana dikuti oleh Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak. (Jakarta: Salemba Empat, edisi 3,  2007), hal. 5. Lihat juga Soemarso, Perpajakan Pendekatan Komprehensif. (Jakarta: Salemba Empat, 2007), hal. 2-3.

[20]UU No 28 Tahun 2007, pasal 1

[21]Gazi Inayah, al-Iqtishad al-Islami az-Zakah wa ad-dharibah, Dirasah Muqaranah, 1995, Edisi terjemah oleh Zainuddin Adnan dan Nailul Falah, Teori Komprehensif tentang Zakat dan Pajak. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hal. 24

[22]Abdul Qadir Zalum, al-Amwal fi daulah al-Khilafah, (Dar al-ilmi lilmalayin, 1988), Edisi terjemah oleh Ahmad dkk, Sistem Keuangan di Negara Khilafah. (Bogor: Pustaka Thariq al-Izzah, 2002), hal. 138

[23](Bohari, 2002: 23).

[24] Yusuf Qardawi, Op.Cit. hal 1008-1009

فذهب فلاسفة القرن الثامن عشر إلى أن الضريبة تقوم على أساس علاقة تعاقدية بين الدولة والفرد،

وقد ذهب أنصار النظرية التعاقدية في تكييف طبيعة العقد المبرم بين الدولة ودافع الضريبة مذاهب شتى:
فقال ميرابو: إن الضريبة ثمن عاجل يشتري به الفرد حماية الجماعة، ومعنى هذا: أن المبرم عقد بيع.
وقال آدم سميث: إن هذا العقد هو عقد إيجار أعمال، فالدولة تقوم بأداء خدمات للمواطنين، ويقوم المواطنون بدفع الضريبة لها كأجر لهذه الأعمال.وقال مونتسكيو وهوبز: إن العقد تأمين، فالضريبة هي قسط التأمين الذي يدفعه الممول من ماله للتأمين على الجزء الباقي.

[25] Yusuf Qardawi, Op.Cit. hal 1008-1009

وتقوم هذه النظرية على أساس أن الدولة تؤدي وظيفتها بقصد إشباع الحاجات الجماعية، ولا تضع نصب عينيها تحقيق مصالح الأفراد الخاصة، بقدر تغليب المصالح العامة على المصالح الخاصة، والمحافظة على التضامن القومي بين الأجيال الحاضرة والمستقبلة – ولما كان أداء هذه الوظائف يستلزم الإنفاق كان للدولة الحق في أن تلزم المستظلين بسمائها -بما لها من حق السيادة- أن يتضافروا جميعًا في النهوض بعبء هذا الإنفاق، وتقوم بتوزيع هذا العبء عليهم، بحسب درجة يسار كل منهم،

[26]Yusuf Qardhawi, Op.cit, hal 1010

النظرية العامة للتكليف:أُولاها: النظرية العامة للتكليف، وتقوم هذه النظرية على أن من حق الخالق المنعم أن يكلف عباده ما يشاء من واجبات بدنية ومالية، أداءً لحقه، وشكرًا لنعمته، وليبلوهم أيهم أحسن عملاً، ليختبر ما في صدورهم، وليمحص ما في قلوبهم، وليعلم من يتبع رسله ممن ينقلب على عقبيه، فيميز الله الخبيث من الطيب، والمسيء من المحسن،

[27]Yusuf Qardhawi, Op.cit, hal 1011

وأساس هذه النظرية: أن المال مال الله تعالى، والإنسان مستخلف فيه، فالله سبحانه هو المالك الحق لكل ما في الكون، أرضه وسمائه

[28] Yusuf Qardhawi, 1011

أن المال رزق يسوقه الله للإنسان فضلاً منه ونعمة، ومهما يذكر الإنسان علمه وجهده فليذكر عمل القدرة الإلهية في الإيجاد والإمداد بعد هذا أن ينفق الإنسان عبد الله بعض ما رزقه الله في سبيل الله، وإعلاء كلمة الله، وعلى إخوانه عباد الله، قيامًا للواهب المنعم بحق الشكر على نعمائه،

[29]Yusuf Qardhawi, 1020

نخلص من هذا كله إلى أن للجماعة حقًا أكيدًا في مال الفرد، حقًا لا يسلبه ملكيته المشروعة له، بل يجعل جزءًا معينًا لمصالحها العامة، وأكثر منه عند اقتضاء الحاجة، واستدعاء المصلحة.

[30]larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, Karena umat merupakan suatu kesatuan.

[31] Yusuf Qardhawi, 1024

هذا هو المجتمع المسلم: بنيان مرصوص يشد بعضه بعضًا، وأسرة واحدة يكفل كل أخ فيها أخاه، بل جسد واحد، إذا اشتكى بعضه اشتكى كله

[32][32] Redaksi PT. Ichtiar Baru-van Hoeve. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan RI, RI pen.2 PT.Intermasa, Jakarta 1989, hal, 1277

[33] Muhammad Rasyid Ridho, op.cit.juz 10, hal 292

[34] Yusuf Qardhawi,  Op.cit, hlm.999-1000

[35] Yusuf Qardhawi,  Op.cit, hlm.999-1000

[36] Nuruddin Mhd. Ali, zakat sebagai intrumen dalam kebijakkan fiscal, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,   2006: hal 29-32

[37] Yusuf Qardhawi,  Op.cit, hlm.999-1000

[38] M Ali Hasan, Op Cit: hal 83-84

[39].  Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta: Kalam Media, 2008), hal 183-189

[40]Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah. (Jakarta: Rajawali Press, 2007), hal. 169-181.[Lihat Al-Amwal oleh Abu Ubaid Al-Qasim]

 

[41] Yusuf Qardhawi, Op.cit, hlm.1000-1005

[42] Ali Hasan, Op.cit, hlm.88-89

[43]Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah. (Jakarta: Rajawali Press, 2007), hal. 169-181.

[44]jika memang negara sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan inipun harus terpenuhi beberapa syarat. Diantara ulama yang membolehkan pemerintahan islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah imam al juwaini di ghiyats al umam hlm : 267, imam ghazali di dalam al-mustasyfa : 1/303, imam syatibi di dalam al i’tishom : 2/ 619.(Lihat Al-Fatawa Al-Kubra, Syaikh Mahmud Syaltut hal.116-118 cetakan Al-Azhar).

[45] Nuruddin Mhd. Ali, Op.Cit, hal 42

[46]Ibid., hal 42-54

[47]Ibid., hal 42-54

[48]Abhats Fiqhiyyah Fi Qadhaya Az-Zakat Al-Mu’ashirah II/621-623)

[49]Ibid., hal 54-56

[50] Masdar Farid Mas’udi, Agama Keadilan; Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam, (Jakarta: P3M, 2002), h. 78

[51]Masdar Farid Mas’udi, op.cit., h. 101-102

[52]Imam al-Turmudzi, Sunan al-Tmudzi Kitab al-Ahkam Nomor Hadits 1272, CD. Al-Bayan

[53]Yusuf Qardawi menolak pendapat ini dengan mengemukakan beberapa alas an, yaitu :

1)    Harus dalam jumlah tertentu yang di tetapkan oleh syariat, yaitu 1/10, 1/20 sampai 1/40. tariff pajak tidak tetap, kadang- kadang lebih besar dari tariff zakat, kadang-kadang lebih kecil. Selain itu, kadang harta yang memenuhi syarat wajib zakat tidak dikenai zakat karena tidak memenuhi syarat wajib pajak, kadang pajak dipungut dari harta yang tidak menjadi objek zakat karena tidak memenuhi syarat wajib zakat.

2)    Harus menggunakan niat tertentu, yaitu berniat mendekatkan diri kepada Allah dan mengikuti perintahnya dengan membayar zakat yang di perintahkan pada hamba-Nya. Kadang niat pajak bertentangan dengan niat zakat, karena niat ibadat dalam pajak tidak murni, sedangkan zakat adalah ibadah  yang disyaratkan ikhlas dalam mengerjakannya.

3)    Harus di berikan kepada sasaran tertentu, yaitu 8 asnaf, baik secara langsung maupun melalui perantaraan amil zakat yang mewakili pemerintah.

[54] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Haji  Masagung, 1991), hal 245

[55] Sayid Sabiq, fiqh sunnah vol I, Lebanon Darul Fikr, 1982, hal 303

[56] Masjfuk Zuhdi,  Pengantar Hukum Syariah, Jakarta: Haji mas Agung, 1987, hal 21-22

[57]Misalnya hadis riwayat Bukhari dan Muslim, “Apakah ada kewajiban lain di luar zakat? Nabi menjawab,”Tidak ada, kecuali shadaqah sunnah”. (HR Bukhari dan Muslim).

[58]Lihat Al-Fatawa As-Syar’iyah Fi Al-Qodhoya Al-Ashriyyah halaman.93)

arti lirik Beyonce – LISTEN

Posted: September 15, 2012 in Uncategorized

Listen to the song here in my heart
Dengarkanlah lagu yang ada di hatiku ini
A melody I start but can’t complete
Melodi yang kumulai namun tak bisa kuselesaikan
Listen to the sound from deep within
Dengarkanlah suara dari lubuk hatiku
It’s only beginning to find release
Yang kini mulai menemukan kebebasan

Oh, the time has come for my dreams to be heard
Oh, kini waktunya mimpiku didengarkan
They will not be pushed aside and turned
Mimpi-mimpiku takkan dinafikan dan diubah
Into your own all ’cause you won’t
Menjadi mimpi-mimpimu karna kau takkan
Listen
Mendengarkan

Listen, I am alone at a crossroads
Dengar, aku sendirian di simpang jalan
I’m not at home in my own home
Aku tak kerasan di rumahku sendiri
And I’ve tried and tried to say what’s on mind
Dan tlah berulang kali kucoba ‘tuk mengatakan apa yang ada dipikiranku
You should have known
Harusnya kau tahu

Oh, now I’m done believing you
Oh, kini aku tak lagi percaya padamu
You don’t know what I’m feeling
Kau tak tahu yang kurasakan
I’m more than what you made of me
Aku lebih dari yang kau inginkan
I followed the voice you gave to me
Kuikuti suara yang kau beri
But now I’ve gotta find my own
Tapi kini harus kutemukan suaraku sendiri

BAB I

PENDAHULUAN

  1. A.             
  1. B.                 Alasan Pembahasan

Agama Yahudi memiliki kedudukan yang sangat penting dalam sejarah agama-agama. Ia merupakan agama monotheisme tertua di dunia. Ia memiliki peranan yang sangat besar untuk memahami ciri-ciri agama masa silam di Timur Dekat. Ia memiliki ikatan yang erat dengan agama Kristian dan Islam. Selain itu, agama Yahudi juga memiliki peranan yang sangat penting untuk memahami sejarah bangsa Yahudi dan mengetahui gerakan Zionis moden. Jika melihat ciri agama kuno di kawasan Timur Dekat, maka agama Yahudi menjadikan monotheisme sebagai ideologi utama dan ini dapat dijadikan landasan bagi mengetahui ciri agama-agama non-monotheisme yang meyakini banyak tuhan yang merupakan salah satu bentuk ritual yang tersebar di dunia pada masa lampau. Agama bangsa Israel berbeda secara prinsip dengan agama lain yang tersebar luas pada masa itu. Agama bangsa Israel tidak mengenali polytheisme, mereka hanya mengenali monotheisme. Di sini jelaslah betapa penting peranan agama Yahudi.

 

 

 

 

BAB II

Tinjauan umum Agama Yahudi

  1. A.                Asal-usul Agama Yahudi

Istilah Yahudi (Bhs. Ibrani:  Yehud) secara etimologis berasa dari kata Judah (Yehudah) sebuah eponim dari bibel suku Judah. Bahasa Yunani menyebut Yahudi dengan Ioudaia.[1] Asal-usul Yahudi tidak bisa terlepas dari sosok Ibrahim yang dalam hal ini dipandang sebagai nenek moyang tiga agama samawi yaitu Yahudi, kristen dan Islam. Ibrahim tampil dalam pentas sejarah sekita 3.700 tahun yang lalu. Ia adalah anak seorang pemahat petung istana bernama Azar yang berasal dari Babylonia.

Sejak kecil Ibrahim sudah menampilkan cara berpikir yang kritis. Suatu saat ia melihat hal yang tidak sesuai dengan akal sehatnya, ayahnya memahat batu dan setelah selsai sang ayah menyembah batu tersebut. Ibrahim berontak melihat hal itu. Penolakan itu membuat Ibrahim dihukum dengan cara dibakar, tetapi Ibrahim berhasil diselamatkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.[2] Ibrahim kemudian Hijrah ke Kanaan (Palestina Selatan) bersama para pengkutnya. Dari situlah sejarah Bani Israil lahir, dimulai pada Abad Perunggu ketika orang-orang Semit pindah ke peradaban di Lembah Eufrat lalu menatap di kawasan perbukitan di Kanaan Tengah dan Kanaan Selatan, di tepi Laut Tengah (setalah hancurnya kota tua Ur.). Ibrahim menjadi pemimpin mereka karena keimanan dan kesalehannya pada Tuhan Yang Maha Esa. Dan karena alasan itu pula Ibrahim dijanjikan akan menjadi sumbe rahmat yang lestari bagi bangsa-bangsa di bumi.[3]

Suatu ketika, daerah Kanaan mengalami wabah paceklik, Ibrahim lalu pergi ke Mesir bersama istrinya yang bernama Sarah. Mereka menetap disana untuk sementara waktu. Kehadiran Ibrahim sangat mengesankan Fir’aun, raja Mesir yang kemudian menghadiahinya seorang budak perempuan bernama Hajar. Waktupun terus berjalan dan usia Ibrahim semakin tua, namun ia juga belum memiliki keturunan. Iapun berdoa memohon kepada Tuhan agar diberi keturunan untuk meneruskan misi kemanusiaan. Sarah lantas mengizinkan Ibrahim menikahi Siti Hajar. Dari dialah Ibrahim kemudian dianugrahi keturunan yang bernama Ismail.[4]

Ibrahim sangat mencintai Ismail dan ibunya, Hajar, sehingga menimbulkan perasaan cemburu bagi Sarah, istri pertamanya. Sarahpun meminta Ibrahim untuk membawa Ismail dan ibunya keluar dari rumah tangga mereka. Ibrahim diberi petunjuk (melalui Jibril) untuk membawa anak dan istrinya ke daerah selatan Kanaan, sampai ke suatu lembah yang tandur dan gersang yaitu Makkah. Hajar dan Ismail tinggal di daerah itu. Sementara Ibrahim sesuai dengan petunjuk Tuhan kembali ke Kanaan dan sesekali menyempatkan diri untuk menjenguk Ismail di Makkah sampai anaknya itu dewasa.

Dengan izin dan kekuasaan Tuhan akhirnya Ibrahim dan Sarah dikarunia seorang anak yang bernama Ishaq. Putra tersebut nantinya akan menjadi Nabi dan Rasul Allah untuk mengemban mengajari umat tentang faham tauhid. Ajaran Ibrahim tersebut diteruskan oleh putar-putranya yakni Ismail dan Ishaq. Ishaq dianugrahi Tuhan seorang anak yakni Ya’qub dengan gelar Israel.[5] Kemudian Ya’qub mempunyai 12 putra, 10 orang dari Rubin (istri pertamanya) yaitu: Simon, Lewi, Yahuda, Zebulon, Isakhar Dan, Gad, Asyar dan Naftali. Serta 2 anak dari istri kedua yaitu Yusuf dan Benyamin. Mereka inilah yang menjadi cikap bakal 12 suku yang beberapa waktu kemudian membentuk Bani Israel.[6]

Agama Yahudi memiliki beberapa nama sepanjang sejarah panjang yang dilaluinya. Pada fasa pertama sejak kemunculannya, agama Yahudi diberi nama ‘agama para leluhur’. Apa yang dimaksudkan dengan leluhur di sini adalah sekumpulan tokoh-tokoh kenabian yang dimulai dengan Adam (a.s) dan diakhiri dengan Musa serta Harun. Sesuai dengan periode sejarah Yahudi, maka ‘agama para leluhur mencakupi sejarah agama pada periode Ibrani yang dimulai dengan Ibrahim (a.s) dan periode ini tidak masuk ke dalam nama periode Ibrani, sebaliknya para sejarawan Yahudi memasukkannya ke dalam masa para leluhur dan agama mereka. Periode Ibrani berakhir dengan penyebutan nama Israel kepada Ya’qub (a.s) dan permulaan periode Israel dimulakan sejak masa Ya’qub (a.s) sampai abad ke-VI SM ketika muncul nama baru yakni agama Yahudi pada periode penawanan Babilonia. Inilah yang dipakai hingga sekarang.[7]

Adalah Ibrahim, Ishaq, Ya’qub dan anak-anak Ya’qub yang merupakan asal-usul suku Bani Israel. Sebagian pakar sejarah Yahudi cenderung memasukkan Adam dan Nuh ke dalam kelompok para leluhur tersebut di atas untuk membuktikan kebenaran riwayat-riwayat Taurat yang secara menceritakan kedua-dua tokoh tersebut dalam kitab Kejadian, di samping menegaskan keistimewaan silsilah keturunan Bani Israel sejak awal penciptaan. Meskipun demikian, para leluhur yang menjadi topik pembicaraan warisan Israel adalah Ibrahim dan Ishaq (a.s), kemudian anak-anak Ya’qub (a.s). Sebagian pakar sejarah menyudahi silsilah keturunan para leluhur ini dengan Musa (a.s) sedangkan kebanyakan pakar sejarah menganggap Musa (a.s) sebagai permulaan fasa sejarah dan agama baru dalam tradisi Israel.[8]

Tokoh utama pada masa para leluhur adalah Ibrahim yang dikaitkan dengan suatu agama tersendiri yang menjadi permulaan sejarah dan agama Israel kuno, dan dikaitkan pula dengan permulaan perjanjian-perjanjian agama yang banyak ditentukan bersama Tuhan. Beliau, menurut teks Taurat, menjadi moyang bagi majoriti bangsa, dan teks Taurat menyebut Tuhan yang disembah oleh para leluhur dengan nama Yahweh (dan Yahweh memiliki beberapa gelaran yang mengisyaratkan penyatuan dalam lingkungan bangsa Kan’an, di antaranya El-Elyon, El-Olam, El-Shaddai dan El-Bethel) (Grant, 1984:34).

Nama Yahweh muncul belakangan dan menyembahnya secara mutlak dikaitkan dengan zaman Musa (a.s). Menurut pendapat yang paling kuat, agama para leluhur adalah agama monotheis yang sederhana. Ada satu pendapat yang kuat menganggap agama orang Ibrani purba adalah agama paganisme yang mengenali beberapa Tuhan sebelum akhirnya tetap menyembah Yahweh yang dapat dipastikan bahwa Dia adalah salah satu dari tuhan-tuhan yang disembah oleh bangsa Ibrani ini. Dapat dipastikan pula bahwa agama para leluhur adalah agama tribalisme di mana kabilah terikat dengan Tuhannya dalam ikatan ras dan darah (Anderson, 1966:15-20).[9]

Ciri fasa pertama dari fasa-fasa perkembangan agama Yahudi ini dapat disimpulkan bahwa agama para leluhur bangsa Ibrani sebelumnya adalah agama sederhana yang tidak rumit dan didominasi oleh ciri masyarakat nomaden, seperti agama Arab sebelum Islam. Agama tersebut tidak mengandungi akidah yang komrehensif dan konsep keagamaan satu-satunya yang memulai peranannya selama fasa ini adalah konsep tauhid. Namun tauhid tersebut tidak dimulai sebagai tauhid murni, melainkan tauhid yang berusaha mencari jalannya di tengah-tengah system multi-tuhan yang diyakini oleh orang Ibrani purba telah menyembah-Nya sampai para leluhur tersebut menyembah Yahweh yang dikenal nama-Nya pada zaman Musa (a.s) (Grant, 1984:33 dan Anderson, 1966:21). Dengan demikian, agama asal orang Ibrani adalah agama polytheismepaganisme dan bukti-bukti tauhid baru muncul di tangan sebagian leluhur yang antara lain Ibrahim (a.s) yang dianggap masanya sebagai masa permulaan tauhid dan permulaan sejarah agama tauhid. Sementara fasa-fasa yang mendahului masa Ibrahim dipastikan sebagai fasa-fasa paganisme-polytheisme.

Di samping agama ‘para leluhur’ ini hampa dari keyakinan-keyakinan yang sistematik, Agama tersebut juga hampa dari syari’at-syari’at yang mengatur kehidupan orang Ibrani pada waktu itu di mana hidup mereka berpandu kepada hukum adat dan tradisi kesukuan serta aturanaturan kehidupan nomaden. Buktinya, tumpuan pakar sejarah Yahudi tidak menjumpai adanya wahyu bertulis pada masa para leluhur. Inilah yang membentuk pemikiran pakar sejarah bahwa tidak wujud struktur keyakinan dan peraturan yang komprehensif bagi fasa sejarah agama Yahudi ini. [10]

Agama Musa (a.s) merupakan fasa kedua dari fasa perkembangan agama Yahudi sebagai akidah dan syari’at, iaitu fasa paling penting dalam perkembangan agama ini, kerana pada fasa ini wahyu bertulis dijadikan sumber utama bagi akidah dan syari’at. Agama Musa dimulai pada fasa keberadaan bangsa Ibrani di Semenanjung Sinai. Inilah kawasan padang pasir yang membentuk agama Musa. Sifat-sifat nomaden padang pasir membezakan bangsa Israel sebelum memasuki negeri Kan’an. Inilah permulaan perubahan sosial, ekonomi dan agama dalam kehidupan orang Ibrani akibat perpaduan dengan peradaban bangsa Kan’an dan pengaruh keagamaan terhadap agama Israel sesudah masa Musa (a.s).[11]

Meskipun ada kemajuan pada tingkat pemikiran keagamaan, namun agama Musa tetap menjadi agama yang sederhana dalam tata cara ibadahnya. Pada periode ini, Yahweh diperkenalkan dan nama ‘Yahweh’ pun diisytiharkan untuk kali yang pertama. Meskipun pakar sejarah Yahudi menegaskan Yahweh adalah Tuhan Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub, namun di dalam Taurat tidak ada teks-teks yang menunjukkan kebenaran kenyataan itu dan demikian pula dalam peninggalan-peninggalan warisan agama Yahudi yang lain turut tidak memuat perkara itu.49

Nama Yahweh pula tidak dijumpai dalam teks-teks yang dijumpai pada fasa-fasa sebelum masa Musa (a.s). Semua itu menegaskan bahwa di sekitar Yahweh tidak tumbuh ibadah yang sistematik sebelum Musa (a.s). Namun pengaruh fasa Sasanit turut membentuk agama Yahudi yang dimuatkan dalam kitab Ulangan dan kitab Hakim-Hakim di mana tuhan Yahweh disebut sebagai Tuhan Sinai [Kitab Ulangan 23:2, Hakim-hakim 5:4, Mazmur 68:8]. Sebagian pakar sejarh menegaskan bahwa menyembah Yahweh telah dikenali di semenanjung Sinai 49 Ada beberapa isyarat kepada Yahweh yang kembali kepada sumber Yahudi dalam kitab Kejadian 4:62, 15:7, 24:3, ketika menggunakan nama Yahweh sebelum masa Musa dan para pakar kritik Perjanjian Lama menganggapnya sebagai tambahan-tambahan sumber Yahudi. Rujuk Anderson, hal. 32.[12]

Di kalangan beberapa kabilah Arab di Sinai, khususnya di kalangan penduduk Madyan dan ketika itu Musa telah mengenali Tuhan Yahweh melalui Yitro (di dalam al-Qur’an disebut Syu’aib) di mana anak perempuannya kemudian dikahwini oleh Musa (a.s). Kenyataan ini turut disokong oleh Taurat dan menegaskan bahwa Yitro adalah seorang imam dan penyembah Yahweh serta selalu mempersembahkan qurban kepada-Nya [Kitab Keluaran 18: 10-12] (Anderson,1962:32).

Agama ini memiliki ciri nasionalisme sehingga ia berubah menjadi satu agama bagi bangsa tertentu pula sedangkan konsep dan keyakinannya pun ditafsirkan mengikut tafsiran nasionalisme. Apa yang dimaksudkan dengan perkembangan agama Yahudi adalah ia mengandungi akidah dan syari’at yang belum sempurna, sebaliknya ia muncul dalam keadaan serba kurang dan kemudian mula memasuki fasa-fasa perkembangan hingga akhirnya mencapai tingkat sempurna. Di masa akn datang, pintu masih dibuka baginya untuk terus berkembang supaya mencapat kedudukan yang lebih sempurna. Ini bererti faktor sejarah memiliki peranan besar dalam menggagas agama Yahudi sampai ke suatu batasan di mana agama Yahudi dapat dikatakan sebagai agama sejarah yang dikendali oleh perjalanan sejarah Yahudi, baik zaman dahulu mahupun zaman sekarang. Faktor sejarah pula memiliki peranan utama dalam membentuk perjalanan agama Yahudi ini. Ini bermakna agama Yahudi dimulai dalam sejarah sebagai agama yang sederhana, kemudian berkembang mengikut perjalanan sejarah. Penambahan dan perkembangan dalam agama Yahudi yang sebelumnya sederhana ini menyebabkannya menjadi rumit sehingga membuatnya jauh dari kesederhanaannya yang dahulu kala.

 

 

 

  1. B.     Pendiri/ Pembawa Agama Yahudi

Meskipun ada perbedaan pandangan seputar kepribadian Musa, namun pada fasa selanjutnya Musa dianggap sebagai model utama seorang nabi bagi bangsa Israel. Zaman Musa dianggap sebagai masa kenabian yang sebenar dalam peninggalan keagamaan bangsa Israel. Para nabi Bani Israel membangun mimpi, berita kenabian dan reformasi mereka berdasarkan peninggalan Musa. Pelbagai peristiwa yang terjadi sebaik Bani Israel keluar meninggalkan Mesir yang dipimpin Musa dianggap sebagai zaman ideal yang diharapkan dapat berulang kembali oleh setiap nabi Bani Israel setelah Musa. Nabi Yesaya menggambarkan usaha kembali ke Palestin setelah penawanan di Babilonia sama seperti gambaran keluarnya Bani Israel dari Mesir. Dalam peninggalan Yahudi generasi belakangan Musa digambarkan sebagai seorang suri tauladan utama. Musa adalah wahyu tuhan yang telah ditentukan untuk agama[13] orang Israel. Musa adalah pahlawan bangsa Israel. Musa adalah pendiri agama dan sejarah bangsa Israel. Musa sering kali digambarkan sebagai seorang nabi sekaligus raja pada zaman raja-raja dalam sejarah bangsa Israel tidak memiliki ciri spritual dan moral. Semua itu ada dalam diri Musa. Meskipun Musa bukan raja dengan makna yang sebenar, tetapi kitab Ulangan menyebutkan sifat ini terhadap Musa. Kepimpinan Musa dalam peperangan dan kehebatannya membimbang bangsa Israel menyerupai seorang raja. Zaman Musa dianggap sebagai zaman keagungan.

Di samping itu, Musa adalah seorang nabi. Gelaran nabi diberikan kepada Musa untuk kali yang pertama dalam Perjanjian Lama, dalam kitab Hosea 12: 13. Dalam teks tersebut disebutkan: “Israel dituntun oleh tuhan keluar dari Mesir dengan perantaraan seorang nabi. Ya, ia dijaga oleh seorang nabi.” Beberapa sifat kenabian Musa disebut dalam Taurat. Sifat pertama dinisbahkan kepada Musa bahwa dia berbicara kepada bangsa Israel dengan menggunakan firman tuhan. Ini merupakan salah satu peranan seorang nabi. Ini disebutkan dalam Keluaran 4:12: “Oleh itu, pergilah, aku akan menyertai lidahmu dan mengajar engkau, apa yang harus kau katakan.” Kitab Bilangan 11:17 menyebutkan sifat lain yang dimiliki seorang nabi bangsa Israel bahwa roh kudus turun menghadap kepadanya: “Maka aku akan turun dan berbicara dengan engkau di sana, lalu sebagian dari Roh yang hinggap padamu itu akan kuambil dan kutaruh atas mereka.” Ayat-ayat Taurat menyebutkan keistimewaan Musa berbanding nabi-nabi Bani Israel yang lain kerana dia menjadi perantara Bani Israel dengan tuhan. Dalam kitab Bilangan 12:6-8 disebutkan: “Lalu berfirmanlah ia: “Dengarlah firmanku ini. Jika di antara kamu ada seorang nabi, maka aku, tuhan menyatakan diriku kepadanya dalam penglihatan, aku berbicara dengan dia dalam mimpi. Bukan demikian hambaku Musa, seorang yang setia dalam segenap rumahku. Berhadap-hadapan aku berbicara dengan dia, terus terang, bukan dengan teka-teki.” Dalam kitab Ulangan disebutkan keistimewaan Musa berbanding nabi-nabi Bani Israel yang lain: “Seperti Musa yang dikenal tuhan dengan berhadapan muka, tidak ada lagi nabi yang bangkit di antara orang Israel.” [Ulangan 34: 10].

 

  1. C.    Sistem Ketuhanannya

Beberapa peneliti menegaskan bahwa Yahweh adalah tuhan nenek moyang Musa dan beliau menjadikan-Nya sebagai Tuhan rasmi bagi para pengikutnya dengan tetap memakai nama yang sama, Yahweh. Di sini agama Yahudi berubah menjadi agama orang Israel di tangan Musa dan berkat usaha beliaulah agama ini menjadi terkenali. Perlu diingat bahwa keyakinan tauhid bersebati pada zaman Musa (a.s), tetapi dalam lembaran-lembaran Taurat ditegaskan bahwa tauhid ini khusus bagi orang Israel. Ini kerana terdapat isyarat yang menunjukkan adanya tuhan-tuhan lain bagi kaum-kaum selain orang Israel. Ini bererti tuhan Israel bukanlah satu-satunya Tuhan yang memiliki sifat wujud. Sebab selain Dia terdapat tuhan-tuhan lain, tetapi itu tidak terjadi untuk kalangan orang Israel.

Barangkali keyakinan yang dianut pada masa itu adalah pengakuan adanya tuhan-tuhan lain sebagai fakta-fakta yang tidak mungkin dipungkiri sekali gus tidak mengakui mereka sebagai Tuhan yang berada satu tingkatan dengan Tuhan Yahweh. Dengan erti kata lain, tuhan-tuhan selain Yahweh itu tetap diakui keberadaannya namun mereka bukanlah tuhan hakiki yang memiliki peranan yang menciptakan atau  bertugas mengawasi alam atau mengendalikan pelbagai peristiwa penting. Ini kerana tuhan yang hakiki hanyalah Yahweh yang mentadbir sekalian alam.

Pada zaman Musa (a.s) untuk pertama kalinya ditetapkan tentang ciri khusus bagi sifat Tuhan. Antara ciri yang paling penting adalah tuhan tidak mungkin dapat dibayangkan atau dijelmakan dalam bentuk dan rupa apa pun seperti mana yang dilakukan oleh penganut paganism terhadap tuhan-tuhan mereka. Perintah kedua dari sepuluh perintah menyebutkan: “Jangan kau buat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi” [Kitab Keluaran 20:4].

Perintah ini memberikan bentuk metafisikbagi Tuhan dengan makna bahwa Dia adalah tuhan yang maha suci dari alam yang diciptakan-Nya dan tidak mungkin dapat membayangkan-Nya dalam bentuk apa pun dari bentuk-bentuk alam yang diciptakan itu. Dia adalah tuhan yang tidak berbentuk yang tidak bergantung kepada alam. Dia bersifat metafizik, kerana Dia adalah penciptanya. Dalam perintah pertama terdapat teks yang menegaskan satu sifat asas Tuhan, iaitu sifat tauhid (esa): “Jangan ada padamu Allah lain di hadapan-Ku” [Kitab Keluaran 20:3]. Selain itu, mukaddimah perintah juga memberikan satu sifat lain bagi Tuhan, meskipun tidak dalam bentuk perintah, iaitu sifat menguasai sejarah dan peristiwa-peristiwanya. Tuhan adalah tuhan sejarah yang menggerakkan peristiwanya dan mengendalikan perjalanannya. Mukaddimah perintah yang sepuluh dalam kitab Keluaran (Eksodus) mengingatkan orang Israel tentang perbuatan Tuhan yang telah berlangsung dalam sejarah berupa membebaskan orang Israel dari perhambaan bangsa Mesir: “Akulah Tuhan, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perhambaan” [Kitab Keluaran 20:2]. Ini perhambaan yang hampir memperkenalkan Tuhan melalui perbuatan-Nya dalam sejarah. Tuhan turut disifatkan di dalam perintah yang sepuluh sebagai ‘Tuhan yang cemburu’ yang menimpakan kemurkaan-Nya kepada orang Israel yang tidak berhenti dari menyembah berhalaberhala buatan: “Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, adalah Allah yang cemburu” [Kitab Keluaran 20:5][14]

 

  1. D.    Kitab-kitab Sucinya

Orang yahudi meyakini bahwa allah (g-d , yahweh, tuhan ) telah menurunkan kepada musa:

  • Taurat tertulis, yang kemudian biasa disebut taurat saja, torah, atau tanakh, yang berisi lima kitab nabi musa : genesis (kejadian), eksodus (keluaran), leviticus (imamat), numbers (bilangan), dan deuteronomy (ulangan). namun terkadang istilah tanakh atau taurat tertulis juga dipakai untuk menyebut keseluruhan bagian yang biasa disebut oleh orang kristen sebagai perjanjian lama (the old testament) dan merupakan bible bagi orang yahudi (jewish bible). mereka meyakini bahwa tanakh merupakan firman allah yang didiktekan kepada nabi musa lalu musa menuliskannya dalam dua buah lempeng batu, dan hal itu terjadi saat nabi musa menemui allah di bukit sinai selama empat puluh hari empat puluh malam. dan, nabi musa menerima pendiktean wahyu itu dua kali, karena menurut mereka nabi musa telah memecahkan kedua lempeng batu yang diterima kali pertama saat marah melihat umatnya ternyata menyembah patung lembu dari emas. sehingga, ia terpaksa mengambil lempengan batu dan menuliskan wahyu lagi untuk kedua kalinya.[15]
  • Taurat Lisan – yang biasa disebut sebagai Talmud. Secara singkat dapat dikatakan, orang Yahudi meyakini bahwa Talmud merupakan penjelasan atau perincian atas Taurat (Tanakh). Adapun Talmud sendiri terdiri atas dua komponen : 1) Mishnah, yang merupakan versi utama karena ditransmisikan turun temurun secara lisan dari Nabi Musa ke Nabi Joshua, lalu ke Para Tua-tua, lalu ke Para Nabi-nabi, sampai pada Generasi Great Assembly yang dipimpin oleh Ezra, yakni sampai abad kedua Masehi. 2) Gemara, yang merupakan versi analisis atau pelengkap atau komplemen atau komentar atas Mishnah, karena baru muncul dengan versi yang berbeda-beda pasca generasi Great Assembly (abad kedua Masehi). Kumpulan Mishnah dan Gemara itulah yang kemudian disebut sebagai Talmud. Ada dua versi Talmud akibat perbedaan isi Gemara yang ada pada masing-masing dari keduanya. Pertama, Talmud Jerussalem yang dikodifikasikan pada abad ketiga Masehi. Kedua, Talmud Babilonia yang dikodifikasikan pada abad kelima Masehi.[16]

Kitab Talmud berarti “kitab ajaran agama dan kepribadian Yahudi”. Orang yahudi berkeyakinan bahwa Talmud setingkat dengan Taurat dan dianggap lebih agung. Imam Yahudi dianggap sah apabila mengilhami Talmud tanpa perlu mengimani Taurat.[17]

Talmud (bahasa Ibrani: תלמוד) adalah catatan tentang diskusi para rabi yang berkaitan dengan hukum Yahudi, etika, kebiasaan dan sejarah. Talmud mempunyai dua komponen: Mishnah, yang merupakan kumpulan Hukum Lisan Yudaisme pertama yang ditulis; dan Gemara, diskusi mengenai Mishnah dan tulisan-tulisan yang terkait dengan Tannaim yang sering membahas topik-topik lain dan secara luas menguraikan Tanakh. Istilah Talmud dan Gemara seringkali digunakan bergantian. Gemara adalah dasar dari semua aturan dari hukum rabinik dan banyak dikutip dalam literatur rabinik yang lain. Keseluruhan Talmud biasanya juag dirujuk sebagai ( singkatan bahasa Ibrani untuk shishah sedarim, atau “enam tatanan” Mishnah).[18]

Dalam Kitab Talmud agama Yahudi pun di ajarkan bahwa umat yahudi wajib untuk berusaha semaksimal mungkin agar kekuasaan umat lain di muka bumi dapat di cegah. Kekuasaan harus dipegang oleh kaum yahudi, bagi umat yahudi, apabila kekuasaan tidak berada pada mereka, maka mereka seolah-olah masih dalam kehidupan penawanan.[19]

Mishnah (משנה) adalah kompilasi pandangan dan perdebatan hukum. Namanya sendiri berarti “redaksi”, dari kata kerja shanah שנה, yang berarti “mengulangi” atau “meninjau”. Nama ini mungkin merupakan petunjuk pada metode studi wacana rabinik dengan cara mengulang-ulang secara lisan. Pernyataan-pernyataan dalam Mishnah biasanya singkat dan padat, mencatat pandangan-pandangan singkat dari para rabi yang memperdebatkan sebuah topic, atau mencatat sebuah peraturan yang tidak disebutkan sumbernya, yang tampaknya mewakili sebuah pandangan consensus. Para rabi Mishnah dikenal sebagai Tannaim (tunggal: Tanna תנא). Berbeda dengan Midrash, Mishna hanyalah sebuah catatan dari kumpulan halakha (yang lainnya adalah Tosefta), namun demikian, penataannya menurut topic menjadi kerangka bagi Talmud secara keseluruhan.[20]

 

Mishna terdiri atas enam tatanan (sedarim, tunggal: seder סדר). Masing-masing dari tatanannya mengandung antara 7 dan 12 traktat, yang disebut masechtot (tunggal: masechet מסכת; harafiah: “jaringan”). Masing-masing masechet dibagi menjadi bab-bab (peraqim) yang terdiri dari unit-unit yang lebih kecil yang disebut mishnayot (tunggal: mishnah). Tidak setiap traktat dalam Mishnah mempunyai padanan Gemaranya. Selain itu, tatanan traktat dalam Talmud berbeda dalam kasus-kasus tertentu dengan tatanan di dalam Mishnah; lih. diskusi pada masing-masing Seder.

Y  Tatanan Pertama: Zeraim (“Benih”). 11 traktat. MEmbahas doa dan berkat, tithes, dan hukum-hukum pertanian .

Y  Tatanan Kedua: Moed (“Hari-hari Raya”). 12 traktat. Berkaitan dengan hukum-hukum Sabat dan Hari-hari Raya.

Y  Tatanan Ketiga: Nashim (“Perempuan”). 7 traktat. Berkaitan dengan pernikahan dan perceraian, beberapa bentuk sumpah dan hukum-hukum tentang orang Nazir.

Y  Tatanan Keempat: Nezikin (“Ganti rugi”). 10 traktat. Berkaitan dengan hukum sipil dan kriminal, cara kerja pengadilan dan sumpah.

Y  Tatanan Kelima: Kodashim (“Hal-hal yang suci”). 11 traktat. Berkaitan dengan ritus-ritus korban, Bait Suci, dan hukum-hukum yang mengatur apa yang boleh dan tak boleh dimakan .

Y  Tatanan Keenam: Tohorot (“Kesucian”). 12 traktat. Berkaitan dengan hukum-hukum ritual kesucian.

 

Para pendeta Talmud mengklaim sebagian dari isi kitat Talmud merupakan himpunan dari ajaran yang disampaikan oleh Nabi Musa secara lisan. Sampai kedatangan Nabi Isa, kita ini belum dihimpun secara tertulis seperti saat ini.  Nabi Isa mengutuk tradisi ini ”misnah” (Talmud awal) termasuk mereka yang mengajarkannya karena isi Talmud seluruhnya menyimpang bahkan bertentangan dengan Taurat.[21]

Memang ada kelompok di kalangan Yahudi yang menolak Talmud dan tetap berpegang teguh kepada Taurat. Mereka disebut golongan Karaiyah, kelompok yang sepanjang sejarahnya paling dibenci dan menjadi korban para pendeta Tahudi ortodoks.[22] Taurat dianggap oleh kaum Yahudi ortodoks meupun kristen sebagai Kitab Musa yang diwahyukan kepadanya dari Tuhan.

Kitab suci agama Yahudi (kisew ha-kosdesh) terdiri  dari semua kitab yang terdapat dalam perjanjian lama dari Al-Kitab Kristiani. Dalam Kanon Ibrani, kitab-kita itu disusun dalam 3 bagian :

  1. Taurat (hukum); terdiri dari pentateuch (lima kitab) yang dinisbatkan kepada Musa yakni terdiri dari kitab kejadian, keluaran, imamat, bilangan dan ulangan.
  2. Nebi’im (para Nabi); terdiri dari Nebi’im Permulaan (misalnya Joshua, Para hakim, Samuel, dan Kitab Raja-raja), Nebi’im terakhir yang terdiri dari Isaiah, Jeremiah, Ezekiel dan ”duabelas” ( hosea, Joel, Amos, Abeniah, Jonah, Micah, Nahum, Habbakuk, Zephaniah, Hanggai, Zechariah, dan Malachi).
  3. Kethubim (tulisan suci); yang terdiri dari (a). Mazmur, Amzal, dan Ayub, (b) Lima Maligot, (nyanyian Sulaiman, Ruth, Ratapan, Pengkhotbah, dan Esther, (c) Daniel, Ezra-Nehemiah dan Tawarikh.

Selain itu terdapat juga Talmud yang merupakan terjemahan serta komentar mengenai Torah dari para rabi dan cendekiawan undang-undang. Ini termasuk Mishnah dan Halakah (kode undang-undang masyarakat utama penganut agama Yahudi), Gemara, Midrash dan Aggadah (legenda dan kisah-kisah lama). Kabballah pula ialah teks lama yang berunsur mistik, dan menceritakan zat-zat Tuhan.[23]

Yahudi, kristen dan Islam biasa disebut agama-agama Ibrahimi (Ibrahimic religion) karena pokok-pokok ajarannya merujuk pada ajaran Nabi Ibrahim (sekitar abd ke-18 SM), agama-agama Ibrahimi menekankan keselamatan melalui iman serta keterkaitan atau konsekuensi langsung antara iman dan perbuatan nyata manusia. Menurut agama-agama samawi, tuhan tidak dipahami sebagai sesuatu yang berfokus pada benda-benda (totenisme) atau upaca-upacara (sekramentisme) seperti pada beberapa agama lain, tetapi sebagai sesuatu yang mengatasi alam dan sekaligus menuntut manusia untuk menjalani hidupanya dengan mengikuti jalan tertentu yang ukurannya adalah kebaikan seluruh umat manusia. Dengan kata lain, selain bersifat serba transendental dan mahatinggi, tuhan juga bersifat etikal, dalam arti bahwa ia menghendaki manusia untuk bertingkah laku etis dan bermoral.[24]

Para ahli ilmiah tentang agama-agama menyatakan bahwa Islam dan Yahudi juga sering disebut agama semitik (semitic religion) dan tergolong dalam agama etika (etical religion) yakni agama yang mengajarkan bahwa keselamatan manusia tergantung perbuatan baik. Hal ini berbeda dengan agama Kristen yang juga termasuk agama semintic kerena teologinya berdasarkan doktrin kejatuhan (fall) manusia (adam) dari surga yang menyebabkan kesengsaraan abadi hidupnya, mengajarkan bahwa manusia perlu penebusan oleh kemurahan tuhan dengan mengorbankan putra tunggalnya, Isa al-masih, untuk disalib menjadi Sang Penebus.[25]

Umat Yahudi memiliki masalah tertentu seperti ihwal israel sebagai bangsa pilihan. Selain itu, mereka bermasalah dalam hal keabadian hukum. Masalah etika dan politik dijunjung tinggi dan dihormati oleh agama Yahudi. Prinsip itu diformusikan dalam kalimat yang indah dan menarik. Diawali dengan kata negasi (jangan) dan imprasi (kerjakan) dan kenal dengan ”sepuluh perintah tuhan”. Selain itu masih ada sejumlah keparcayaan mendasar yang ditulis oleh para pemikir dan pemuka agama Yahudi, antara lain, Musa bin Maimun, atau Maimonides pada akhir tahun abad ke-12. [26]

Agama ini mengajarkan bila seorang anak lahir  dari ibu yang Yahudi, maka ia disebut Yahudi, tanpa memandang siapa yang mengasuh dan membesarkan anak itu. Misalnya, anak lahir dari Bapak Yahudi dan ibu non-Yahudi, ia tidak bisa dikategarikan Yahudi, tapi yang bersangkutan bisa berbuat atau melakukan sesuatu sebagai Yahudi, pergi ke sinagong, merayakan hari Sabat, atau hari keagamaan Yahudi lain dan dengan bergaul dengan teman sesama Yahudi. Disisi lain, anak dari bapak non Yahudi dan ibu Yahudi, tetapi dibesarkan/didik sebagai kristen, masih bisa disebut Yahudi menusut kacamata Yahudi, sekalipun asuhan itu membuat ia buta sama sekali tentang agama Yahudi. Yang jelas dalam Yahudi bukan asuhan yang menentukan status anak menjadi Yahudi, tetapi agama ibu (the religion of mother).[27]

 

  1. E.     Madzhab/Sekte dalam Agama Yahudi

Pertama: Sekte Samaria

Sekte Samaria adalah salah satu sekte tertua dalam agama Yahudi. Asal-usulnya merujuk kepada perpecahan kerajaan Sulaiman menjadi Kerajaan Israel Utara dengan ibu kotanya Samaria dan Kerajaan Israel Selatan dengan ibu kotanya Yerusalem. Sekte Samaria menamakan diri mereka Syumirim dengan erti “Pengawal Syari’at” dan menamakan diri mereka Bani Israel, kerana menganggap diri mereka sebagai bangsa Israel sejati yang berasal dari keturunan suku Efraim dan Manasye. Oleh itu, mereka diberi nama Bani Yusuf.[28]

Namun sumber-sumber klasik Yahudi menganggap mereka sebagai bangsa campuran yang tidak kaitan dengan darah Yahudi murni. Ini kerana percampuran mereka–setelah peristiwa penawanan oleh bangsa Asyur yang mengakhiri sejarah kerajaan Israel Selatan– dengan bangsa-bangsa yang menjadi sasaran politik eksklusif bangsa Asyur melalui kependudukan di daerah-daerah jajahan mereka di Timur Dekat Kuno. Maka berbaurlah orang Samaria yang melarikan diri dari pengasingan dengan kaum-kaum yang telah diasingkan secara paksa ke selatan Palestin (The International Jewish Encyclopedia, 1973:269).

Talmud menyebut sekte Samaria dengan nama Chutim atau al- Kutiyyin yang dikaitkan kepada Kut, salah satu tempat tinggal asli mereka. Sekte Samaria mengaitkan diri mereka kepada Harun dan menamakan Imam Besar dengan imam Lewi yang dikaitkan kepada orang Lewi. Di sebelah selatan, kaum Yahudi merosak citra sekte Samaria penduduk Utara dan menuduh mereka menyimpang dari agama yang benar dan terjerumus untuk menyembah tuhan bangsa lain. Sebagian kitab nabi-nabi mengkritik kritik keras mereka kerana mereka turut terlibat merosakkan agama dan social (The International Jewish Encyclopedia, 1973:269).

Wujud permusuhan lama di antara penduduk utara dengan selatan yang diakibatkan oleh masalah politik yang menyebabkan perpecahan dan selanjutnya melibatkan agama yang pada akhirnya muncul pusat agama baru di utara, iaitu Samaria yang menyaingi pusat agama lama, iaitu Yerusalem di Selatan. Sekte Samaria menganggap bukit Gerizim sebagai bukit suci dan mereka menghadap kepadanya sebagai kiblat agama dari menghadap ke Yerusalem. Bukit ini sekarang menghadap ke kota Nablus yang dahulunya bernama Samaria dan ia pula pernah diberi nama Shikem dalam sejarah kuno yang mendahului kemunculan bangsa Ibrani di Palestin. Sekte Samaria mendakwa Ya’qub (a.s) pernah membangun sebuah rumah Tuhan di kawasan ini dan memberinya nama Betel. Bait ini dahulunya adalah kiblat Musa (a.s), dan orang yang merubah kiblat tersebut adalah Dawud dan Sulaiman, kerana alasan-alasan politik yang sejalan dengan kerajaan yang ditubuhkan (Zhazha, 1975:247-248).[29]

Sekte Samaria berbeda dengan kaum Yahudi yang lain. Mereka hanya beriman kepada Taurat yang mereka namakan Taurat Musa. Mereka menolak kitab-kitab Perjanjian Lama yang lain kecuali kitab Yesaya dan mereka juga menolak Talmud. Taurat merupakan teks yang mendahului teks Mesorah dengan beberapa perbezaan di antaranya adalh teks dalam “Perintah yang Sepuluh” bahwa tempat yang dipilih Tuhan adalah bukit Gerizim.[30] Sekte Samaria meyakini Taurat mereka adalah asli, sedangkan Taurat yang diimani oleh kaum Yahudi yang lain telah mengalami perubahan di tangan Ezra, penulisnya. Mereka merayakan hari Paskah di atas bukit Gerizim di mana mereka menyembelih domba sebagai qurban, kemudian memanggang dan memakannya secara terburu-buru (The Standart Jewish Encyclopedia, 1966:1647).Mereka melakukan ziarah ke bukit Gerizim pada hari raya roti tidak beragi (Matzot) dan membaca beberapa bagian Taurat. Di kalangan sekte Samaria tidak ada satu pun kelompok ulama selain pendeta, kerana pendeta dan orang-orang Lewi tidak mengizinkan itu terjadi. Para pengikut sekte Samaria tidak memiliki kegiatan hokum yang sebanding dengan kegiatan Yahudi Ortodoks (The Standart Jewish Encyclopedia, 1966:1647).

Begitulah kesimpulan keyakinan para pengikut sekte Samaria yang berkaitan dengan keimanan kepada Taurat dan kitab Yesaya, menolak isi Perjanjian Lama yang lain dan Talmud, beriman kepada kenabian Musa dan menolak nabi-nabi lain sesudahnya serta menganggap Musa sebagai penutup kenabian, beriman kepada kesucian bukit Gerizim dan menganggapnya sebagai kiblat Bani Israel (Zhazha, 1975:248). Di samping itu mereka juga meyakini hari berbangkit, hari kiamat dan kedatangan al-Masih juru selamat (Zhazha, 1975:252).[31]

Para pengikut sekte Samaria tinggal di Nablus di mana populasi mereka mencecah 250 orang dan di Holon dengan populasi sekitar 150 orang. Mereka memiliki rumah ibadah di bukit Gerizim yang sentiasa menjadi tempat suci mereka, dan setiap tahun mereka mempersembahkan qurban Paskah kepadanya.

Kedua: Hasideans

Hasideans adalah sekte agama Yahudi yang tidak diketahui sedikit pun tentang asal-usulnya. Sekte ini menjalankan aktivitinya pada abad II sebelum Masehi sepanjang waktu penindasan Antiachus Epiphanes di mana para pengikutnya memilih mati dari mengotori hari Sabat dan mereka merupakan dalang revolusi Hasmonean. Meskipun ada persamaan nama, namun mereka merupakan sekte tua yang berbeda dengan sekte-sekte Hasideans Yahudi moden. Kedua-dua sekte ini dibezakan melalui penggunaan kata Yunani “Hasideans” dari kata Ibrani “Hasidim” dengan makna “orang yang bertaqwa”.

Para pengikut sekte Hasideans dikenali istiqamah menjalankan perintah dan sentiasa berdoa serta berpegang teguh dengan ritual Sabat. Adapun hubungan mereka dengan sekte-sekte Yahudi yang lain, mereka dalam bidang politik turut serta memberontak kaum Hasmonean melawan Yunani. Mereka bersekutu dengan orang Mukabiyyin dan turut mendukung mereka hingga akhirnya terbukti orang Mukabiyyin memiliki tujuan politik yang sekular, lalu mereka berhenti memberikan sokongan. Sebagian ilmuwan menganggap mereka sebagai kelompok yang menyiapkan kelompok Farisi (The Standart Jewish Encyclopedia, 1966:849).

Di antara pemikiran mereka adalah melawan usaha Antiachus memaksakan falsafah Helenisme terhadap kaum Yahudi, menjalim kebebasan beragama dan tidak mendukung nasionalisme Yahudi. Meksipun memiliki pengaruh terhadap orang Hasmonean, namun mereka tidak membantu orang Hasmonean dalam peperangan mereka demi kebebasan politik (Preiffer, 1969:39).

Sekte ini berakhir setelah terjadi konflik dengan orang Mukabiyyin. Akan tetapi pemikiran mereka tetap hidup kerana diambil oleh sekte-sekte Yahudi yang lain, seperti sekte Farisi. Mereka juga dianggap sebagai pendahulu sekte Eseni yang dikenali istiqamah menjalankan syariat. Pfeiffer berpandangan kata Farisi mengisyaratkan makna “yang memisahkan diri” atau “yang mengasingkan diri” atau “tidak tradisionalis”. Sebagian ilmuwan melihat kata “Hasid” dan “Eseni” diambil dari satu kata yang bermakna “ketakwaan” (Preiffer, 1969:39). Ini bererti ada kedekatan inti ajaran antara kedua sekte itu.

 

Ketiga: Farisi

Nama sekte ini secara harfiah bererti “orang yang memisahkan diri” atau “orang yang mengasingkan diri” dari orang lain kerana faktor-faktor yang berkaitan dengan kesucian ritual. Sekte Farisi merupakan sekte agama-politik yang wujud selama waktu Haekal Kedua. Asal-usul mereka tidak diketahui, namun sebagian ilmuwan menganggap mereka sebagai perpanjangan tangan sekte Hasideans yang dikenali kental melawan pengaruh budaya Helenisme Yunani atas kaum Yahudi. Sekte Farisi mengambil ajaran agama Yahudi warisan atau tradisional.[32]

Mereka membentuk satu masyarakat kecil yang tertutup dan menjalani kehidupan berkelompok, khususnya dalam makan dan menjaga aturan-aturan kesucian. Mereka berusaha memaksakan pengaruh mereka terhadap Haikal dan menyaingi orang Saduki dalam hal pengaruh ini. Sekte Farisi memasukkan tradisi-tradisi masyarakat yang tidak ada dasarnya dalam Taurat ke dalam akidah, dan inilah yang ditolak oleh orang Saduki (The Standart Jewish Encyclopedia, 1966:849).

Sekte Farisi dikenali bertentangan dengan kaum Saduki, dan keduanya adalah sekte-sekte Yahudi yang paling penting pada masa itu. Pertentangan di antara keduanya diakibatkan oleh pertentangan sosial. Orang Farisi mengakui konsep yang dinamik dalam hukum tasyri’ sementara kaum Saduki menolak untuk menyesuaikan diri dengan persekitaran yang dinamik itu. Ketika kaum Farisi bersifat bertolak angsur dalam tafsiran-tafsiran mereka, kaum Saduki pula justeru tetap bersifat harfiah dalam mentafsirkan teks bertulis (The Standart Jewish Encyclopedia, 1966:1497).

Dari sisi lain, sekte Farisi mengakui undangundang lisan yang disampaikan dari mulut ke mulut dan menyamakan dengan peraturan-peraturan bertulis, iaitu Perjanjian Lama. Mereka membentuk kehidupan manusia ke dalam kerangka hukum yang meliputi segala sisi kehidupan yang mereka beri asas teologi agama. Mereka mendiskusikan masalah takdir, baik, buruk, kekekalan jiwa dan hasyar. Mereka mengakui konsep qada’ dan qadar di samping mengakui tanggung jawab insan terhadap amal perbuatannya. Kebalikan dari sekte Saduki, orang Farisi mempercayai hidup sesudah mati, orang yang sudah mati bakal dibangkitkan semula, kedatangan al-Masih dan hari perhitungan (The Standart Jewish Encyclopedia, 1966:1498).

Para ilmuwan menganggap sekte Farisi bertanggung jawab atas sokongan akhlak dan unsur fleksibiliti yang membuat agama Yahudi tetap wujud dan mampu melawan krisis-krisis sejarah dan keagamaan. Mereka memandang sekte ini sebagai unsur kemajuan dalam agama Yahudi (Pfeiffer, 1969:40).

Ini kerana ia memiliki kecenderungan yang tetap mentafsirkan semula syari’at dan menghasilkan warisan lisan yang diberi nama tradisi lisan. Sekte Farisi dianggap bertanggung jawab terhadap usaha mengembangkan dan menyokong Sinagog (tempat ibadah) sebagai pusat ibadah dan pengajian di samping Haikal. Mereka juga mengembangkan ritual Sinagog yang sebagian besarnya masih diikuti hingga ke hari ini (Pfeiffer, 1969:41 dan The International Jewish Encyclopedia 1973:240).

Konflik antara sekte Farisi dengan sekte Saduki merupakan waktu perpindahan kepimpinan agama Yahudi dari orang Saduki yang dikenali memiliki kecenderungan keagamaan yang bersifat keimaman konservatif dan cenderung aristokrat-sosialis kepada orang Farisi yang cenderung tidak ada imami, tetapi merakyat, sebagai guru dan ahli hikmah, meskipun sekte sering mengasingkan diri untuk menjaga kesucian syi’ar kegamaan. Sekte Farisi cuba menghambat kekuasaan orang Saduki ke atas Haikal. Oleh itu, mereka mengembangkan Sinagog sebagai pengganti Haikal untuk membatasi pengaruh orang Saduki yang sudah memiliki kekuatan di Haikal, dan akidah mereka telah berubah menjadi sekadar symbol belaka. Sementara orang Farisi memperluas pentafsiran dan menampung tuntutan hidup dengan mengeluarkan hokum-hukum baru yang berisi pengakuan terhadap perkembangan dan perubahan (Herford, 1962:4).[33]

Orang Farisi pula memperluaskan lagi ruang lingkup keimaman dari kelompok imam yang dipegang oleh orang Saduki kepada keimaman rakyat dengan nilai-nilai sejagat dan sistem demokrasi. Mereka menganggap Sinagog sebagai lembaga keagamaan yang terbuka bagi semua orang untuk beribadah, berkhidmat dan belajar sekali gus menggantikan Haikal yang dikuasai oleh orang Saduki. Sebagian peneliti menganggap orang Farisi sebagai masyarakat keagamaan atau masyarakat beriman. Inilah yang membuat agama Yahudi tetap bertahan setelah keruntuhan negara (Herford, 1962:4).

 

Keempat: Sekte Saduki

Orang Saduki merupakan kelompok papan atas yang terdiri dari para penguasa Yerusalem, dan kelompok yang setia kepada mereka tetap terbatas hanya kepada papan atas yang terdiri dari para imam dan skup tentera serta keluarga aristokrat Yahudi. Sebagian ilmuwan berpendapat asal-usul orang Saduki kembali kepada imam besar, Zadok, imam besar Sulaiman, dan anak cucunya yang mewarisi kedudukan ini sampai tahun 162 SM. Orang Saduki mempunyai pengaruh besar dalam bidang politik dan ekonomi. Menurut mereka, agama berkait rapat dengan Haikal dan ritualnya tanpa ada kaedah teologi agama yang kuat (The Standart Jewish Encyclopedia, 1966:1639).

Meskipun mereka mengakui autoriti Perjanjian Lama, khususnya hukum-hakam, namun kecenderungan teologi mereka bersifat negatif. Mereka menolak keyakinan tentang arwah, malaikat dan hari berbangkit. Mereka juga menolak tradisi lisan atau yang dinamakan hukum lisan yang tidak bertulis (The Standart Jewish Encyclopedia, 1966:41).

Mereka memberi tumpuan terhadap tafsiran harfiah bagi Perjanjian Lama dan menolak setiap pembaharuan serta hukum-hakam baru yang dikembangkan oleh orang Farisi serta menganggapnya termasuk bid’ah. Orang Saduki memiliki ikatan dengan raja-raja Hasmonean. Mereka menerima pemikiran Helenisme kendati mereka berada dalam aliran yang keras. Mereka berjaya meraih pengaruh politik dan ekonomi yang besar kendati populasi mereka sedikit. Mereka pernah memiliki autoriti politik dalam waktu singkat. Mereka memberi perhatian besar terhadap hubungan nasab, darah, kedudukan sosial dan ekonomi sedangkan orang Farisi menaruh perhatian terhadap ketakwaan dan pendidikan (The International Jewish Encyclopedia, 1973:105).

Orang Saduki berbeda dengan rang Farisi dalam beberapa perkara yang antara lain dalam pandangan keagamaan dan gaya hidup di mana orang Saduki menyerukan hak individu dan kelompok dalam mewujudkan kebahagiaan serta kemakmuran dalam kehidupan dunia tanpa menunggu ganjaran pahala di alam lain. Ini berlandaskan kepada sikap mereka yang menolak adanya alam sesudah kematian, hari berbangkit dan keabadian ruh. Keberadaan orang Saduki berakhir bersamaan dengan keruntuhan Haikal pada tahun 70 M di tangan bangsa Rom. Dengan lenyapnya Haikal, maka lenyap pulalah kekuasaan agama, politik, sosial dan ekonomi orang Saduki, serta lenyap pulalah keberadaan mereka. Pada waktu yang bersamaan, orang Farisi tetap wujud dan akidah mereka berkembang sampai menjadi popular dengan istilah Yahudi Tradisionalis atau Rabisme.[34]

 

Kelima: Sekte Eseni

Eseni adalah satu sekte agama Yahudi yang sezaman dengan sekte Farisi dan Saduki pada dua abad sebelum masehi sampai hancurnya Haikal pada tahun 70 M di tangan bangsa Rom. Nama sekte ini agak aneh. Sebagian ilmuwan menegaskan bahwa maknanya adalah orang yang bertaqwa. Mereka menggalinya dari bahasa Suryani dan Hasya dengan makna “orang yang bertaqwa” (Preiffer, 1948:43).

Nama tersebut seolah mencakupi beberapa masyarakat Yahudi yang mengasingkan diri yang kemudian disebutkan oleh sejarawan Yosefus (Yusuf bin Ma􀄴a) terdiri dari dua kelompok masyarakat; salah satu darinya tidak membolehkan berkahwin dan mewajibkan melajang, sedangkan yang satunya lagi membolehkan berkahwin (The International Jewish Encyclopedia, 1973:105).

Yosefus dan ahli falsafah Philon tetap menjadi sumber informasi utama tentang orang Eseni sampai akhirnya ditemukan naskah-naskah Laut Mati di mana sebagian besar sejarawan berpendapat bahwa orang-orang Eseni yang dibicarakan oleh naskah-naskah tersebut dan mereka

memiliki ikatan dengan agama Masehi sejak awal lagi. Antara orang Eseni adalah keyakinan tentang keabadian ruh serta pahala dan siksa, namun mereka tidak mempercayai kebangkitan jasad. Mereka menentang perhambaan dan kepemilikan peribadi. Mereka hidup secara berkumpulan. Mereka mempunyai gaya hidup sederhana yang tegak berdasarkan zuhud, mengasingkan diri dan hak kepemilikan yang bersifat kolektif. Mereka lebih ekstrim dari orang Farisi dalam masalah ritual dan ritual Sabat. Mereka menekankan perlunya mandi sebelum melaksanakan ritual dan bangun pagi untuk berdoa. Mereka mengutamakan berdiam diri dalam waktu yang lama (The Standart Jewish Encyclopedia, 1966:640).[35]

Di kalangan mereka terdapat satu kelompok yang menolak pernikahan dan mengutamakan untuk melajang. Bagi orang yang ingin bergabung dengan kelompok ini hendaklah terlebih dahulu melakukan latihan yang ketat dan tidak dibenarkan menyampaikan ajaran-ajaran kelompok kepada sesiapa pun di luar kelompok mereka. Mereka menolak qurban-qurban haiwan dan hanya mendekatkan diri kepada Haikal dengan mempersembahkan roti dan

minyak samin (Pfeiffer, 1969:44).

Pekerjaan utama mereka adalah bercucuk tanam. Mereka membahagikan pekerjaan di antara sesama mereka. Mereka menghabis kan sebagian besar waktu mereka untuk beribadah dan mempelajari agama. Dalam beribadah mereka tidak mahu bergabung di Haikal meskipun orang Saduki menguasainya. Orang Eseni membentuk satu kelompok persaudara an yang berpisah dari masyarakat kebanyakan. Sedangkan orang Farisi turut serta dalam kehidupan kelompok Yahudi, termasuk kegiatan yang berkaitan dengan khidmat keagamaan di Haikal. Orang Eseni menganggap diri mereka sebagai bangsa Israel sejati (Pfeiffer, 1969:44).

Meskipun sekte Eseni menjalani hidup zuhud dan mengasingkan diri, namun mereka ikut terlibat dalam kehidupan politik pada masanya. Mereka turut serta dalam peperangan melawan Rom. Jumlah populasi orang Eseni mencecah 4000 orang menurut pernyataan Philon, dan mereka bertempat tinggal di beberapa kota dan perkampungan, di antaranya Ain Jaddi yang dianggap oleh para peneliti sebagai kawasan Qumran tempat di mana ditemukan naskah-naskah Laut Mati. Keberadaan kelompok ini berakhir setelah kehancuran Haikal pada tahun 70 M. Orang Eseni memiliki kesamaan dengan orang Farisi dalam beberapa perkara yang antara lain adalah menentang orang Saduki menjadi imam-imam Yerusalem. Orang Eseni amat membenci orang yang tidak ikut serta beribadah di Haikal, sementara orang Farisi masih dapat kenyataan itu. Kedua-dua sekte tersebut sama-sama menekankan betapa penting hidup mengasingkan untuk menjaga kesucian ritual dan memastikan ibadah dan ketaqwaan peribadi dapat dilakukan lebih khusyuk (Judaica, 10/763).

Kedua-dua sekte tersebut sama-sama meyakini keabadian jiwa. Namun orang Eseni menolak keyakinan kebangkitan jasad yang dipercayai oleh orang Farisi. Latar belakang sosial orang Eseni hampir sama dengan orang Farisi sedangkan sekte Saduki bertumpu kepada aristokrat, tentera dan imam-imam papan atas.

 

Keenam: Sekte Karaite

Sekte Karaite dianggap sekte Yahudi paling penting yang menentang sekte Yahudi Rabi. Mereka diberi beberapa gelaran yang antara lain adalah “Abnaul Miqra” dan “Ahlul Miqra” sebagai isyarat kepada keteguhan orang Karaite memegang Perjanjian Lama sebagai satu-satunya sumber

hukum dan tidak mengakui adanya hukum lisan. Meskipun sekte Karaite muncul pada awal abad VIII Masehi, namun terdapat usaha-usaha untuk mengembalikan asal-usul kelompok ini kepada periode di antara dua masa di mana sebagian ilmuwan meyakini bahwa kelompok yang dikenal pasti melalui naskah-naskah Laut Mati memiliki pengaruh terhadap kemunculan kelompok-kelompok Yahudi belakangan yang pada akhirnya menjadi sekte Karaite.[36]

Para pakar naskah-naskah Laut Mati menyimpulkan bahwa terdapat persamaan dalam keyakinan antara kedua kelompok tersebut iaitu meyakini Perjanjian Lama sebagai sumber hukum, menolak hukum lisan, menaruh perhatian yang besar terhadap pemikiran Mesias, hari kiamat dan tanda-tanda hari kiamat, kedatangan al-Masih untuk mewujudkan kebebasan bagi bangsa Israel, memandang peristiwa-peristiwa masa dahulu bukan hanya sekadar kejadian-kejadian masa lalu, melainkan sebagai tanda-tanda bagi kejadian-kejadian masa yang akan datang, serta meyakini bahwa inilah keimanan Musa yang benar, sedangkan selainnya adalah sesat.

Pada waktu yang bersamaan, terdapat beberapa perbezaan antara kedua kelompok itu yang antara lain adalah dualisme yang diyakini oleh kelompok-kelompok Laut Mati dan membagi alam menjadi dua; alam kebaikan dan keburukan, atau alam cahaya dan alam kegelapan, tunduk kepada takdir yang tidak berubah, dan cenderung menjaga ketat rahsia serta memiliki istilah yang sukar difahami masyarakat awam dan gaya bahasa yang sempit. Demikian pula dengan sistem rahib yang dijalankan oleh para pengikut sekte-sekte Laut Mati. Kesimpulannya, hubungan antara kedua-dua sekte tersebut merupakan dua mata rantai yang tidak bersambung dalam sejarah pertentangan agama Yahudi terhadap agama Yahudi Tradisionalis atau Ortodox Rabi dan tidak ada ikatan secara langsung antara kedua-dua sekte tersebut. Kedua-dua sekte tersebut berdiri secara terpisah, meskipun keduanya memiliki persamaan ciri utama, iaitu menentang agama Yahudi Tradisionalis (Judaica, 􀄴:10/764).

Pemberian nama ”Karaite” merujuk kepada abad IX Masehi dan sekte tersebut turut diberi nama ”Ananiyah” yang dikaitkan kepada pengasasnya, Anan bin Daud (Anan ben David). Antara faktor yang menyebabkan kemunculan kelompok ini pada abad IX Masehi adalah berkembangnya beberapa kecenderungan agama yang bukan tradisionalis di kalangan Yahudi Babilonia dan Parsi, kemunculan Islam dan perubahan keagamaan di Timur Dekat Kuno serta pengaruh secara terhadap agama Yahudi dan Masehi, perubahan-perubahan agama, ekonomi, sosial dan politik yang melanda Timur secara keseluruhan sebagai akibat kemunculan Islam. Sekte ini muncul sebagai tindak balas terhadap kemunculan kelas-kelas sosial Yahudi yang miskin secara sosial dan ekonomi yang merajalela kerana mereka jauh dari pusat-pusat agama Yahudi, khususnya mereka yang bertempat tinggal di Babilonia (Zhazha, 1975:294).

Pemikiran pengikut sekte Karaite mencakupi beberapa sekte Yahudi yang dipengaruhi oleh Islam, seperti al-Isawiyah (Isawites) yang didirikan oleh Abu Isa al-Asfahani dan al-Yodganiyah (Yudghanites) yang didirikan oleh Yodgan, murid Abu Isa al-Asfahani, dan kedua-duanya mengaku nabi pada abad VIII Masehi. Kelompok yang terakhir ini dipengaruhi oleh sekte Mu’tazilah Islam dan para pengikutnya masuk ke dalam sekte Karaite sesudah kemunculannya. Kemudian yang bergabung dengan al-Yodganiyah adalah kelompok al-Musykaniyah. Kelompok ini mengakui kenabian Muhammad (s.a.w) dan mengakui beliau diutus kepada bangsa Arab, bukan kepada Bani Israel (Judaica, :10/764).[37]

Kelompok Karaite juga mencakupi kelompok-kelompok Yahudi yang lain, seperti sebagian orang Saduki yang merupakan saki baki masa sebelum Talmud, Boethusians dan gerakan-gerakan keagamaan lain yang menentang Yahudi Tradisionalis (Judaica, :10/777). Asal-usul sekte Karaite merujuk kepada masa Yerobeam pada awal perpecahan kerajaan Israel menjadi dua kerajaan setelah kewafatan Sulaiman (a.s) pada abad X SM dan kemunculan sekte Saduki, para pengikut Zadok. Namun sumber-sumber Rabi Tradisionalis meyakini kemunculan

sekte Karaite kepada Anan bin Daud dan kedengkiannya terhadap saudaranya, Hananiya, yang dipilih menjadi pimpinan oleh Jalut.

Para pengikut sekte Karaite mencampur adukkan keyakinan mereka antara konsep-konsep agama Yahudi kuno yang keluar dari warisan Talmud dengan beberapa ajaran Islam yang diambil secara langsung dari Islam dan beberapa sekte Islam. Antara bentuk pengaruh Islam adalah serangan sekte Karaite terhadap kecenderungan Tasybihi (Anthropomistik) yang mendominasi dalam agama Yahudi, khususnya tentang Agada dan etika tasawuf Yahudi di mana Tuhan disifatkan dengan sifat-sifat manusia tulen atau menyerupakan Tuhan dengan manusia (Musyabbahah).[38]

Keyakinan sekte Karaite terdiri dari 10 rukun utama:

  1. Allah adalah pencipta alam semesta dan alam ruh dari ketiadaan.
  2. Allah adalah pencipta yang bukan makhluk.
  3. Allah adalah esa tanpa bentuk, tidak ada suatu apa pun menyerupai-Nya, tungal, tidak memiliki jasad dan mutlak dalam keesaan-Nya.
  4. Allah telah mengutus Musa (a.s) (keyakinan terhadap kenabian dan para nabi)
  5. Allah telah menurunkan Taurat melalui Musa (a.s) yang mencakupi hakikat yang sempurna, dan tidak ada syari’at lain apa pun yang dapat menyempurnakan atau menghapusnya, khususnya syari’at lisan yang dikenal oleh para Rabi.
  6. Setiap orang yang beriman wajib mengetahui Taurat dalam bahasa aslinya dan mengetahui maknanya yang sahih.
  7. Allah menurunkan wahyu sendiri-Nya kepada para nabi-nabi lain, sekalipun kedudukan kenabian mereka berada di bawah Musa (a.s).[39]
  8. Allah akan membangkitkan orang yang telah mati pada hari perhitungan (hisab).
  9. Allah membalas setiap manusia menurut cara hidupnya dan amal perbuatannya. (Ini mencakupi individualisme, kebebasan kehendak, keabadian ruh, serta keadilan pahala dan siksa di akhirat)
  10. Allah tidak merendahkan orang yang telah diasingkan, melainkan Dia menyucikan mereka melalui penderitaan dan kesengsaraan mereka di tempat pengasingan, sementara mereka menunggu pembebasan ilahi melalui al-Masih juru selamat dari Bait Dawud. (Namun sebagian anggota sektesekte Karaite menolak keyakinan tentang al-Masih juru selamat)

 

  1. 1.      Corak Tradisionalis

Pengikut gerakan jenis ini tidak berusaha menciptakan perubahan apa pun dalam konsep agama yang diwarisi. Di sini kami menyebutnya sebagai corak gerakan yang menjadi poros gerakan-gerakan lain dan menjadikannya sebagai pusat pemikiran untuk menciptakan perubahan yang bersesuaian dengan keyakinan yang diserukannya. Dalam waktu yang bersamaan, corak gerakan ini merupakan tiang yang bercabang daripadanya gerakan-gerakan keagamaan lain yang terpaksa mengambil sikap daripada tiang ini, lalu menerimanya atau menyimpang daripadanya berdasarkan  pandangannya yang baru dan pandangannya kepada keyakinan-keyakinan yang dikandungi oleh tiang ini. Corak Tradisionalis yang diwarisi ini disebut keyakinan Ortodox yang mengungkap di dalam setiap agama tentang bentuk asli tradisionalis agama dan menentang setiap usaha- usaha pembaharuan atau reformasi. Kalaupun pembaharuan atau reformasi harus diterima, namun itu pun dengan tingat kewaspadaan yang tinggi. Penggunaan istilah Ortodox untuk membezakan antara pemikiran agama corak ini dengan corak-corak lain yang muncul daripadanya. Ketika para penganut keyakinan Ortodox berusaha menyesuaikan keyakinan mereka dengan tuntutan-tuntutan kekinian, namanya disebut Neo-Ortodox yang berusaha merubah sendiri apa yang sejalan dengan perubahan-perubahan mendadak dan sejalan dengan masa kekinian, akan tetapi dalam batas-batas yang sangat sempit.[40]

  1. 2.      Corak Pembaharuan

Corak gerakan ini adalah corak gerakan yang berusaha menjelaskan agama atau keyakinan dasar dengan penjelasan kekinian dan mentafsirkannya dengan tafsiran yang selaras dengan masa dan tempat serta berusaha mencari jalan keluar bagi masalah-masalah yang timbul akibat interaksi antara agama dengan persekitaran dalam batasan-batasan masa dan tempat yang tepat.

  1. 3.      Corak Reformis

Corak gerakan ini adalah corak gerakan yang berusaha memasukkan banyak perubahan ke dalam keyakinan Ortodox dan memaksanya untuk meninggalkan pemikiranpemikiran tradisionalis yang diwarisi jika telah terbukti tidak ada manfaatnya. Kadang kala tujuan reformasi tersebut untuk membersihkan keyakinan Ortodox daripada unsur-unsur asing yang telah masuk ke dalamnya dan kembali kepada keadaannya yang semula. Kadang kala tujuan reformasi tersebut adalah pembaharuan dan menerima masa kekinian dengan melepaskan diri daripada keyakinankeyakinan yang menghalangi terwujudnya tujuan ini.

 

  1. F.        Doktrin-doktrin yang dikembangkan

Pada zaman Musa (a.s) untuk pertama kalinya ditetapkan tentang ciri khusus bagi sifat Tuhan. Antara ciri yang paling penting adalah tuhan tidak mungkin dapat dibayangkan atau dijelmakan dalam bentuk dan rupa apa pun seperti mana yang dilakukan oleh penganut paganism terhadap tuhan-tuhan mereka. Perintah kedua dari sepuluh perintah menyebutkan: “Jangan kau buat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi” [Kitab Keluaran 20:4].

Perintah ini memberikan bentuk metafisikbagi Tuhan dengan makna bahwa Dia adalah tuhan yang maha suci dari alam yang diciptakan-Nya dan tidak mungkin dapat membayangkan-Nya dalam bentuk apa pun dari bentuk-bentuk alam yang diciptakan itu. Dia adalah tuhan yang tidak berbentuk yang tidak bergantung kepada alam. Dia bersifat metafizik, kerana Dia adalah penciptanya. Dalam perintah pertama terdapat teks yang menegaskan satu sifat asas Tuhan, iaitu sifat tauhid (esa): “Jangan ada padamu Allah lain di hadapan-Ku” [Kitab Keluaran 20:3]. Selain itu, mukaddimah perintah juga memberikan satu sifat lain bagi Tuhan, meskipun tidak dalam bentuk perintah, iaitu sifat menguasai sejarah dan peristiwa-peristiwanya. Tuhan adalah tuhan sejarah yang menggerakkan peristiwanya dan mengendalikan perjalanannya. Mukaddimah perintah yang sepuluh dalam kitab Keluaran (Eksodus) mengingatkan orang Israel tentang perbuatan Tuhan yang telah berlangsung dalam sejarah berupa membebaskan orang Israel dari perhambaan bangsa Mesir: “Akulah Tuhan, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perhambaan” [Kitab Keluaran 20:2].

Ada pula satu sifat penting dan asas, iaitu sifat akhlak Tuhan, iaitu satu sifat baru yang tidak dikenal pada periode sebelumnya atau setidaknya belum ditulis secara teks. Sifat akhlak ini dapat dijumpai dalam sekumpulan perintah-perintah moral yang mengiringi sekumpulan perintah-perintah doktrin. Tujuan menyusun perintah yang sepuluh mengikut bentuk ini adalah membentuk ikatan antara doktrin agama dengan akhlak dalam bentuk yang membuat doktrin itu menjadi sumber akhlak dan mampu memberikan agama sifat akhlak yang praktikal. Barangkali ungkapan: “Sebab Aku, Tuhan, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang yang membenci Aku, tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, iaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah-Ku”, [Kitab Keluaran 20:5] mengisyaratkan makna yang samar dan tidak secara langsung menunjukkan pahala dan siksa sehingga membuat perintah-perintah moral selanjutnya menjadi sesuatu yang logik (Anderson, 1962:34-35). Tuhan adalah Tuhan pemilik perintah-perintah doktrin dan moral yang wajib dita’ati yang membuahkan pahala, sedangkan tidak menta’atinya pasti mengakibatkan mendapat siksa. Di sini muncullah konsep keta’atan sebagai asas bagi hubungan antara Tuhan pemilik perintah dengan hamba yang diciptakan yang menjalankan perintah-perintah ini. Perintah-perintah akhlak tersebut disusun sesudah perintah-perintah doktrin seperti mana berikut: “Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu. Jangan membunuh. Jangan berzina. Jangan mencuri. Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu. Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini isterinya, atau hambanya lelaki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keldainya,

atau apa pun yang dipunyai sesamamu” [Kitab Keluaran 20 : 12-17].

Selain perintah doktrin dan moral ada pula jenis lain perintah khusus tentang ibadah yang disebut melewati perintah ritual. Perintah ini mencakupi perintah yang mengharamkan untuk menuturkan nama Tuhan secara semberono: “Jangan menyebut nama Tuhan, Allahmu, dengan sembarangan, sebab Tuhan akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan” [Kitab Keluaran 20 : 7].

Perintah kedua ini dikhususkan untuk memuliakan hari Sabat (Sabtu) dan ritual-ritual yang berkaitan dengan pemujaan ini: “Ingatlah, dan kuduskanlah hari Sabat. Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu lelaki, atau anakmu perempuan, atau hambamu lelaki, atau hambamu perempuan, atau haiwanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu. Sebab enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Dia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya Tuhan memberkati hari Sabat dan menguduskannya” [Kitab Keluaran 20 : 8-11].[41]

Dalam teks perintah-perintah yang sepuluh, ada pula tiga jenis perintah yang membentuk struktur keagamaan agama Israel pada zaman Musa (a.s); pertama, perintah doktrin tentang konsep agama yang membahas sifat tuhan; kedua, perintah tata cara beribadah kepada tuhan sebagai amalan yang wajib dilaksanakan; ketiga, perintah akhlak yang mengisyaratkan tuhan sebagai tuhan akhlak dan agama sebagai peraturan yang wajib dilaksanakan melalui perilaku yang bersifat akhlak dan akhlak ini memiliki ikatan yang tidak dipisahkan dengan agama. Dengan kata lain, akidah dan akhlak tidak boleh dipisahkan dan akidah merupakan sumber bagi akhlak. Di antara perintah-perintah tersebut dapat diketahui konsep pahala dan siksa seperti mana dijumpai dalam ungkapan:

Aku, Tuhan, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya … tetapi Aku menunjukkan kasih setia … sebab Tuhan akan memandang bersalah

orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan…supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan…[42]

Antara doktrin-doktrin pada fasa Musa dalam perkembangan agama Yahudi adalah doktrin perjanjian. Doktrin ini telah pun wujud pada periode ‘para leluhur’, namun ia tidak berkembang menjadi salah satu doktrin agama Yahudi melainkan sesudah periode Musa bersamaan dengan proses-proses sejarah yang mengembalikan konsep perjanjian kepada masa-masa sebelumnya, malah sebagian proses sejarah doktrin ini telah pun diyakini wujud sejak Adam (a.s), yakni sejak awal penciptaan. Tuhan pada periode ini disifatkan sebagai Tuhan perjanjian dan para pengikut yang menyembah-Nya disifatkan sebagai pengikut perjanjian (Bright, 1972:122-144).

Oleh yang demikian, kelompok Ibrani yang keluar meninggalkan Mesir setelah melihat Tuhan membela mereka dalam pelbagai peristiwa penting itu meyakini bahwa mereka dipilih oleh sisi tuhan untuk menjadi pengikut-Nya [Kitab Keluaran 15 : 1–18, Bilangan 23 : 9, Ulangan 33 : 28, Hakim-hakim 5 : 11] (Anderson, 1962:35).

Pilihan tuhan ini merupakan anugerah tuhan dan bukan sifat-sifat khusus dalam kelompok ini. Konsep perjanjian merupakan konsep yang sudah ada sejak dahulu kala di mana ia terjadi lantaran adanya ikatan kuat yang mengikat kabilah dengan tuhan mereka. Namun kadang kala perjanjian itu menjadi putus antara tuhan dengan kabilah yang menyembah-Nya, seperti janji tuhan untuk melindungi kabilah-Nya, memberikan pertolongan dan memimpin mereka dalam peperangan melawan musuh mereka. Sistem keagamaan tribalisme pula memaksakan adanya sistem perjanjian ini. Barangkali inilah yang terjadi sesudah zaman Musa (a.s) di mana kabilah-kabilah Israel mula bersatu padu setelah mereka bermukim di Kan’an.

 

BAB III

Praktek Keagamaan dalam Agama Yahudi

 

  1. A.    Ritual Keagamaan dalam Agama Yahudi

Ibadah pada masa itu sangat sederhana. Ciri masyarakat nomaden yang mendominasi kehidupan bangsa Ibrani tidak membenarkan adanya tata cara ibadah yang rumit dan tidak mendirikan rumah atau kuil yang khusus untuk tempat ibadah. Di samping itu, ciri masyarakat nomaden juga membuat hubungan antara Tuhan yang disembah dengan bangsa yang menyembah-Nya bercirikan fanatic yang berdasarkan kesukuan dan mengungkapkan dirinya melalui konsep ancaman dan janji yang selanjutnya menjadi asas agama bagi agama Yahudi. Keperibadian Ibrahim (a.s) dianggap tokoh agama paling utama pada periode ‘para leluhur’. Beliau menerima wahyu Tuhan, menjunjung tinggi perintah Tuhan dalam bentuk keta’atan yang sempurna, menerima janji Tuhan untuk kebaikan masa depan bangsa Israel dan hidupnya dianggap teladan bagi kehidupan yang beriman dan keta’atan. Beliau adalah orang yang pertama kali meninggalkan penyembahan berhala-berhala kerana mengakui adanya satu Tuhan.[43] Ulangan 5:14-15).

Berikut isi kesepuluh perintah tersebut:

20:1Lalu Allah mengucapkan segala firman ini:

20:2“Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan. Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku. 20:3Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. 20:4Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku, 20:5tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah-Ku. 20:6Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan. 20:7Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: 20:8enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, 20:9tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu. 20:10Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan menguduskannya. 20:11Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu. 20:12Jangan membunuh. Jangan berzinah. Jangan mencuri. Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu. 20:13Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apapun yang dipunyai sesamamu.”

 

  1. B.     Ritual Keagamaan

Sekitar 3200 tahun yang lalu Musa memimmpin mereka keluar dari daerah perbudakan, merupakan satu rombongan besar ada yang berkuda, ada yang naik kereta, berjalan kaki dan sebagainya. Semua mengikuti Musa menuju kearah timur dari tanah Mesir.di Mesir, banyak terdapat Tuhan-tuhan dan berhala-berhala. Orang yang ingin melihat Tuhannya dapat memnuhi keinginannya itu dengan pergi ke kuil terdekat. Orang-orang Israel yang sudah bebas itu menyangka, bahwa di kaki gunung Sinai mereka pun akan dapat menjumpai Tuhan mereka berbentuk sapi jantan, atau anak sapi, atau seperti seekor burung hantu. Tapi ternyata mereka tidak melihat sesuatu apapun selain dari gunung. Mereka bertanya “mana Tuhan yang engkau janjikan itu dan siapa yang telah menjanjikan kepadamu untuk membawa kami dengan selamat ke negeri yang di janjikan itu.” Musa menjawab, Yehovah barang siapa yang ingin melihat wajah Tuhan dia harus mati dahulu.”

Kemudian Musa langsung berangkat mendaki gunung Sinai, menuju puncaknya dan berdiam disitu dan berdiam selama empat puluh hari. Setelah itu, Musa turun kembali dengan membawa apa yang terkenal dengan sepuluh perintah Tuhan untuk disampaikan kepada umatnya, Bani Israel.

Ajaran yang belum pernah dikenal sebelumnya secara pasti hanyalah

1)        Tuhan Israel itu adalah Yehova, yang akan membawa mereka keluar dari negeri perbudakan ke suatu negeri yang dijanjikan, maka mereka tidak boleh bertuhan kepada ilah-ilah selain dari Yehovah.

2)        Mensucikan waktu sabath untuk beristirahat dari segala pekerjaan, yang selama ini tidak pernah mereka kenal, apalagi sebagai bangsa budak.

Dari sejarah mereka yang sudah diketahui, bahwa orang Israel semenjak dahulu tidak pernah tetap menyembah Tuhan yang Esa. Sejarah mereka mengatakan bahwa mereka sangat gemar menyembah Tuhan yang berbentuk, bertubuh, dan berbilang. Semua ini merupakan peninggalan kepercayaan kuno mereka, atau diambil dari kepercayaan berbagai suku bangsa lain, karena adanya kontak dalam kehidupan antara mereka dengan bangsa-bangsa lain. Musa juga tidak berdaya melarang dan mencegah mereka menyembah anak lembu, kambing, dan anak dalam kandungan.[44]

Taurat ada yang meninggung penyembahan anak lembu ini. Dan penyembahan terhadap lembu selalu mengalami pembaharuan di kalangan mereka. Ya’rub’am putra sulaiman pernah membuat dua lembu emas untuk disembah pendukung-pendukungnya supaya tidak susah payah pergi kerumah suci Hakal. Ahab raja Bani Israel  pernah menyembah lembu setelah sataja Bani Israel  pernah menyembah lembu setelah satu abad sesudah kematiansudah kematian Sulaiman. Lebih dari itu, mereka juga pernah menyembah ular. Musa terkenal dengan mukjizatnya. Menurut kitab suci, musa pernah membuat seekor ular dari tembaga, kemudian ular ini disembah bani Israel.

  1. a.      Sembahyang Yahudi

Menurut Amir Ali, hukum Nabi Musa tidak mengandung aturan-aturan mengenai sembahyang, selain mengenai pembayaran sepersepuluh prosen kepada pendeta, dan upacara rumah tangga waktu memperkenalakan anak pertama.

Tiga jam dalam sehari dipergunakan untuk melakukan ibadat sembahyang, yaitu jam sembilan, jam dua belas, dan jam tiga. Tapi kemestian, bahwa segala upacara harus melalui pendeta. Talmud mengatur masalah sembahyang yang tiga waktu diatas dengan lebih terperinci, yaitu orang Yahudi harus melaksanakan sembahyang tiga waktu sehari semalam. Sembahyang pagi, sembahyang siang, dan sembahyang malam.

Sembahyang pagi hari, dapat dilaksanakan mulai terbit fajar samapi sepertiga panjangnya siang hari atau sekitar sampai jam sepuluh. Sembahyang siang, mulai sesaat setelah matahari condong kebarat atau setelah lewat tengah hari, sampai matahari terbenam. Sekitar jam 12.15-18.00 sembahyang malam, mulai sesaat setelah matahari terbenam, atau setelah malam tiba, sampai menjelang terbit fajar. Waktu ini disesuaikan dengan waktu pelaksanaan kurban harian yang dilakukan di kuil-kuil kerena sembahyang sebenarnya sudah menjadi pengganti kurban harian itu.

Sembahyang pagi adalah sembahyang yang paling khusyu’ dilakukan diantara tiga sembahyang itu. Karena sembahyang ini dilakukan pada waktu seseorang belum makan minum sesuatu pekerjaan.

Untuk sembahyang harian diutamakan agar dapaat dilaksanakan secara berjama’ah paling sedikit sepuluh orang laki-laki yang telah berusia lebih dari tiga belas tahun.

  1. b.      Puasa

Ada pendapat, bahwa semua umat hanya menjalankan puasa pada waktu bergabung, duka cita dan kemalangan. Pada umumnya di kalangan kaum Yahudi, puasa itu dilakukan sebagai tanda berkabung dan duka cita. Misalnya Nabi Daud di ceritakn menjalankan puasa tujuh hari pada waktu putranya yang masih kecil sakit.

Syariat Musa menetapkan, bahwa hari penebusan adalah hari puasa, yang intinya agar orang-orang merendahkan diri dan hatinya dengan berpuasa. sementara itu, para pendeta menebusi mereka agar suci dari pada dosa.

Disamping itu, ada beberapa hari puasa yang dipopulerkan setelah hari pembuangan, yaitu sekedar untuk memperingati kejadian yang menyedihkan tatkala kerajaan Yahudi di hancurkan. Diantaranya empat hari Puasa yang di ajarkan secara tertib yaitu :

1)      Memperingati permulaan kota Yerussalam yang di kepung.

2)      Kota Yerusssalam jatuh

3)      Kanisah di hancurkan

4)      Gedaliah dibunuh.[45]

Ibadah Puasa memang salah satu ibadah yang telah diwajibkan oleh Allah kepada ummat sebelum ummat Muhamad SAW. Jadi umat Yahudi pada hakikatya sudah dikenakan kewajiban berpuasa berdasarkan ajaran dan perintah Allah yang telah disampaikan kepada nabi Musa untuk di amalkan oleh Umatnya, tetapi pelaksanaan kewajiban puasa oleh umat Yahudi kelihatnnya tidak lebih daripada peringatan-peringatan terhadap peristiwa-peristiwa yang menimpa mereka baik peristiwa suka, maupun duka. Dengan demikian, puasa bagi mereka bertujuan untuk menyatakan rasa syukur, sedih bukan untuk menyatakan ketaqwaan kepada Allah.

  1. c.       Korban

Korban adalah salah satu upacara umat Yahudi yang amat penting, tapi keterangan mengenai korban yang di berikan oleh imam Yahudi, tidak bercorak teologis. Mereka mengutamakan

“ bagaimana korban dilaksanakan bukan untuk apa-apa “

Dalam korban sebetulnya orang Yahudi banyak terpengaruh kepercayaan suku-suku wilayah disekitrnya, tapi suatu kesulitan juga untuk menentukan mana yang diambil dari luar, dan mana yang asli dari mereka.

 

 

  1. C.    Tempat-tempat suci

Satu bagian dari dinding penahan 2000 tahun kuil herodes, tembok barat adalah simbol iman yang tak tergoyahkan bagi keyakinan dan pengabdian yahudi. Tembok barat (tembok ratapan) adalah bangunan paling suci bagi umat yahudi. Tembok ini dipuja sebagai peninggalan terakhir dari bait allah yang terakhir dibangun.

Di kota tua, situs paling suci dalam yahudi, sisa sejarah tunggal gunung bait (temple mount) dihancurkan oleh romawi pada tahun 70 masehi. Tembok barat yang ada ini adalah bagian dari tembok yang tersisa yang dibangun oleh herodes di sekeliling Bait Allah yang kedua, yang dibangun pada tahun 20 s.m. titus, pada tahun 70 masehi, menyelamatkan bagian tembok ini beserta dengan batu-batu besarnya untuk menunjukkan kepada generasi sesudahnya kebesaran tentara romawi yang memiliki kemampuan menghancurkan bagian lain dari bangunan yang ada sebelumnya. Selama periode pendudukan romawi orang yahudi tidak diperkenan kan untuk memasuki Yerusalem.

Selama periode pendudukan Byzantium (395-638), orang Yahudi diperkenankan untuk memasuki Yerusalem sekali setahun, pada peringatan kehancuran Bait Allah, untuk meratapi pemecahan bangsa mereka dan menangisi kehancuran Bait Kudus/ Suci. Bagian tembok yang ada sekarang ini kemudian dikenal sebagai “Tembok Ratapan”.

Sejak tahun penghancuran Bait Allah, tembok itu telah menjadi fokus dari ziarah yahudi, bahkan setelah fatwa keras roma dari pengasingan tidak boleh memasuki Yerusalem, orang yahudi diizinkan untuk berdoa di sana, di sembilan av-ulang tahun dari kehancuran Bait Allah (holy temple). Hanya selama 19 tahun pendudukan Yordania, 1948-1967, orang yahudi dilarang untuk mendekati tempat suci tersebut.

Setelah kemenangan israel pada perang 6 hari tahun 1967, tembok ratapan berubah menjadi tempat untuk bersukacita nasional, sebagai tempat untuk peribadatan. Sebuah lapangan terbuka yng luas disediakan sebagai wadah bagi beribu-ribu orang yang ingin melakukan

 

  1. D.    Bandingan dengan Islam

Yahudi dan Islam mempunyai beberapa kesamaan seperti percaya Adam adalah manusia pertama dan nenek moyang seluruh manusia, Ibrahim adalah seorang Nabi, dan kitab suci Taurat sebagai wahyu Allah. Meski demikian ada juga perbedaan yang beberapa di antaranya sangat mendasar.

Yahudi adalah agama tribal/kesukuan yang hanya bisa dianut oleh bangsa Yahudi. Agama ini tidak bisa disebarkan ke luar dari suku Yahudi. Oleh karena itu jumlahnya tidak berkembang. Hanya sekitar 14 juta pemeluknya di seluruh dunia. Sementara agama Kristen dan Islam karena disebarkan ke seluruh manusia dipeluk oleh milyaran pengikutnya. Lebih lengkapnya kan dijabarkan sebagai berikut:

  1. 1.      Ketuhanan

Yahudi dan Islam menganggap Tuhan itu Satu. Tuhan Yahudi disebut Yahweh yang merupakan betuk ketiga tunggal ”Dia adalah” (He who is). Ada pun Tuhan dalam Islam disebut Allah yang merupakan bentuk tunggal dan tertentu dari Ilah (Sembahan/Tuhan). Dalam Al Qur’an surat Al Ikhlas dijelaskan tentang keEsaan Tuhan[46]

  1. 2.      Kekuasaan Allah

Di Alkitab, Genesis 32:25-28 disebutkan Yakub berkelahi melawan Allah sejak malam hingga fajar menyingsing. Karena Allah tak dapat mengalahkan Yakub, maka Allah memukul sendi pangkal paha Yakub dan berkata bahwa Yakub telah melawan Allah dan Manusia dan Yakub menang.[47] Dalam Islam disebutkan bahwa tidak ada satu makhluk pun yang dapat mengalahkan Allah[48] “Dan Tuhanmu Maha Kaya lagi mempunyai rahmat. Jika Dia menghendaki niscaya Dia memusnahkan kamu dan menggantimu dengan siapa yang dikehendaki-Nya setelah kamu (musnah), sebagaimana Dia telah menjadikan kamu dari keturunan orang-orang lain. “ [Al An’aam:133]

  1. 3.      Kemandirian Tuhan

Dalam Injil Matius diceritakan bagaimana Yesus mengeluh dengan suara nyaring: “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?:Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: “Eli, Eli, lama sabakhtani?” Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? [Matius 27:46] Dalam Al Qur’an dijelaskan Allah bukanlah orang yang hina yang perlu penolong: Dan katakanlah: “Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya. “ [Al Israa’:111]

 

  1. 4.      Sifat Maha Tahu Tuhan

Dalam Alkitab, Injil Markus 11:12-13 diceritakan Tuhan Yesus yang merasa lapar ternyata tidak tahu kalau pohon Ara tidak berbuah karena memang bukan musimnya:11:12 Keesokan harinya sesudah Yesus dan kedua belas murid-Nya meninggalkan Betania, Yesus merasa lapar. 13 Dan dari jauh Ia melihat pohon ara yang sudah berdaun. Ia mendekatinya untuk melihat kalau-kalau Ia mendapat apa-apa pada pohon itu. Tetapi waktu Ia tiba di situ, Ia tidak mendapat apa-apa selain daun-daun saja, sebab memang bukan musim buah ara. [Markus 11:12-13]

Dalam Islam, disebut bahwa Allah itu Maha Tahu. Bahkan tak ada sehelai daun pun yang jatuh ke bumi tanpa diketahuiNya: “Dan pada sisi Allah-lah kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” [Al An’aam:59] Tidurkah Tuhan? Dalam Injil Matius 8:24 diceritakan Yesus tidur: Sekonyong-konyong mengamuklah angin ribut di danau itu, sehingga perahu itu ditimbus gelombang, tetapi Yesus tidur. [Matius 8:24] Menurut Islam, Tuhan Maha Kuasa. Tidak pernah mengantuk dan juga tidak pernah tidur: “Allah, tidak ada Tuhan selain Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya; tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” [Al Baqarah:255]

  1. 5.      Larangan Membuat Patung

Dalam 10 Perintah Tuhan di Exodus 20:4-5 Allah melarang manusia membuat patung apa pun: 20:4 Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. 5 Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku [Exodus 20:4-5] Patung Yesus Namun saat ini ummat Kristen membuat banyak patung Yesus dan Bunda Maria yang ditaruh di berbagai tempat terutama di Gereja.

Dalam Islam dilarang membuat patung apalagi menaruhnya di tempat ibadah. Aisyah r.a. berkata, “Ketika Nabi sakit, ada sebagian di antara istri beliau menyebut-nyebut perihal gereja yang pernah mereka lihat di negeri Habasyah yang diberi nama gereja Mariyah. Ummu Salamah dan Ummu Habibah pernah datang ke negeri Habasyah. Kemudian mereka menceritakan keindahannya dan beberapa patung yang ada di gereja itu. Setelah mendengar uraian itu, beliau mengangkat kepalanya, lalu bersabda, “Sesungguhnya mereka itu, jika ada orang yang saleh di antara mereka meninggal dunia, mereka mendirikan tempat ibadah di atas kuburnya. Lalu, mereka membuat berbagai patung di dalam tempat ibadah itu. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah pada hari kiamat.” [HR Bukhari]

  1. 6.      Kitab Suci

Kitab Suci Yahudi meski juga dikutip sebagai Perjanjian Lama oleh kaum Kristen tetap ada beberapa perbedaan mendasar. Selain itu bahasa Kitab Suci Yahudi sebagian besar bahasa Ibrani dengan sedikit Aramaic. Sementara Perjanjian Lama Kristen dalam bahasa Yunani kuno. Ada tambahan 7 buku yang aslinya dalam bahasa Yunani di Perjanjian Lama Kristen.

Ada pun Injil yang resmi ada 4 versi yang berbeda. Masing-masing ditulis oleh Markus, Mathius, Lukas, dan Yohanes. Penulisan dilakukan sekitar tahun 70 hingga 100 Masehi sekitar 40 tahun setelah Yesus wafat (diperkirakan tahun 29 M). Sebagai contoh Lukas menulis Injil yang ditujukan kepada seseorang yang disebut Teofilus: 1:1 Teofilus yang mulia, Banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita, 2 seperti yang disampaikan kepada kita oleh mereka, yang dari semula adalah saksi mata dan pelayan Firman. 3 Karena itu, setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu, 4 supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar. [Lukas 1:1-4] Lukas kadang hanya mengira-ngira seperti Yesus umurnya kira-kira 30 tahun ketika memulai pekerjaanNya serta memakai kata “Anggapan Orang”:

Ketika Yesus memulai pekerjaan-Nya, Ia berumur kira-kira tiga puluh tahun dan menurut anggapan orang, Ia adalah anak Yusuf, anak Eli, [Lukas 3:23] Jika bahasa Yesus adalah bahasa Aramaic, bahasa Perjanjian Baru aslinya adalah bahasa Yunani.

Sebaliknya Al Qur’an hanya ada satu versi yang dihafal oleh banyak orang dan masih murni dalam bahasa Arab sesuai bahasa Nabi Muhammad. Kalau bukan dalam bahasa Arab itu tak lebih dari terjemahan saja. Bukan Al Qur’an: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya Al Quran pada malam kemuliaan” [Al Qadr:1] “Kitab[ Al Quran ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” [Al Baqarah:2]

Al Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad. Oleh Nabi Muhammad disampaikan ke pengikutnya. Para pengikutnya ada yang menghafal, ada pula yang menulis di berbagai media (daun, tulang, kulit kambing/onta, dsb). Oleh pengikutnya Abu Bakar kemudian Al Qur’an dijadikan satu. Kemudian oleh sahabat Nabi Usman dijadikan satu buku berikut diberi tanda tulisan (panjang pendek, dsb) sehingga pengucapannya sesuai dengan aturan Bahasa Arab yang standar.

  1. 7.      Kewajiban Sunat Bagi Pria

Dalam ajaran Yahudi dan Islam, sunat bagi pria diwajibkan. Ini sejalan dengan Alkitab: GEN 17:10 Inilah perjanjian-Ku, yang harus kamu pegang, perjanjian antara Aku dan kamu serta keturunanmu, yaitu setiap laki-laki di antara kamu harus disunat; 11 haruslah dikerat kulit khatanmu dan itulah akan menjadi tanda perjanjian antara Aku dan kamu. 12 Anak yang berumur delapan hari haruslah disunat, yakni setiap laki-laki di antara kamu, turun-temurun: baik yang lahir di rumahmu, maupun yang dibeli dengan uang dari salah seorang asing, tetapi tidak termasuk keturunanmu.13 Orang yang lahir di rumahmu dan orang yang engkau beli dengan uang harus disunat; maka dalam dagingmulah perjanjian-Ku itu menjadi perjanjian yang kekal.

Dan orang yang tidak disunat, yakni laki-laki yang tidak dikerat kulit khatannya, maka orang itu harus dilenyapkan dari antara orang-orang sebangsanya: ia telah mengingkari perjanjian-Ku.” [Genesis 17:10-14]

Orang yang tidak bersunat sama dengan najis (Isaiah) karena air kencingnya tetap tersimpan di sela-sela kulit kemaluan: IS 52:1 Terjagalah, terjagalah! Kenakanlah kekuatanmu seperti pakaian, hai Sion! Kenakanlah pakaian kehormatanmu, hai Yerusalem, kota yang kudus! Sebab tidak seorangpun yang tak bersunat atau yang najis akan masuk lagi ke dalammu.

Namun orang-orang Kristen tidak melakukan itu karena menurut Paulus dalam Perjanjian Baru hukum itu dihapuskan (Meski di Genesis 17:10 dinyatakan itu perjanjian yang kekal): ROM 2:25 Sunat memang ada gunanya, jika engkau mentaati hukum Taurat; tetapi jika engkau melanggar hukum Taurat, maka sunatmu tidak ada lagi gunanya. 26 Jadi jika orang yang tak bersunat memperhatikan tuntutan-tuntutan hukum Taurat, tidakkah ia dianggap sama dengan orang yang telah disunat? Jika demikian, maka orang yang tak bersunat, tetapi yang melakukan hukum Taurat, akan menghakimi kamu yang mempunyai hukum tertulis dan sunat, tetapi yang melanggar hukum Taurat. 28 Sebab yang disebut Yahudi bukanlah orang yang lahiriah Yahudi, dan yang disebut sunat, bukanlah sunat yang dilangsungkan secara lahiriah.

Tetapi orang Yahudi sejati ialah dia yang tidak nampak keyahudiannya dan sunat ialah sunat di dalam hati, secara rohani, bukan secara hurufiah. Maka pujian baginya datang bukan dari manusia, melainkan dari Allah.

  1. 8.      Larangan Memakan Daging Babi

Dalam ajaran Yahudi dan Islam diharamkan memakan daging babi. Ini sesuai dengan Alkitab Levi dan Deuteronomy 14:8: LEV 11:7 Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak; haram itu bagimu. 8 Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram semuanya itu bagimu. [Levi 11:7-8]

Dalam Al Qur’an juga dilarang: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah” [Al Baqarah:173] Tapi saat ini babi adalah makanan yang umum di kalangan Kristen.

  1. 9.      Dosa Asal / Warisan

Dalam Exodus 20:5 dijelaskan Allah membalas kesalahan Bapa hingga kepada keturunannya:“Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku” [Exodus 20:5]

Dalam Islam, setiap orang hanya memikul dosa masing-masing:“Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain…” [Al An’aam:164]

  1. 10.  Fitnah atas Nabi Luth (Lot)

Dalam Alkitab, Genesis 19:30-38 diceritakan bahwa Nabi Luth (Lot) berzinah dengan kedua anak kandungnya (Incest) sehingga punya anak dari mereka: GEN 19:30 Pergilah Lot dari Zoar dan ia menetap bersama-sama dengan kedua anaknya perempuan di pegunungan, sebab ia tidak berani tinggal di Zoar, maka diamlah ia dalam suatu gua beserta kedua anaknya.

Kata kakaknya kepada adiknya: “Ayah kita telah tua, dan tidak ada laki-laki di negeri ini yang dapat menghampiri kita, seperti kebiasaan seluruh bumi.32 Marilah kita beri ayah kita minum anggur, lalu kita tidur dengan dia, supaya kita menyambung keturunan dari ayah kita.”

Pada malam itu mereka memberi ayah mereka minum anggur, lalu masuklah yang lebih tua untuk tidur dengan ayahnya; dan ayahnya itu tidak mengetahui ketika anaknya itu tidur dan ketika ia bangun.

Keesokan harinya berkatalah kakaknya kepada adiknya: “Tadi malam aku telah tidur dengan ayah; baiklah malam ini juga kita beri dia minum anggur; masuklah engkau untuk tidur dengan dia, supaya kita menyambung keturunan dari ayah kita.”

Demikianlah juga pada malam itu mereka memberi ayah mereka minum anggur, lalu bangunlah yang lebih muda untuk tidur dengan ayahnya; dan ayahnya itu tidak mengetahui ketika anaknya itu tidur dan ketika ia bangun.

Lalu mengandunglah kedua anak Lot itu dari ayah mereka. 37 Yang lebih tua melahirkan seorang anak laki-laki, dan menamainya Moab; dialah bapa orang Moab yang sekarang. 38 Yang lebih mudapun melahirkan seorang anak laki-laki, dan menamainya Ben-Ami; dialah bapa bani Amon yang sekarang.” [Genesis 19:30-38]

Dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa Luth adalah benar-benar seorang Rasul yang bersih dari perbuatan dosa seperti meminum anggur atau pun berzinah dengan putrinya sendiri: Sesungguhnya Luth benar-benar salah seorang rasul.” [Ash Shaaffaat:133]

Di Al Qur’an dijelaskan Allah melebihkan derajad Nabi Luth di atas ummat manusia. Jadi kalau manusia biasa mayoritas tidak berzinah dengan anak kandungnya, apalagi seorang Nabi seperti Nabi Luth: “dan Ismail, Alyasa’, Yunus dan Luth. Masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya)” [Al An’aam:86].

G. Sepuluh Perintah Tuhan Menurut Islam [49]

Lima Nilai Moral Islam dikenal pula sebagai Sepuluh Perintah Tuhan versi Islam. Perintah-perintah ini tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-An’aam 6:150-153 di mana Allah menyebutnya sebagai Jalan yang Lurus (Shirathal Mustaqim ):

Z   Tauhid (Nilai Pembebasan)

  1. Katakanlah: “Bawalah ke mari saksi-saksi kamu yang dapat mempersaksikan bahwasanya Allah telah mengharamkan yang kamu haramkan ini.” Jika mereka mempersaksikan, maka janganlah kamu ikut (pula) menjadi saksi bersama mereka; dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, sedang mereka mempersekutukan Tuhan mereka. Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,

Z   Nikah (Nilai Keluarga)

  1. Berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan
  2. Janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan
  3. Janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji (homoseks, seks bebas dan incest), baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan

Z   Hayat (Nilai Kemanusiaan)

  1. Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).

Z   Adil (Nilai Keadilan)

  1. Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa.
  2. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.
  3. Dan apabila kamu bersaksi, maka hendaklah kamu berlaku adil kendati pun dia adalah kerabat (mu), dan

Z   Amanah (Nilai Kejujuran)

  1. penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat,
  2. dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.

Janji Allah termasuk yang disebutkan dalam QS Al-Qur’an surat 36:60 dan 9:111.

 

 

 

 

 

 

BAB IV

Penutup

  1. Kesimpulan


[1] Robert M. Seltzer, ―Jewish People‖, dalam Mircea Eliade, ed., The Encyclopedia of Religion, Vol. 8., New York: Macmillan Library Reference, Simon & Schuster Macmillan, hal. 32

[2] Seperti yang dikisahkan dalam Al-Qur’an: Maka tidak adalah jawaban kaum Ibrahim, selain mengatakan: “Bunuhlah atau bakarlah dia”, lalu Allah menyelamatkannya dari api. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang beriman.” Qs. Al-Ankabut: 24, “Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”, Qs. An-Anbiya’ : 69, Qs. As-Shaffat: 97.

[3] A. Maheswara. 2007. Rahasia Kecerdasan Yahudi. Yogyakarta: Pinus Book Publiser. Hlm. 13

[4] Dalam Bahasa Ibrani berarti “Tuhan telah mendengar”

[5] Dalam bahasa Ibrani “hamba Allah” serta identik dengan arti “abdullah” dalam bahasa Arab.

[6] Keturunan Nabi Ya’kub. israel berkembang menjadi nenek moyang bangsa Yahudi (Bani Israil). Israel berrati “kampiun Tuhan”

[7] A. Maheswara, op.cit, hal 20

[8] Sejarah agama yahudi, hal 235

[9] Hal 236

[10] Hal 237

[11] 238

[12] Hlm 239

[13][13] 93

[14] 252

[15] Ahmad Shalaby, Perbandingan Agama Islam, ( Jakarta : Rineka Cipta ) hal 19

[17] Ibid.

[19] Ibid 1986: 20

[20] (http://id.wikipedia.org/wiki/Misnah); Studi keyahudian pada mulanya tidak terulis (lisan). Para rabi menguraikan dan memperdebatkan hukum serta membahas Alkitab Ibrani tanpa bantuan karya-karya tertulis (selain dari kitab-kitab di dalam Kitab Suci sendiri.) Namun, situasi ini berubah secara drastis terutama sebagai akibat penghancuran komunitas Yahudi pada tahun 70 M, dan pergolakan norma-norma sosial dan hukum Yahudi yang ditimbulkannya. Karena para rabi dituntut menghadapi realitas yang baru yang utamanya Yudaisme tanpa Bait Suci dan Yudea tanpa otonomi membanjirlah wacana hukum dan sistem studi oral yang lama tidak dapat lagi dipertahankan. Pada masa inilah wacana rabinik mulai dicatat secara tertulis.Hukum lisan tertua yang dicatat kemungkinan dalam bentuk midrashi. Di sini diskusi halakhik disusun sebagai tafsiran eksegetis terhadap Pentateukh. Tetapi sebuah bentuk alternatifnya, yang disusun menurut topiknya dan bukan menurut ayat-ayat Alkitab, menjadi dominan pada sekitar tahun 200 M., ketika Rabi Judah ha Nasi meredaksi Mishnah (משנה).

[21] Ibid. Hlm. 38-39

[22] Ibid. Hlm. 39

[23] (http://id.wikipedia.org/wiki/agama Yahudi/kita dan teks utama)

[24] Ibid. hlm. 48-49

[25] Ibid. hlm. 49

[26] Ibid. 51-52

[27] Ibid. hlm. 54

[28] Kutub Thuqus al-Din, manuskrip timur, no. 962, Berlin.

[29] 259

[30] 271

[31] Rujuk keterangan mengenai masalah ini dalam: Sayyid Farg Rasyid, al-Samiriyyun wa al-Yahud, Dar al-Marrikh, 1406 H, hal. 121-146. 276

[32] 274

[33] 276

[34] 278

[35] 279

[36] 281

[37] 283

[38] 284

[39] 286

[40] 295

[41] 263

[42] 244

[43] Hal 237

[44] Mukti Ali, Agama Yahudi, (Yogyakarta : Agus Arafa) , hal : 171-172

[45] Ibid, hal 175

@è% uqèd ª!$# î‰ymr& ÇÊÈ ª!$# ߉yJ¢Á9$# ÇËÈ öNs9 ô$Î#tƒ öNs9ur ô‰s9qムÇÌÈ öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! #·qàÿà2 7‰ymr& ÇÍÈ [46] ö

1.  Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa. 2.  Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. 3.  Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, 4.  Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”

[47]             Lalu tinggallah Yakub seorang diri. Dan seorang laki-laki bergulat dengan dia sampai fajar menyingsing. Ketika orang itu melihat, bahwa ia tidak dapat mengalahkannya, ia memukul sendi pangkal paha Yakub, sehingga sendi pangkal paha itu terpelecok, ketika ia bergulat dengan orang itu. Lalu kata orang itu: “Biarkanlah aku pergi, karena fajar telah menyingsing.” Sahut Yakub: “Aku tidak akan membiarkan engkau pergi, jika engkau tidak memberkati aku.” Bertanyalah orang itu kepadanya: “Siapakah namamu?” Sahutnya: “Yakub.” Lalu kata orang itu: “Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang.” [Genesis 32:24-28]

bÎ) ù’t±o„ öNà6ö7Ïdõ‹ãƒ ÏNù’tƒur 9,ù=sƒ¿2 7‰ƒÏ‰y` ÇÊÏÈ $tBur y7Ï9ºsŒ ’n?tã «!$# 9“ƒÍ•yèÎ/ ÇÊÐÈ [48]

16.  Jika dia menghendaki, niscaya dia memusnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu). 17.  Dan yang demikian itu sekali-kali tidak sulit bagi Allah.

Nama Mahasiswa      : Laily Nur Arifa

NIM                            : 08110044

Fakultas/ jurusan       : Tarbiyah/ PAI

Mata Kuliah               : Studi Agama-agama

Kelas                           : C

Ruang                         : A 102

Dosen Pembimbing    : Drs. Bashori

 

 


RESUME BUKU ILMU PERBANDINGAN AGAMA

Karya Dr. H. Mukti Ali

 

I. Ilmu Perbandingan Agama dan Metodenya

Ilmu Perbandingan Agama adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang berusaha untuk memahami gejala-gejala keagamaan dari suatu kepercayaan (agama) dalam hubungannya dengan agama lain. Pemahaman ini mencakup persamaan (kesejajaran) dan perbedaannya. Selanjutnya dengan pembahasan tersebut, struktur yang asasi dari pengalaman keagamaan manusia dan pentingnya bagi hidup dan kehidupan manusia dapat dipelajari dan dinilai[1] Obyek Ilmu Perbandingan Agama adalah  pertanyaan-pertanyaan yang bersifat fundmental dan universal dari tiap-tiap agama. Beberapa pertanyaan tersebut akan akan dijawab sesuai dengan ajaran agama masing-masing.[2]

 

II. Sejarah Pertumbuhan Ilmu Perbandingan Agama

  1. A.    di Dunia Barat

Di dunia Barat beberapa abad sebelum Yesus lahir, Herodotus (481 SM), beroros (250 SM), Cicero (106-38 SM), Sallustius (86-34 SM) telah memberikan sketsa tentang sejarah berbagai agama dan menggambarkan adapt kebiasaan bangsa-bangsa lain yang diketahuinya pada waktu itu. Strabo (63 SM – 21 M) telah menulis dengan kritis agama-agama di dunia Timur. Ia diikuti oleh Varro (116-27 SM) dan Tacitus (55-117 M).

Selanjutnya beberapa penulis Kristen apologis pada abad-abad pertama seperti Aristides telah memberikan interpretasi tentang hubungan antara agama kafir, Yahudi dan Kristen. Berikutnya Clement dari Alexandria (202 M) menulis tentang agama Buddha. Saxo (1220 M) dan Snorri (1241) menulis tentang agama-agama di Eropa Utara. Marco Polo (1254-1324 M) yang telah menjelajahi Asia Tengah pada tahun 1271 dan Negeri Tiongkok pada tahun 1275 telah menulis tentang agama-agama Timur di Eropa pada masa itu.

Pada masa Reformasi dan Renaissanse, Erasmus  (1469-1536 M) menulis tentang elemen-elemen agama kafir yang terdapat dalam peribadatan agama Roma Katolik dan ajaran-ajarannya. Kemudian diikuti oleh Toland dalam bukunyaChristianity not Mysterius (1696). Sejalan dengan  semangat Rasionalisme, maka mulailah teori evolusi tentang asal-usul agama, dengan menolak danya revelation (wahyu). Hal ini tampak dalam bukunya David Hume dengan judul Natural History of Religion (1757) dan dalam bukunya Voltair berjudul Essay (1780). Selanjutnya diikuti dengan penelitian agama yang historis dari Duperon tentang agama Persia; William Jones tentang agama Sanskrit; Champollion tentang agama Mesir Lama; Rask tentang agama Persia dan India; Niebuhr, Botta, Layard dan lainnya menulis tentang agama Babilonia.

Kemudian Ernest Renan (1822-1892) menjadi orang pertama yang menciptakan istilah “Comparative Study of Religion.” Setelah itu ilmu baru ini mendapat sambutan yang hangat di berbagai Universitas di Barat. Sebelum penutup abad ke-19 sudah terdapat ahli-ahlinya di Belanda, Switzerland, Perancis, Italia, Denmark, Belgia dan Amerika. Setelah itu diterbitkanlah beberapa buku, majalah, dan diadakan beberapa konggres internasional[3]

 

  1. B.     di Dunia Islam

Cukup menarik bahwa di dunia Islam karangan atau tulisan tentang perbandingan agama terdapat di dalam kitab-kitab yang membahas tentang ilmu bumi dan sejarah. Misalnya tulisan agama-agama lain terdapat di dalam Kitab ad-Din wad-Dawlah karangan Ali ibn Sahl Rabban at-Thabari. Namun harus diakui bahwa beberapa tulisan tersebut bersifat apologis.

Selanjutnya pada abad ke-11 tampillah Ibn Hazm (994-1064), salah seorang penulis besar dalam Islam, telah menulis kitab sekitar 400 jilid tentang sejarah, teologi, hadits, logika, syair, dsb. Kitabnya yang berkaitan dengan agama lain ialahAl-Fasl fil-Milal wal-Ahwa’ wan-Nihal. Di dalam kitab tersebut Ibn Hazm membahas tentang agama Kristen dan Kitab Bible.

Kemudian salah seorang penulis Muslim terkemuka, Muhammad Abdul Karim Asy-Syahrastani (1071-1143) menulis Kitab Al-Milal wan-Nihal (1127). Di dalam kitab tersebut ia membagi agama menjadi: Islam, Ahlul Kitab dan orang yang mendapatkan wahyu tetapi tidak tergolong Ahlul Kitab, yaitu orng-orang yang bebas berpikir dan ahli-ahli filasafat.

Namun haruslah diakui bahwa perkembangan pebandingan agama di dunia Islam tidak luput dari apologi. Tulisan yang bersifat apologis ini tampak dalam tulisan Ahmad as-Sanhaji Qarafi (meninggal 1235) dalam bukunya  Al-Ajwibah al-Fakhirahan al-As’ilah al-Fajirah. Kitab ini merupakan jawaban terhadap buku Risalah ila Ahad al-Muslimin yang dikarang oleh Uskup dari Sidon. Muhammad Abduh menulis bukuAl-Islam wan Nashraniyah ma’al ‘ilmi wal-Madaniyah, sebagai jawaban terhadap tulisan-tulisan Farah Antun dalam Al-Jami’ah. Masih banyak beberapa tulisan dari penulis Muslim yang bersifat apologis misalnya Husain Hirrawi, Syaikh Yusuf Nabbani, Ahmad Maliji, Muhammad Ali Maliji, Abdul Ahad Dawud, dsb. Di sini perlulah disebut karangan  apologis yang sangat baik, yaitu buku The Spirit of Islam, karangan Ameer Ali.

Secara garis besar dapatlah disimpulkan bahwa perkembangan Ilmu Perbandingan Agama di dunia Islam kurang menguntungkan dibandingkan dengan Barat. Sebagian besar kitab yang dikarang oleh penulis Muslim bersifat apologis. Kitab-kitab yang membahas tentang agama lain banyak yang tidak orisinil sumbernya. Sedikit yang orisinil dan itupun hanya mengenai agama Kristen.[4]

 

III. Aliran-aliran dalam Ilmu Perbandingan Agama

Mukti Ali menjelaskan dengan detail mengenai aliran-aliran tersebut, yaitu :

  1. Teori Evolusi – kepercayaan dalam sebuah agama berkembang bukan dari mono-theisme, melainkan dari kepercayaan politheisme menuju monotheisme. Dengan demikian monotheisme adalah bentuk terakhir dan tesempurna dari kepercayaan dan agama umat manusia. Max Muller berpendapat bahwa asal usul agama itu adalah penyembahan kepada alam yang bersifat henotheistik, kemudian menjadi polytheisme – turun lagi menjadi fethisisme dan akhirnya mengarah pada pantheisme atau theisme (monotheisme).

E.B. Tylor dan Andrew Lang memiliki pemikiran yang berbeda dengan Max Muller. E.B Tylor mengatakan bahwa asal usul kepercayaan manusia itu bukan dari penyem-bahan alam yang bersifat henotheistik, melainkan dari animisme. Herbert Spencer juga memiliki pemikiran yang sama dengan E.B. Taylor.
Apapun pemikiran mereka – mereka berkeyakinan bahwa kepercayaan manusia mengalami proses penyempurnaan termasuk didalamnya terjadinya evolusi terhadap Tuhan yang menjadi pusat peryembahan.

  1. Oermonotheisme – aliran ini berpendapat bahwa agama tidak mengalami proses evolusi dari penyembahan atau berTuhan banyak (polytheisme) menjadi berTuhan satu (monotheisme), tetapi agama sejak dahulu adalah monotheistik dan berTuhan satu. Andrew Lang menemukan sebuah kenyataan bahwa masyarakat primiti telah menganut ajaran monotheisme bukan dari proses evolusi.
  2. Revelation Theory – aliran ini berbendapat bahwa idea tentang adanya Tuhan tidak datang dari proses evolusi, melainkan dengan revelation (menurut wahyu). Pendapat ini dikemukan oleh Wilhem Schemidt (1868). Kesimpulan ini diambil setelah Wilhem Schemidt melakukan analisis terhadap kepercayaan dan agama yang berkembang pada masyarakat primitive. Ia mendapatkan bukti-bukti bahwa asal usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monotheisme dan monotheisme ini tidak lain adalah ajaran wahyu dari Tuhan (revelation).[5]

 

IV. ORIENTALISME DAN OCCIDENTALISME

Apa yang dinamakan orientalisme, atau pengetahuan orang-orang Barat tentang agama, kebudayaan, sastra dan bahasa-bahasa Timur sudah lama berkembang di Barat. Latar belakang sejarah dapat kita lihat adanya perhatian Barat terhadap soal-soal Timur, mulai timbul sejak Perang Salib yang berlangsung tidak kurang dari dua abad lamanya, yaitu antara tahun 1096 – 1297.

Bahwa kontak Barat dan Timur dalam Perang Salib itu, membukakan kesadaran baru barat terhadap Timur. Bahwa ummat Islam yang dulunya mereka anggap sebagai suatu golongan masyaratak yang biadab tidak sopan, dengan perantaraan Perang Salib, Barat terpaksa sadar bahwa sebenarnya umat Islam itu adalah suatu golongan ummat manusia yang sopan dan berkebudayaan. Mereka insaf bahwa peradaban dan kebudayaan dunia Islamdalam waktu itu adalah lebih maju kalau disbanding dengan siviliasi yang sedang mereka miliki. Yang lebih mendorong lagi Barat untuk mempelajari dunia Timur, khususnya masyarakat Islam, ialah expansi Turki kepada negara-negara Barat. Kota demi kota jatuh ketangan Turki-Islam. Konstantinopel jatuh pada tahun 1529 tentara Turki sampai ke pintu gerbang Vienna, disusul lagi dengan tergulungnya armada Spanyol yang besar dari pantai Aljazair.

Faktor-factor detail yang menyebabkan kesulitan tersebut antara lain ialah :

  1. Tidak sedikit dari pada orientalis-orientalis itu yang mempelajari agama Islam tidak atau kurang mengerti bahasa Arab ; dan dalam pembahasannya itu mereka banyak tergantung kepada terjemahan-terjemahan yang belum tentu tepat.
  2. Orientalis-orientalis yang mengerti bahasa Arab dan terlatih berpikir dalam bidang agama, dalam pembahasannnya tentang maslah-masalah Timur tidak atu kurang dilengkapi dengan berbagai ilmu masyarakat; hingga dengan demikian hasil penyelidikan merekakurang tepat, karena kurang memahami pengaruh yang timbale – balik antara agama dan masyarakat Timur adalah jauh berlainan dengan masyarakat Barat.
  3. Atau sebaliknya, orientalis-orientalis yang terlatih berpikir dalam bidang social tidak mempunyai persiapan tentang pengetahuan agama, hingga dengan demikian hasil penyelidikan mereka tentang masalah-masalah Timur itu terlalu kering.
  4. Kurang luasnya pengertian mereka tentang ide, ideal dan aspirasi masyarakat Timur. Hal ini disebabkan, karena anggapan mereka yang skeptis, bahwa apa saja yang ditulis dengan bahasa Arab adalah “tidak-orisinil”.
  5. Dan sebab yang lain – barangkali saja ini adalah sebab yang terpenting, ialah sikap mereka terhadap masyarakat Timur, yang menganggap bahwa bangsa-bangsa Timur itu adalah jauh labih rendah dan lebih bodoh dari pada bangsa Barat. Sikap yang tipis kolonialistis-imperialistis.

Untuk mengantisipasi orientalisme, muslim harus mengembangkan occidentalisme. Di samping itu dengan mempelajari Ilmu Perbandingan Agama, meneliti dan mengembangkannya, seorang Muslim dapat mengkaji agama-agama lain terutama yang berada di Barat, sehingga dengan sendirinya akan mengembangkan Occidentalisme atau pemahaman tentang budaya dan agama Barat.  Sehingga seorang Muslim tidak hanya membiarkan agama Islam sebagai obyek kajian para Orientalis , tetapi juga menjadi subyek dengan mengkaji agama-agama selain Islam (terutama agama orang Barat).[6]

 

 

V. Sikap Seorang Muslim Terhadap Agama Lain

Dalam mempelajari agama-agama lain, seorang Muslim tidak boleh melupakan sumber kitab yang pokok, ialah al-Qur’an. Al-Qur’an bukan hanya merupakan sumber pokok saja untuk menghampiri agama lain, tetapi juga merupakan peraturan lengkap tentang kepercayaan dan amal perbuatan orang. Hal ini perlu diperingatkan karena (Ilmu Perbandingan Agama) yang berusaha memahami kepercayaan-kepercayaan dan agama-agama lain, dikawatirkan orang yang melakukannya itu menganggap bahwa Al-Qur’an itu adalah sejajar dengan literatur-literatur dari agama-agama lain. Bagi seorang Muslim yang ingin mendalami agama-agama lain hendaknya sadar bahwa Al-Qur’an itulah sumber yang paling utama disamping sumber-sumber dari agama-agama lain. Hal ini disebabkan bukan hanya karena seorang Muslim yakin, bahwa Al-Qur’an itulah yang yang memuat ajaran-ajaran yang benar, tetapi juga karena memang sebenarnya Al-Qur’an itulah membuat bahan-bahan yang sangat penting untuk memahami agama-agama lain[7]

 

VI. Guna dan Faedah Ilmu Perbandingan Agama bagi Seorang Muslim

Ilmu Perbandingan Agama mempunyai banyak manfaat bagi seorang Muslim. Adapun beberapa manfaatnya  adalah sebagai berikut:

  1. Dapat memahami kehidupan batin, alam pikiran dan kecenderungan hati dari berbgai umat manusia.
  2. Dengan mengetahui agama-agama lain seorang Muslim dapat mencari persamaan-persamaan (lebih tepat kesejajaran-kesejajaran ) antara agama Islam dengan agama-agama lain. Dengan demikian dapat membuktikan di mana letak keunggulan agama Islam dibandingkan agama-agama lain. Selanjutnya dapat mengetahui bahwa agama-agama sebelum Islam itu sebagai pengantar terhadap kebenaran yang lebih luas dan lebih penting, yaitu agama Islam.
  3. Dengan membandingkan agama Islam dengan agama-agama lain dapat menimbulkan rasa simpati terhadap orang-orang yang belum mendapatkan petunjuk tentang kebenaran. Selanjutnya akan menimbulkan rasa tanggung jawab untuk menyiarkan kebenaran-kebenaran yang terkandung dalam agama Islam kepada masyarakat luas.
  4. Dengan membandingkan ajaran-ajaran agama Islam dengan ajaran agama-agama lain akan memudahkan untuk memahami isi dari agama Islam itu sendiri. Bahkan dengan cara membandingkan  tersebut dapat memperdalam keyakinan seorang Muslim terhadap ajaran-ajaran yang terkandung di dalam agama Islam itu sendiri, atau dapat menampakkan mutu manikam ajaran Islam yang kadang-kadang tidak disadari sebelum dibandingkan dengan agama lain.
  5. Dengan mengetahui konsep-konsep ajaran agama lain seorang Muslim akan dapat belajar menemukan konsep-konsep yang mudah dicerna orang lain. Sebab sering ajaran Islam sulit difahami orang lain karena orang Islam sendiri sering mengemukakan konsep-konsep ajaran Islam yang rumit dan sulit.
  6. Dengan mengetahui ajaran-ajaran agama lain seorang Muslim dapat lebih baik dalam berdakwah. Sebab ia dapat lebih baik dalam menentukan metode, materi, konsep-konsep, strategi, dsb. sesuaia dengan sasarannya.
  7. Pada era globalisasi ini dimana bangsa-bangsa, suku-suku, golongan-golongan, dengan lebih mudah saling bertemu dan berkomunikasi karena berbagai kepentingan, maka pengetahuan akan agama-agama lain sangat dibutuhkan. Karena dengan bertemunya macam-macam bangsa, suku dan golongan tersebut pada dasarnya juga saling bertemu agamanya. Selanjutnya dengan memahami ajaran-ajaran agama lain seorang Muslim akan lebih mudah toleran dan hidup rukun dengan orang yang beragama lain. Akibat lebih jauh dengan adanya kerukunan hidup beragama itu para pemeluk agama-agama dapat saling bersatu untuk perdamaian dunia, mengentaskan kemiskinan, membangun bangsanya atau dunia, memerangi kejahatan, meninggikan moral, dsb.[8]

 

Referensi :

Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama, (Yogyakarta: Yayasan Nida kompleks IAIN Yogya)

 


[1] Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama, (Yogyakarta: Yayasan Nida kompleks IAIN Yogya), Halaman 5

[2] Ibid, Halaman 7

[3] Ibid, Halaman 11-14

[4] Ibid, Hal 15-19

[5] Ibid,  Hal 19-27

[6] Ibid,  Hal 28-32

[7] Ibid,  Halaman 32-35

[8] Ibid , hal 38-41


BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. A.    Latar Belakang

Belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses tingkah laku ditimbulkan atau diperbaiki melalui serentetan reaksi dan situasi (atau rangsang) yang terjadi. Belajar  melibatkan berbagai unsur yang  ada di dalamnya, berupa kondisi fisik dan psikis orang yang belajar. Kedua kondisi tersebut akan sangat berpengaruh terhadap hasil belajarnya Kiranya masih banyak unsur lain yang dapat disebutkan yang dapat berpengaruh terhadap hasil belajar, antara lain suasana lingkungan saat belajar tersedianya media pendidikan dan sebagainya. Oleh karena itu, unsur-unsur tersebut perlu mendapatkan perhatian guna menunjang tercapainya tujuan belajar sesuai dengan yang diharapkan ( Sarwono, 1975: 57).

Untuk menunjang keberhasilan belajar, maka hendaknya tersedia media ppembelajaran. Sebab, dengan tersedianya media pendidikan siswa dimungkinkan akan lebih berpikir secara konkret dan hal ini berarti dapat mengurangi verbalisme pada diri siswa. Apalagi seiring dengan perkembangan jaman yang makin modern dan serba canggih. Hal demikian mengakibatkan siswa termasuk guru dapat memilih atau menggunakan media pendidikan dalam proses belajar .

Dalam proses belajar-mengajar kehadiran media mempunyai arti yang cukup penting. Karena dalam kegiatan tersebut ketidakjelasan bahan yang  disampaikan dapat dibantu dengan menghadirkan media sebagai perantara. Sekolah merupakan pendidikan yang berlangsung  secara  formal artinya terikat  oleh  peraturan-peraturan  tertentu  yang  harus  diketahui  dan dilaksanakan. Di sekolah, murid atau anak tidak lagi diajarkan oleh orang tua, akan tetapi gurulah sebagai pengganti orang tua.

Salah satu bidang studi yang diajarkan di MTs dan MA adalah fiqih. Fiqih secara umum  merupakan  salah  satu  bidang  studi  Islam  yang  banyak  membahas tentang  hukum  yang  mengatur  pola  hubungan  manusia  dengan  Tuhannya, antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya. Melalui bidang  studi  fiqih  ini  diharapkan  siswa  tidak  lepas  dari  jangkauan  norma-norma agama dan menjalankan aturan syariat Islam.

Proses  belajar-mengajar  akan  berjalan  dengan  baik  kalau metode  yang digunakan  betul-betul  tepat,  karena  antara  pendidikan  dengan metode  saling berkaitan. Menurut  Zakiah Daradjat,  pendidikan  adalah  usaha  atau  tindakan untuk membentuk manusia.  Disini guru sangat berperan dalam membimbing anak didik ke arah terbentuknya pribadi yang diinginkan.

 

  1. B.     Rumusan Masalah
    1. Bagaimana ruang lingkup mata pelajaran fiqih di MTS dan MA?
    2. Bagaimana metode pembelajan fiqih di MTS dan MA?

 

  1. C.    Tujuan
  2. Mengetahui ruang lingkup mata pelajaran fiqih di MTS dan MA
  3. Mengetahui metode pembelajan fiqih di MTS dan MA

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. A.    Pengertian Fiqih

Fiqih dalam arti tekstual dapat diartikan pemahaman dan perilaku yang diambil dari agama.[1] Kajian dalam fiqih meliputi masalah Ubudiyah (persoalan-persoalan ibadah), ahwal al-sakhsiyah (keluarga), mu’amalah (masyarakat) dan, siyasah (negara).

Senada dengan pengertian di atas, Sumanto al-Qurtuby melihat fiqih merupakan kajian ilmu Islam yang digunakan untuk mengambil tindakan hukum terhadap sebuah kasus tertentu dengan mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam syariat Islam yang ada.[2] Dalam perkembangan selanjutnya fiqih mampu menginterpretasikan teks-teks agama secara kontekstual.

Dalam pengertian fiqih tersebut, maka dalam konteks pembelajaran fiqih di sekolah adalah salah satu bagian pelajaran pokok yang termasuk dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) yang diberikan pada siswa-siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau Madrasah Aliyah (MA).

B. Pembelajaran Fiqih di MA dan MTs

Mata pelajaran fiqih dalam kurikulum MTs adalah salah satu bagian mata pelajaran  PAI  yang  diarahkan  untuk  menyiapkan  peserta  didik  mengenal, memahami, menghayati dan mengamalkan hukum Islam, yang kemudian menjadi dasar pandangan hidupnya (Way of Life) melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, penggunaan pengalaman dan pembiasaan.

Mata Pelajaran Fiqh di Madrasah Aliyah adalah salah satu mata pelajaran yang Pendidikan Agama Islam yang merupakan peningkatan dari fikih yang telah dipelajari oleh peserta didik di Madrasah Tsanawiyah atau SMP. Peningkatan tersebut dilakukan dengan cara mempelajarai, memperdalam serta memperkaya kajian fikih yang baik menyangkut aspek iadah maupun muamalah yang dilandasi oleh kaidah-kaidah fiqih maupun ushul fiqh. [3]

C. Tujuan Bidang Studi Fiqih

Fiqih  di  MTs  bertujuan  untuk  membekali  peserta  didik  agar  dapat mengetahui  dan  memahami  pokok-pokok  hukum  islam  secara  terperinci  dan menyeluruh,  baik  berupa  dalil  naqli  dan  aqli.  Pengetahuan  dan  pemahaman tersebut diharapkan menjadi pedoman hidup dalam kehidupan pribadi dan sosial. Pembelajaran fiqih diarahkan untuk mengantarkan peserta didik dapat memahami pokok-pokok hukum islam dan tata cara pelaksanaanya untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehingga menjadi muslim yang selalu taat menjalankan syariat islam secara kaffah (sempurna)[4]

Mata pelajaran Fiqih di Madarasah Aliyah berfungsi untuk: (a) Penanaman nilai-nilai dan kesadaran beribadah peserta didik kepada Allah Swt. sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat; (b) Penanaman kebiasaan melaksanakan hukum Islam di kalangan peserta didik dengan ikhlas dan perilaku yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Madrasah dan masyarakat; (c) Pembentukan kedisiplinan dan rasa tanggung jawab sosial di madrasah dan masyarakat; (d) Pengembangan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. serta akhlak mulia peserta didik seoptimal mungkin, yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan keluarga; (e) Pembangunan mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui Fiqih Islam; (f) Perbaikan kesalahan-kesalahan, kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan dan pelaksanaan ibadah dalam kehidupan sehari-hari; (g) Pembekalan bagi peserta didik untuk mendalami Fiqih/hukum Islam pada jenjang  pendidikan yang lebih tinggi.

D. Ruang Lingkup Materi Bidang Studi Fiqih di MTs

Ruang  lingkup  fiqih di MTs dalam kurikulum berbasis kompetensi berisi pokok-pokok materi:

  1. Hubungan manusia dengan Allah SWT.

Hubungan  manusia  dengan  Allah  SWT.,  meliputi  materi:  Thaharah, Shalat, Zakat, Haji, Aqiqah, Shadaqah, Infak, Hadiah dan Wakaf.

  1. Hubungan manusia dengan sesama manusia.

Bidang  ini  meliputi Muamalah, Munakahat,  Penyelenggaraan  Jenazah dan Taíziyah, Warisan, Jinayat, Hubbul Wathan dan Kependudukan.

  1. Hubungan manusia dengan alam (selain manusia) dan lingkungan.

Bidang  ini  mencakup  materi,  Memelihara  kelestarian  alam  dan lingkungan,  Dampak  kerusakan  lingkungan  alam  terhadap  kehidupan, Makanan  dan  minuman  yang  dihalalkan  dan  diharamkan,  Binatang sembelihan dan ketentuannya.[5]

Ruang lingkup mta pelajaran fiqih di Madrasah Aliyah meliputi: Kajian tentang prinsip-peinsip ibadah dan syariat dalam Islam, hukum Islam dan perundang-undangan tentang zakat dan haji, hikmah dan cara pengelolanya, hikmah qurban dan aqiqah, pengurusan janazah, tentang wakalah dan ketentuan siyasah syar’iyah, hukum taklifi, dasar-dasar istinbath , kaidah-kaidah ushul fiqh dan penerapannya.[6]

D. MATERI FIQIH MTS DAN MA

MTS

MA

Bersuci

Prinsip Ibadah

Shalat & Sujud Sahwi

Zakat

Azan iqomah

Haji

Zikir dan doa

Kurban dan Aqiqah

Sholat sunnah

Pengurusan janazah

Puasa

Konsep Ekonomi Islam

Zakat

Pelepasan dan perubahan harta

Haji dan Umroh

Wakalah dan suluh

Makanan dan minuan yan haram dan halal

Kafalah

Muamalah

Riba, bank dan asuransi

E. Metode-metode dalam Pembelajaran Fiqih

1. Metode diskusi

a. Pengertian Metode Diskusi

Diskusi adalah suatu kegiatan kelompok dalam memecahkan masalah untuk mengambil kesimpulan. Diskusi tidak sama dengan berdebat. Diskusi selalu diarahkan kepada pemecahan masalah yang  menimbulkan berbagai macam pendapat dan akhirnya diambil suatu kesimpulan yang dapat diterima oleh anggota dalam kelompok.[7]

Zuhairini, Memberikan pengertian tentang metode diskusi secara umum sebagai salah satu metoide interaksi edukatif  diartikan sebagai metode didalam mempelajari bahan atau penyampaian bahan pelajaran dengan jalan mendiskusikannya sehingga menimbulkan pengertian, pemahaman, serta perubahan tingkah laku murid seperti yang telah dirumuskan dalam tujuan instruksionalnya.[8]

Dalam dunia pendidikan metode diskusi ini mendapat perhatian karena dengan diskusi akan merangsang anak-anak untuk berfikir atau mengeluarkan pendapatnya sendiri. Oleh karena itu metode diskusi bukanlah hanya percakapan atau debat biasa saja, tapi diskusi timbul karena ada masalah yang memerlukan jawaban atau pendapat yang bermacam-macam.

 

b. Macam-Macam Metode Diskusi

1)  Diskusi Informal

Diskusi ini terdiri dari satu diskusi yang peserta diskusi terdiri dari murid-murid yang jumlahnya sedikit. Peraturan-peraturannya agak longgar. Dalam diskusi informal ini hanya satu orang yang menjadi pemimpin, tidak perlu ada pembantu-pembantu, sedangkan yang lain-lainnya hanya sebagai anggota diskusi.

2)  Diskusi Formal

Diskusi ini berlangsung dalam suatu diskusi yang serba diatur dari pimpinan sampai kepada anggota kelompok. Diskusi dipimpin oleh seorang guru atau seorang murid yang dianggap cakap.

Diskusi yang diatur  seperti  diatas mempunyai kelemahan dan kelebihan diantaranya :

Kebaikan/ kelebihan

a)  Adanya partisipasi murid yang terarah terhadap pelajaran tersebut

b)  Murid harus berfikir secara kritis, tidak sembarangan bicara.

c)  Murid dapat meningkatkan keberanian

Kelemahan/kekurangan

a)  Banyak waktu yang terbuang

b)  Diskusi kebanyakan berlangsung diantara murid yang pandai-pandai saja.

3)  Whole Group

Kelas merupakan satu kelompok diskusi. Whole group yang ideal apabila jumlah anggota tidak lebih dari 15 orang

4)  Buzz Group

Satu kelompok besar dibagi menjadi beberapa kelompok kecil, terdiri dari 4-5 orang .tempat diatur agar siswa dapat berhadapan muka dan bertukar pikiran dengan mudah. Diskusi diadakan ditengah atau diahir pelajaran dengan maksud menajamkan karangka bahan pelajaran, memperjelas bahan pelajaran atau menjawab pertanyaan-pertanyaan.

5)  Sundicate Group

Suatu kelompok (kelas)  dibagi mejadi beberapa kelompok kecil terdiri dari 3-6 orang. Masing-masing kelompok kecil melaksanakan tugas tertentu. Guru menjelaskan garis besarnya problema kepada kelas, ia menggambarkan aspek-aspek masalah, kemudian tiap-tiap kelompok (sydicate) diberi tugas untuk mempelajari suatu aspek tertentu. Guru menyediakan referensi atau sumber-sumber informasi lain.

6)  Rain Storming Group

Dalam diskusi ini setiap kelompok harus menyumbangkan ide-ide baru tanpa dinilai segera. Setiap anggota kelompok mengeluarkan pendapatnya. Hasi belajar yang diharapkan agar anggota kelompok belajar menghargai pendapat orang lain, menumbuhkan rasa percaya pada diri sendiri dalam mengembangkan ide-ide yang ditemukannya yang dianggap benar.

7)  Fish Bowl

Diskusi ini dipimpin oleh satu orang yang mengetahui sebuah diskusi dan tujuan diskusi ini adalah untuk mengambil suatu kesimpulan. Dalam diskusi ini tempat duduk diatur setengah lingkaran dengan dua atau tiga kursi kosong menghadap ke peserta diskusi. Kelompok pendengar  duduk mengelilingi kelompok diskusi, seolah-olah melihat ikan yang berada dalam mangkok (fish bowl).[9]

2. Metode Tanya Jawab

a. Pengertian Metode Tanya Jawab

Metode tanya jawab adalah salah satu tehnik mengajar yang dapat membantu kekurangan-kekurangan yang terdapat pada metode ceramah. Ini disababkan karena guru dapat memperoleh gambaran sejauh mana murid dapat mengertikan dan mengungkapkan apa yang telah di ceramahkan.

Metode tanya jawab ialah cara penyampaian pelajaran dengan jalan guru mengajukan pertanyaan dan murid memberikan jawaban, atau sebaliknya murid yang mengajukan pertanyaan dan guru yang memberikan jawaban.[10]

Metode tanya jawab juga dapat diartikan sebagai suatu metode di dalam pendidikan dan pengajaran di mana guru bertanya sedangkan murid menjawab tentang bahan materi yang diperolehnya.[11]

Metode tanya jawab dapat  digunakan oleh guru untuk menetapkan perkiraan secara umum apakah anak didik yang mendapat giliran pertanyaan sudah memahami bahan pelajaran yang diberikan. Metode tanya jawab juga diartikan sebagai metode mengajar dimana seorang guru mengajukan  beberapa pertanyaan kepada beberapa murid tentang pelajaran  yang telah diajarkan atau bacaan yang telah mereka baca sambil memperhatikan proses berfikir diantara murid-murid.[12]

Metode tanya jawab baik digunakan jika:

1)  Untuk meyimpulkan metode yang  lalu. Setelah guru menguraikan suatu persoalan, kemudian guru mengajukan beberapa pertanyaan.

2)  Untuk melanjutkan pelajaran yang sudah lalu. Dengan mengulang pelajaran yang sudah diberikan  dalam bentuk pertanyaan, guru akan dapat menarik perhatian murid-murid kepada pelajaran baru.

3)   Untuk menarik perhatian murid untuk menggunakan pengetahuan dan pengalaman.

4)   Untuk meneliti kemampuan murid dalam memahami bacaan yang dibacanya atau ceramah yang sudah didengarnya.

Metode tanya jawab tidak baik digunakan jika:

1)    Untuk melihat taraf kemampuan murid mengenai pelajaran mereka.

2)  Pertanyaan yang digunakan hanya terbatas pada jawaban “ya” atau “tidak” saja. Tetapi hendaknya jawaban dapat mendorong pemikiran murid untuk memikirkan jawaban yang tepat.

3)  Memberikan giliran pada murid-murid tertentu saja, tetapi hendaknya pertanyaaan diajukan kepada seluruh siswa, begitu juga dalam menjawabnya seluruh murid harus diberi kesempatan, jangan hanya yang pandai-pandai saja. Bahkan murid yang pendiam dan pemalulah yang lebih didorong untuk menjawabnya supaya ia dapat membiasakan diri.[13]

b. Macam-Macam Metode Tanya Jawab

1)  Jenis-Jenis Pertanyaan Menurut Maksudnya

a)  Pertanyaan Permintan (Compliance Question)

Pertanyaan yang mengharapkan  agar orang lain mematuhi perintah yang  diucapkan dalam bentuk pertanyaan.

Contoh:

Dapatkah anda tenang agar  suara saya dapat didengar oleh seluruh kelas?

b)  Pertanyaan Retorik (Rhetorical Question)

Pertanyaan yang tidak menghendaki jawaban, melainkan akan dijawab sendiri oleh guru karena merupakan tehnik penyampaian informasi kepada siswa.

Contoh:

Guru: ”ada yang tahu apa pengertian zakat secara istilah? Zakat adalah…..”

c)  Pertanyaan Mengarahkan atau Menuntun (Prompting Question)

Pertanyaan yang diajukan untuk memberi arah kepada siswa dalam proses berfikir.

Contoh:

Guru : ”Minggu yang lalu  kita telah membicarakan macam-macam najis. Coba, halim, manakah yang lebih tinggi derajat najis-nya, mugholadoh atau mutawasitoh?”

d)  Pertanyaan Menggali (Probing Question)

Pertanyaan lanjutan yang akan mendorong siswa untuk lebih mendalami jawaban terhadap pertanyaan sebelumnya.

Contoh:

Guru: ”Setelah kemarin kita bersama-sama mempelajari thoharoh, bagaimana pendapatmu tentang hikmah thoharoh tersebut,  Amin?”

Amin : ”Sangat menarik, pak.”

Guru : Faktor apa yang menarik?” Dan selanjutnya.[14]

c.  Kelebihan dan Kekurangan Metode Diskusi dan Tanya Jawab

1)  Kelebihan dan kekurangan metode diskusi

a)  Kelebihan Metode Diskusi

(1) Suasana kelas menjadi bergairah, dimana para siswa mencurahkan pikiran dan perhatian mereka terhadap masalah yang sedang dibicarakan.

(2) Dapat menjalin hubungan sosial antara individu siswa sehingga menimbulkan rasa harga diri, toleransi, demokrasi, berfikir kritis dan sistematis.

(3) Hasil diskusi dapat dipahami oleh para siswa karena mereka secara aktif mangikuti perdebatan yang berlangsung dalam diskusi.

(4) Adanya kesadaran para siswa dalam mengikuti dan mematuhi aturan-aturan yang berlaku dalam diskusi merupakan refleksi kejiwaan dan sikap mereka untuk berdisiplin dan menghargai pendapat orang lain.

(5) Kesimpulan-kesimpulan diskusi mudah dipahami anak karena anak didik mengikuti proses berpikir sebelum sampai kepada kesimpulan

(6) Anak-anak belajar mematuhi peraturan-peraturan dan tata tertib dalam suatu musyawarah sebagai latihan pada musyawarah yang sebenarnya.[15]

(7)  Situasi dan suasana kelas lebih hidup sebab perhatian murid terpusat pada masalah atau bahan yang didiskusikan.

(8) Dapat meningkatkan prestasi kepribadian individu dan sosial anak seperti: toleransi, demokrasi, berpikir kritis, sistematis, sabar, dan berani mengemukakan pendapat.

(9)  Kesimpulan hasil diskusi mudah dipahami anak karena anak mengikuti peraturan tata tertib sejak awal

(10)  Murid terlatih mematuhi peraturan dan tata-tertib dalam suatu diskusi atau musyawarah yang lebih besar forumnya dan yang sebenarnya. [16]

b)  Kekurangan Metode Diskusi

a)  Adanya sebagian siswa yang  kurang berpartisipasi secara aktif  sehingga dalam diskusi dapat menimbulkan sikap acuh tak acuh dan tidak ikut bertanggung jawab terhadap hasil diskusi.

b)  Sulit meramalkan hasil yang ingin dicapai karena penggunaan waktu yang terlalu panjang.

c)  Para siswa merasa kesulitan mengeluarkan ide-ide atau pendapat mereka secara ilmiah atau sistematis.

d)  Kemungkinan ada anak yang tidak ikut aktif, sehingga bagi anak-anak ini, diskusi merupakan kesempatan untuk melepaskan diri dari tanggung jawab.[17]

2)  Kelebihan dan kekurangan metode tanya jawab

a)  Kelebihan Metode Tanya Jawab

(1) Memberi kesempatan kepada murid-murid untuk dapat menerima penjelasan lebih lanjut.

(2) Guru dapat dengan segera mengetahui kemajuan muridnya dari bahan yang telah diberikan.

(3) Pertanyaan-pertanyaan yang sulit dan agak baik dari murid dapat mendorong guru untuk  memenuhi lebih mendalam dan mencari sumber-sumber lebih lanjut.

(4) Kelas akan hidup karena anak didik aktif berpikir dan menyampaikan pikiran melalui berbicara.

(5) Baik sekali untuk melatih anak didik agar berani mengembangkan pendapatnya melalui lisan secara teratur.

(6) Timbulnya perbedaan pendapat  diantara anak didik, atau guru dengan anak didik, akan membawa kelas kedalam  suasana diskusi.

(7) Memberikan dorongan aktivitas dan kesungguhan murid, dalam arti murid yang biasanya segan mencurahkan perhatian akan lebih berhati-hati dan aktif mengikuti pelajaran.

(8) Walaupun prosesnya agak lambat namun guru dapat mengontrol pemahaman atau pengertian murid terhadap masalah yang dibicarakan.

(9) Bila dibandingkan dengan metode ceramah yang menolong, metode tanya jawab dapat membangkitkan aktivitas murid.

b)  Kekurangan Metode Tanya Jawab

(1) Pemakaian waktu lebih banyak jika dibandingkan dengan metode ceramah. Jalan pelajaran lebih lambat dari metode ceramah, sehingga kadang-kadang menyebabkan bahan pelajaran tidak dapat dilaksanakan sesuai apa yang telah ditetapkan.

(2) Apabila Murid terlalu banyak tidak cukup waktu memberi giliran kepda setiap siswa.

(3) Apabila terjadi perbedaan pendapat akan memakan banyak waktu untuk menyelesaikannya, dan lebih dari pada itu kadang-kadang murid dapat menyalahkan pendapat guru.

(4) Kemungkinan akan terjadi penyimpangan perhatian anak didik, terutama apabila terdapat jawaban-jawaban yang dapat menarik perhatiannya, tetapi bukan sasaran yang

dituju.

(5) Dapat menghambat cara berpikir, apabila guru kurang pandai dalam penyajian materi pelajaran.

(6) Situasi persaingan akan timbul, apabila guru kurang menguasai teknik pemakaian metode ini.[18]

3. Pembelajaran Fiqih Dengan Penddekatan Kontekstual

Pendekatan  kontektual  (Contextual  Teaching  and  Learning)  merupakan konsep  belajar  yang  membantu  guru  mengaitkan  antara  materi  yang  diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan  yang  dimilikinya  dengan  penerapannya  dalam  kehidupan  mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan  lebih bermakna bagi  siswa. Proses pembelajaran berlansung  alamiah dalam  bentuk  kegiatan  siswa  bekerja  dan  mengalami,  bukan  mentransfer pengetahuan  dari  guru  ke  siswa.  Strategi  pembelajaran  lebih  dipentingkan daripada hasil.

Dalam  kelas  kontektual,  tugas  guru  adalah  membantu  siswa  mencapai tujuannya.  Maksudnya,  guru  lebih  banyak  berurusan  dengan  strategi  daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang  baru  datang  dari menemukan  sendiri  bukan  dari  apa  kata  guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual. CTL  adalah  suatu  proses  pembelajaran  berupa  learner-centered  and learning  in  context.  Konteks  adalah  sebuah  keadaan  yang  mempengaruhi kehidupan siswa dalam pembelajarannya. CTL adalah suatu proses pembelajaran yang  meliputi  relating,  experiencing,  applying,  cooperating,  dan  transfering. Tujuan yang ingin dicapai adalah: (1) meningkatkan hasil pembelajaran siswa, (2)  unan  materi  pelajaran  yang  praktis  dan  sesuai  dengan  kehidupan  di Indonesia  dan  konteks  sekolah.  Pembelajaran  yang  berbasis  CTL  berkaitan dengan prinsip-prinsip  inquiry, constructivism,  learning community, questioning, auhentic  assessment,  reflection,  dan  modelling.  Contektual  Teaching  and Learning sebagai sebuah model pembelajaran jika dilihat dari aspek kegiatan yang terkandung didalamnya bukanlah suatu barang baru. Namun demikian selama  ini prinsip  yang  terkandung  dalam  CTL  itu  rupanya  “kurang” mendapat  perhatian atau  mungkin  terabaikan.  Melalui  CTL  diharapkan  suatu  proses  pembelajaran mampu  meminimalisir  kelemahan-kelemahan  yang  selama  ini  terjadi  dalam aktivitas  belajar-mengajar.  Metode  ini  diharpkan  agar  dunia  pendidikan  selalu berdealiktika  dengan  dengan  keadaan  zman.  Karena  jika  pendidikan    tidak memiliki  semangat  yang  demikian,  maka  pendidikan  justru  akan  menjadi  alat untuk mencerabut masyarakat dari kultur yang selama ini diwarisinya.[19]

Pembelajarn  kontekstual  (Contextual  Teaching  and  Learning)  adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan  yang  dimilikinya  dengan  penerapannya  dalam  kehidupan  mereka sehari-hari,  dengan  melibatkan  tujuh  komponen  utama  pembelajaran  efektif, yakni:  konstruktivisme  (Constructivism),  bertanya  Questioning),  menemukan (Inquiri), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment).

Konstruktivisme

a)  Membangun  pemahaman mereka  sendiri  dari  pengalaman  baru

berdasar pada pengetahuan awal

b)  Pembelajaran  harus  dikemas  menjadi  proses  “mengkonstruksi”

bukan menerima pengetahuan

2.  Inquiry

a)  Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman

b)  Siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis

3.  Questioning (Bertanya)

a)  Kegiatan  guru  untuk  mendorong,  membimbing  dan  menilai kemampuan berpikir siswa

b)  Bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry

4.  Learning Community (Masyarakat Belajar)

a)  Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar

b)  Bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri

c)  Tukar pengalaman

d)  Berbagi ide

5.  Modeling (Pemodelan)

a)  Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan belajar

b)  Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya

6.  Reflection ( Refleksi)

a)  Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari

b)  Mencatat apa yang telah dipelajari

c)  Membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok

7.  Authentic Assessment (Penilaian yang Sebenarnya)

a)  Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa

b)  Penilaian produk (kinerja)

c)  Tugas-tugas yang relevan dan kontekstual  [20]

3. Karakteristik Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)

Adapun  karakteristik  dari  sebuah  pembelajaran  yang  menggunakan metode konteks adalah sebagai berikut,

a.  Kerjasama

b.  Saling menunjang

c.  Menyenangkan, tidak membosankan

d.   Belajar dengan bergairah

e.  Pembelajaran terintegrasi

f.  Menggunakan berbagai sumber

g.  Siswa aktif

h.  Sharing dengan teman

i.  Siswa kritis guru kreatif

j.  Dinding  dan  lorong-lorong  penuh  dengan  hasil kerja  siswa,  peta-peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain.

k.  Laporan  kepada  orang  tua  bukan  hanya  rapor  tetapi  hasil  karya siswa, laporan hasil pratikum, karangan siswa dan lain-lain[21]

Pentingnya pendekatan pembelajaran CTL bagi mapel PAI didasarkan atas beberapa hal:

a.  PAI  merupakan  mata  pelajaran  yang  dikembangkan  dari  ajaran  pokok (dasar)  yang  terdapat  dalam  agama  Islam.  Karena  itu  PAI  merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam.

b.  Dari  segi muatan  pendidikannya,  PAI merupakan mata  pelajaran  pokok  yang menjadi  satu  komponen  yang  tidak  dapat  dipisahkan  dengan mata pelajaran  lain  yang  memiliki  tujuan  pembentukan  moral  kepribadian peserta  didik  yang  baik.  Oleh  sebab  itu  semua  mata  pelajaran  yang memiliki  tujuan  relevan  dengan  PAI  harus  seiring  dan  sejalan  dalam pendekatan pembelajarannya.

c.  Tujuan diberikannya mata pelajaran PAI adalah terbentuknya peserta didik yang  beriman  dan  bertakwa  kepada  Allah  swt,  berbudi  pekerti  luhur (berakhlak  mulia),  memiliki  pengetahuan  yang  cukup  tentang  Islam terutama  sumber-sumber  ajaran  dan  sendi-sendi  lainnya,  sehingga  dapat dijadikan  bekal  untuk  mempelajari  berbagai  bidang  ilmu  atau  mata pelajaran  tanpa  harus  terbawa  oleh  pengaruh  negatif  yang  mungkin ditimbulkan oleh ilmu dan mata pelajaran tersebut.

d.  Mata  pelajaran  PAI  tidak  hanya mengajarkan  kepada  peserta  didik  agar menguasai  ilmu  keislaman  tetapi  juga harus memiliki  kemampuan untuk mengamalkan ajaran Islam dalam keseharian.

e.  Prinsip  dasar  PAI  didasarkan  pada  tiga  kerangka  dasar  yaitu  akidah (penjabaran  dari  konsep  iman),  syariah  (penjabaran  dari  konsep  Islam), akhlak (penjabaran dari konsep ihsan).

f.  Dilihat dari aspek tujuan, PAI bersifat integratif, yaitu menyangkut potensi intelektual  (kognitif),  potensi  moral  kepribadian  (afektif)  dan  potensi keterampilan mekanik  (psikomotorik). Oleh  sebab  itu  pembelajaran  PAI  harus  mampu  mengembangkan  semua  potensi  secara  pararel  tanpa menafikan potensi lain yang dimiliki oleh siswa. Karakteristik  yang  dimiliki  mata  pelajaran  PAI  sangat  kompleks, komprehensif dan memerlukan pengetahuan lintas sektor. Oleh sebab itu pola pendekatan  dan  strategi  pembelajaran  harus  dilakukan  secara  dinamis  dan inovatif agar cita-cita atau tujuan PAI dengan cepat dapat dicapai.

Atas dasar pertimbangan di atas maka menerapkan pendekatan CTL dalam pembelajaran  mata  pelajaran  PAI  menjadi  sebuah  keniscayaan.  Karena  dengan pendekatan  CTL  akan  lebih  mempercepat  proses  bimbingan  dan  pembinaan kualitas personel siswa baik aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.

  1. Metode Demonstrasi

Metode demonstrasi dalam belajar dan mengajar ialah metode yang digunakan oleh seorang guru atau orang luar yang sengaja didatangkan atau murid sekali pun untuk mempertunjukkan gerakan- gerakan suatu proses dengan prosedur yang benar disertai keterangan- keterangan. Dalam metode demonstrasi murid mengamati dengan teliti dan seksama serta dengan penuh perhatian dan partisipasi.

Metode demonstrasi merupakan metode yang paling sederhana dibandingkan dengan metode- metode mengajar yang lainnya. Metode demonstrasi adalah pertunjukan tentang proses terjadinya suatu peristiwa atau benda sampai pada penampilan tingkah laku yang dicontohkan agar dapat diketahui ada dipahami oleh peserta didik secara nyata atau tiruannya. Metode ini adalah yang paling pertama digunakan oleh manusia yaitu tatkala manusia purba menambah kayu untuk memperbesar nyala unggun api, sementara anak- anak mereka memperhatikan dan menirunya.

Metode demonstrasi ini barang kali lebih sesuai untuk mengajarkan bahan- bahan pelajaran yang merupakan suatu gerakan- gerakan dalam wudhu dan sholat yang diterapkan pada siswa tunagrahita. Dengan metode demostrasi peserta didik berkesempatan mengembangkan kemampuan mengamati segala  benda yang sedang terlibat dalam proses serta dapat mengambil kesimpulan- kesimpulan yang diharapkan. Dalam demonstrasi diharapkan setiap langkah pembelajaran dari hal- hal yang didemonstrasikan itu dapat dilihat dengan mudah oleh murid dan melalui prosedur yang benar dan dapat pula dimengerti materi yang diajarkan.

F. Materi Pelajaran Fiqih dan Penggunaan Metode Pembelajaran Yang Tepat

1. Bab Haid

Metode :

  1. ceramah,

pertama-tama guru memberikan ceramah agar siswa memahami materi tentang haid

  1. tanya jawab,

siswa dan guru melakukan tanya jawab tentang haid

  1. problem solving

guru memberikan permasalahan yang kemudian dicoba untuk diselesaikan oleh siswa

2. Bab Sholat

Metode :

  1. ceramah,

pertama-tama guru memberikan ceramah agar siswa memahami materi tentang sholat

  1. diskusi,

siswa berdiskusi tentang materi sholat

  1. demonstrasi
    1. Bab Zakat
      1. Ceramah

pertama-tama guru memberikan ceramah agar siswa memahami materi tentang zakat

  1. Diskusi

siswa berdiskusi tentang materi zakat

  1. Problem solving
  2. Bab Haji
  3. Ceramah

pertama-tama guru memberikan ceramah agar siswa memahami materi tentang haji

  1. Tanya jawab

siswa dan guru melakukan tanya jawab tentang haji

  1. Demonstrasi

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

  1. A.    Kesimpulan

Pada hakikatnta, semua metode itu baik asal sesuai dengan karakter dan situasi yang ada. Dalam pembelajaran fiqh, metode demonstrasi dan diskusi dirasa sesuai dengan karakteristik mata pelajaran tersebut.

Diskusi adalah suatu kegiatan kelompok dalam memecahkan masalah untuk mengambil kesimpulan. Diskusi tidak sama dengan berdebat. Diskusi selalu diarahkan kepada pemecahan masalah yang  menimbulkan berbagai macam pendapat dan akhirnya diambil suatu kesimpulan yang dapat diterima oleh anggota dalam kelompok

Metode demonstrasi dalam belajar dan mengajar ialah metode yang digunakan oleh seorang guru atau orang luar yang sengaja didatangkan atau murid sekali pun untuk mempertunjukkan gerakan- gerakan suatu proses dengan prosedur yang benar disertai keterangan- keterangan. Dalam metode demonstrasi murid mengamati dengan teliti dan seksama serta dengan penuh perhatian dan partisipasi

DAFTAR PUSTAKA

M. Kholidul Adib, Fiqh Progresif: membangun Nalar Fiqih Bervisi Kemanusiaan, dalam Jurnal Justisia, Edisi 24 XI 2003

Sumanto al-Qurtuby, K.H MA. Sahal Mahfudh; Era baru Fiqih Indonesia, (Yogyakarta: Cermin, 1999)

Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Dan Standar Isi Pendidikan Agama Islam Dan Bahasa Ara Di Madrasah.

Zuhairini dan Abdul Ghofir, Metodologi Pembelajaran (Malang: UM PRESS, 2004),

Hasibuan dan Moedjiono, Proses Belajar Mengajar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986),

Sutrisno Hadi, Metode Pembelajaran (Yogyakarta: Andi Offset, 1993),

Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosisla-Paulo Freire dan YB. Mangunwijaya, Logung Pustaka, Jogjakarta, 2005


[1] M. Kholidul Adib, Fiqh Progresif: membangun Nalar Fiqih Bervisi Kemanusiaan, dalam Jurnal Justisia, Edisi 24 XI 2003, hlm. 4

[2] Sumanto al-Qurtuby, K.H MA. Sahal Mahfudh; Era baru Fiqih Indonesia, (Yogyakarta: Cermin, 1999) hlm. 134

[3] Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Dan Standar Isi Pendidikan Agama Islam Dan Bahasa Ara Di Madrasah. Hal 84

[4]ibid. Hal 51

[5] Ibid, hal 53

[6] Ibid, hal 89

[7] Abu Ahmadi, dkk, op.cit., hlm. 57

[8] Zuhairini dan Abdul Ghofir, Metodologi Pembelajaran (Malang: UM PRESS, 2004), hlm.64

[9] Hasibuan dan Moedjiono, Proses Belajar Mengajar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986), hlm. 20-23

[10] Ibid., hlm. 63

[11] Abu Ahmadi, dkk., op.cit., hlm. 56

[12] Sutrisno Hadi, Metode Pembelajaran (Yogyakarta: Andi Offset, 1993), hlm. 192

[13] Zuhairini dkk., op. cit., hlm. 67

[14] Hasibuan dan Moedjiono, op.cit,. hlm. 15

[15] Abu Ahmadi, dkk., op.cit., hlm. 59

[16] Zuhairini, dkk. op. cit., hlm. 65

[17] Zuhairini, dkk. op.cit., hlm. 68

[18]Zuhairini, dkk. op. cit., hlm. 67

[19] Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosisla-Paulo Freire dan YB. Mangunwijaya, Logung Pustaka, Jogjakarta, 2005, hlm. Xii

[20] Nurhadi,dkk, Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) dan

[21] Departeman Agama Republik Indonesia, Op.Cit, hlm. 655.

TARIKH TASYRI’  MASA KHULAFAUR RASYIDIN

 

 

A. Pendahuluan

Pada masa rasulullah masih hidup, yang bertindak sebagai pemutus perkara dan pelerai pertikaian dalam masyarakat adalah beliau sendiri. Beliau sebagai referensi tertinggi untuk meminta fatwa dan keputusan.[1] Keputusan beliau itu didasarkan atas  wahyu atau sunnah, termasuk musyawarah dengan para sahabat. Sehingga pada masa nabi, setiap persoalan dapat dengan mudah dikembalikan kepada rasulullah.

Dengan wafatnya nabi muhammad, berhentilah wahyu yang turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari yang beliau terima dari malaikat jibril baik sewaktu beliau masih berada di makkah maupun setelah hijrah ke madinah. Demikian juga halnya dengan sunnah, berakhir dengan meninggalnya rasulullah itu.[2] Kedudukan nabi Muhammad sebagai utusan tuhan tidak mungkin diganti, tapi tugas beliau sebagai pemimpin masyarakat islam dan kepala Negara harus dilanjutkan oleh orang lain. Maka dengan demikian timbullah permasalahan tentang bagaimana cara pemutus dan pelerai perkara dilaksanakan, dan siapakan yang mempunyai wewenang untuk memutuskan perkara tersebut.

 

 

B. Pembahasan

1. Pemutus Perkara setelah Wafatnya Nabi

Untuk menggantikan kedudukan nabi Muhammad sebagai seorang pemimpin ummat dan kepala Negara, dipilihlah seorang pengganti yang disebut khalifah dari kalangan sahabat nabi sendiri.[3] Khalifah adalah suatu kata yang “dipinjam” dari alquran Surat Al-Baqarah ayat 30.

ŒÎ)ur tA$s% š•/u‘ Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ’ÎoTÎ) ×@Ïã%y` ’Îû ÇÚö‘F{$# Zpxÿ‹Î=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ߉šøÿム$pkŽÏù à7Ïÿó¡o„ur uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ωôJpt¿2 â¨Ïd‰s)çRur y7s9 ( tA$s% þ’ÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ øŒÎ)ur tA$s% š•/u‘ Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ’ÎoTÎ) ×@Ïã%y` ’Îû ÇÚö‘F{$# Zpxÿ‹Î=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ߉šøÿム$pkŽÏù à7Ïÿó¡o„ur uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ωôJpt¿2 â¨Ïd‰s)çRur y7s9 ( tA$s% þ’ÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ

 

Artinya :

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. AlBaqarah: 30)[4]

 

Oleh karena itu, maka sebagai seorang pengganti nabi, ummat islam secara otomatis menganggap bahwa khalifah juga bertugas untuk memutuskan perkara yang terjadi di masyarakat. Selain itu, para shahabat yang terkenal dengan kedalaman ilmunya juga menjadi pemutus perkara-perkara yang terjadi saat itu, semisal Abdullah ibnu abbas, zaid bin tsabit, Abdullah ibnu umar di madinah. Abdullah ibnumas’ud di kuffah., Abdullah ibn amr ibn ash di mesir. Aisyah dan zadhi yang mashur. Abu musa al asyari dan muadz bin jabal.[5] Mereka terpencar di beberapa kota dan membimbing peletakan dasar fiqh islami dan pengembangannya.

 

 

2. Metode Pengambilan Keputusan pada Masa Khulafaur Rasyidin

Pada masa ini sumber  tasyri’ islam adalah alquran dan sunnah rasul. Keduanya disebut nash atau naql. Apabila  ada masalah yang tidak jelas di dalam nash, para sahabat zamn khulafaurrasyidin memakai ijtihad untuk memperolah hukum yang dicari. Jalan dalam ijtihadnya adalah berpegang pada ma’quul-annash dan mengeluarkan illah atau hikmah yang dimaksud dari pada nash itu, kemudian menerapkannya pada semua masalah yang sesuai illahnya dengan illah yang dinashkan. Hal demikian kemudian dinamakan qiyash.[6] Dalam hal lain para sahabat bermusyawarah dalam mencari hukum yang tidak ada nashnya, kemudian mereka sepakat dalam hukum yang mereka temukan dalam suatu masalah itu, yang kemudian dinamai dengan al-ijmaa’.Para ulama telah menyebutkan bahwa dari praktek khlafaurrasyidin itu terdapat perluasan dasar tasyri’ islam disamping khulafaur-rasyidin itu terdapat juga alqiyaash dan al ijmaa’

Sumber hukum islam yang dipakai pada masa khulafaurrasyidin adalah :

1.   Alquran

2.   Sunnah Nabi

3.   Ijtihad shahabat (ijma’ dan qiyash)[7]

 

a. Alquran dan Sunnah

Sepeninggal nabi, terjadi banyak permasalahan yang muncul dan harus dipecahkan. Padahal,  para sahabat tidak bisa lagi  menanyakan penyelesaian masalah pada nabi karena nabi telah wafat. Sehingga,  mereka sendirilah yang harus memutuskan penyelesaian masalah tersebut. Keharusan untuk menyelesaiakan permasalahan yang terjadi ini mendorong umat islam untuk menyelidiki Alquran dan Sunnah. Dalam berfatwa, para sahabat selalu berpegang pada :

  1. Alquran, karena dialah asas dan tiang agama. Mereka selalu memahaminya dengan jelas dan terang karena Alquran diturunkan dengan lidah (bahasa) mereka serta keistimewaan mereka mengetahui sebab-sebab turunnya dan ketika itu belum seorangpun selain Arab telah masuk di kalangan mereka.

b. Sunnah rasulullah. Para sahabat telah sepakat untuk mengikuti sunnah nabi kapan saja mereka mendapatkannya dan percara pada perawi yang benar periwayatannya.[8]

Hal ini didasarkan pada hadist

 

 تركت فيكم  امرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله

 و سنة نبيه

 

Artinya :
Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian. Jika kalian berpegang pada keduanya, niscaya tidak akan tersesat selamanya, yaitu kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.“[9]

 

b. Ijtihad Shahabat

Namun ternyata ada masalah  yang tidak ditemukan penyelesaiannya dalam Alquran dan Sunnah. Hal ini disebabkan karena       pada masa nabi, wilayah kekuasaan islam hanya sebatas semenanjung arabia. Tapi pada masa khulafaur rasyidin, kekuasaan islam mulai meluas dan membentang keluar dari jazirah arab, meliputi: Mesir, Syiria, Persia dan Irak.[10] Luasnya wilayah tersebut menyebabkan kaum Muslimin menghadapi banyak kejadian dan persoalan yang belum pernah dialami pada masa nabi. Hal ini mendorong umat muslim untuk berijitihad, yakni mengerahkan kesungguhan dalam mengeluarkan hukum syara’ dari apa yang dianggap syari’ sebagai dalil yaitu kitabullah dan sunnah nabinya. Ijtihad para sahabat dalam arti luas adalah bahwa mereka melihat dilalah (indikasi), menganalogi, menganggap hal-hal lain dan lain sebagainya.[11]

Ijtihad ada dua:

  1. Mengambil hukum dari dzahir-dzahir nash apabila hukum itu diperoleh dari nash-nash itu.
  2. Mengambil hukum dari ma’qul nash karena nash itu mengandung illat yang menerangkannya, atau illat itu dapat diketahui dan tempat kejadiannya yang di dalamnya mengandung  illat, sedang nash tidak memuat hukum itu.

 

Sebab-sebab adanya ijtihad :

Sebelum adanya ijtihad dan qiyas itu perlu dijelaskan terlebih dahulu yaitu tentang pemahaman dalil-dalil

Dalil-dalil itu terbagi menjadi dua macam

  1. Dalil yang bersifat Qath’i ( pasti dan jelas)
  2. Dalil yang bersifat dhanni (perkiraan dan dugaan berat)

Kalau pada dalil yang bersifat Qath’i, itu sudah pasti jelas maksud dan hukumnya. Sedangkan pada dalil yang bersifat dhanni ini masih bisa menimbulkan berbagai macam penafsiran-penafsiran, disebabkan karena pada dalil-dalil yang bersifat dhanni ini terdapat ketidakjelasan tentang maksud dan hukumnya. Dalil yang bersifat dzonni inilah para ulama membuat istilah ijtihad dan qiyas, dengan tujuan untuk menafsirkan maksud dan hukum yang terdapat pada dalil-dalil dzanni tersebut.

 

c. Ijma’

Ijtihad pada masa itu berbentuk kolektif, disamping individual. Dalam melakukan ijtihad kolektif, para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan hokum suatu masalah. Hasil musyawaroh sahabat ini disebut ijma[12]Kemudian rasulullah telah menyediakan metode-metode buat ijtihad bagi mereka, melatih dan meridhoi mereka serta menetapkan pahala ijtihadnya baik salah maupun benar. Tentang ijtihad itu boleh dipakai berdasarkan dalil bahwa seorang hakim ketika ia berijtihad dalam menetapkan sebuah hukum kemudian benar hasilnya, maka ia mendapatkan dua pahala. Adapun ketika salah ia mendapatkan satu pahala.

Sebagaimana diriwayatkan Al-Baghawi yang diterima dari maimun bin Mahram, yaitu suatu gambaran cara-cara mereka melakukan istinbath hukum, ia berkata : apabila suatu perselihan di ajukan kepada abu bakar, maka ia lihat kitab Allah. Apabila di temukan di sana hukum yang dapat memutuskan masalah yang terjadi di antar mereka, maka ia putuskan dengan hukum tersebut. Bila tidak ditemukan dalm kitab Allah, ia ketahui dari sunnah rasul tantang masalah itu, maka ia putuskan dengan sunnah tersebut. Bila tidak di temukan jaga ia keluar dan bertanya pada kaum muslimin: suatu masalah di ajukan padaku…lalu apakah kalian mengetahui bahwa nabi pernah memutuskan suatu hukum dalam masalah ini? Terkadang semua golongan berkumpul dan menuturkan suatu kepusan dari rasulullah.Bila tidak di temukan jaga dari sunnah rasul, maka ia kumpulkan tokoh-tokoh masyarakat dan orang-orang terpilih untuk bermusyawarah, apabila di peroleh kesepakatan hukumnya, maka ia putuskan masalah tersebut dengan hasil kesepakatan itu.[13]

Langkah-langkah yang ditempuh Abu Bakar dalam mengambil keputusan adalah sebagai berikut [14]:

a.   Mencari ketentuan hukum dalam Alquran. Apabila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada dalam Alquran.

b.   Apabila tidak menemukannya dalam Alquran, ia mencari ketentuan hukum dalam Sunnah. Bila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada pada sunnah.

  1. Apabila tidak menemukannya dalam Sunnah, ia bertanya kepada sahabat lain apakah rasulullah telah memutuskan persoalan yang sama pada zamannya. Jika ada yang tahu, ia memutuskan persoalan tersebut berdasarkan keterangan dari yang menjawab setelah memenuhi beberapa syarat.
  2. Jika tidak ada sahabat yang memberikan keterangan, ia mengumpulkan para pembesar sahabat dan bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Jika ada kesepakatan diantara mereka, ia menjadikan kesepakatan itu sebagai keputusan. [15]

 

D. Ro’yu

Untuk menjawab persoalan hukum yang baru muncul itu para sahabat terlebih dahulu menunjuk kepada Alquran dan Al-hadist. Namun bila para sahabat tidak menemukan ketetapan hukum dari dua sumber hukum yang dimaksud, maka disitulah para sahabat menggunakan akal pikiran (ra’yu) yang dijiwai oleh ajaran islam. Sebagai contoh dapat diungkapkan siapa yang menjadi khalifah sesudah Nabi Muhammad meninggal dunia. Permasalahan ini diselesaikan berdasarkan qiyas atas posisi Abu Bakar sebagi pengganti nabi menjadi Imam shalat ketika nabi tidak dapat menjadi imam karena sakit.[16] Tentang qiyas boleh di pakai selama tidak menyalahi dalil yang shohih. Hanya saja mereka menyebut kata ra’yu (pendapat) terhadap sesuatu yang dipertimbangkan oleh hati setelah berpikir, mengamati, dan mencari untuk mengetahui sisi kebenaran dari tanda-tanda yang terlihat. Sebagaimana didefinisikan oleh Ibnu Qayyim. Dengan demikian, menurut mereka ra’yu tidak sebatas qiyas(analogi) saja, sebagaimana dikenal sekarang, tetapi meliputi analogi, ihtisan, Baraah, Ashliyah, Saddu Dzara’i dan Maslahah al-Mursalah.[17]

 

3. Faktor Kondisional dan Situasional yang Mempengaruhi Tasyri’ Islam masa Khulafaur Rasyidin

 

a. akar masalah yang terjadi dalam pengambilan tasyri’

1. Luasnya wilayah islam masa khulafaurrasyidin

Periode kekuasaan pemerintahan nabi Muhammad SAW hanya meliputi semenanjung Arabia tetapi periode khulafaur Rasyidin meliputi wilayah arab dan non arab sehingga masalah yang muncul semakin kompleks sementara ketetapan hukum yang rinci di dalam alquran dan alhadis terbatas jumlahnya. Oleh karena itu khulafaurrasyidin mengahadapi banyak masalah yang tadinya tidak terdapat di masyarakat arab. Misalnya masalah pengairan, keuangan, cara menetapkan hukum di pengadilan dan budaya hukum di damaskus, Mesir, Irak, Iran, Maroko, Samarkand, Andalusia.[18]

2. Sahabat khawatir akan kehilangan Alquran karena banyaknya sahabat yang hafal alquran meninggal dunia dalam perang melawan orang-orang murtad. [19]

  1. Sahabat mengkhawatirkan terjadinya ikhtilaf sahabat terhadap alquran akan seperti ikhtilaf Yahudi dan Nasrani yang terjadi sebelumnya.[20]
  2. Sahabat takut akan terjadi pembohongan terhadap sunnah Rasulullah SAW.[21]
  3. Sahabat khawatir umat Islam akan menyimpang dari hukum Islam.
  4. Sahabat menghadapi perkembangan kehidupan yang memerlukan ketentuan syariat kerena islam petunjuk bagi mereka tetapi belum ditetapkan ketentuannya dalam Alquran dan sunnah.

 

b.  pendapat sahabat dalam pengistimbatan tasyri’

Pengistimbatan pada masa ini sebatas kasus-kasus yang terjadi saja. Mereka tidak memprediksikan masalah-masalah yang belum terjadi dan tidak mengira-ngira bahwa hal itu akan terjadi lalu meneliti hukumnya sebagaimana ulama mutaakhirin.[22] Sahabat membatasi pada kasus-kasus yang perlu difatwakan saja. Mereka berpendapat bahwa

1.  Sesungguhnya menyibukkan diri selain dengan kasus-kasus yang terjadi adalah sia-sia, membuang-buang waktu untuk perbuatan baik dan bajik serta menyia-nyiakan waktu yang berharga.

2.  Mereka memelihara berfatwa dan sebagian mereka melarangkan yang lain untuk berfatwa karena takut meleset dan salah. Oleh karena itu mereka menjauhi perluasan fatwa terhadap kasus-kasus yang belum terjadi. Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit bahwasanya apabila ia apabila dimintai  fatwa dalam masalah yang ditanyakan. Bila kasusnya telah terjadi, maka Zaid memberikan fatwanya, namun bila kasusnya belum terjadi ia berkata, “biarkanlah sampai kasusnya terjadi.“[23]

3.  Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa para sahabat yang mengeluarkan fatwa dan ra’yu (pendapat) pada masa ini adalah khalifah dan para pembantunya. Disamping kesibukan mengatur negara Islam dan politik kaum muslimin; baik keagamaan maupun keduniaan. Inilah yang membuat mereka sibuk sehingga menjauhi menentukan dan mengira-ngira.[24]

Para ulama shahabat mengambil beberapa tindakan untuk menjamin kebenaran riwayat diantaranya;

  1. Para sahabat, termasuk sahabat Abu Bakar tidak menerima hadist  yang tidak disaksikan lebih dari satu orang.
  2. Para sahabat tidak membukukan hadist sehingga terbagilah hadist-hadist berdasarkan perawi-perawinya.
  3. Para sahabat tidak membukukan hasil ijtihad mereka. Sehingga sulit sekali bagi generasi seterusnya kesulitan untuk mengetahui pendapat mereka.[25]

 

 

c. pengaruh pengambilan hukum masa khulafaur rasyidin terhadap perkembangan tasyri’ islam

  1. Fatwa-fatwa yang diungkapkan para sahabat pada zaman khulafaur rasyidin mempunyai pengaruh terhadap perkembangan hukum islam.[26] Banyak para ulama dan imam madzhab merujuk pada pendapat para sahabat besar.
  2. Sahabat melakukan penelaahan terhadap Alquran dan Sunah dalam menyelesaikan suatu kasus. Apabila tidak didapatkan dalam Alquran dan Sunnah, mereka melakukan ijtihad. Ijtihad dalam menyelesaikan kasus disebut fatwa, yaitu suatu pendapat yang muncul karena adanya peristiwa yang terjadi.[27] Dengan dimuainya ijtihad oleh para sahabat, permasalahan-permasalahan kontemporer umat islam dapat terselesaikan dengan bijak dan benar. Hal ini kemudian mendorong para ulama sesudah masa sahabat besar untuk mengembangkan lagi ijtihad mereka guna menemukan penyelesaian permasalahan-permasalahan hukum islam, bahkan masalah yang belum dihadapi.
  3. Sahabat telah menentukan thuruq al-istinbath dalam menyelesaikan kasus yang dihadapi. Thuruq al-Istinbath tersebut digunakan dalam rangka menyelesaikan kasus yang dihadapi.[28] Sehingga generasi sahabat kecil dan tabiin mengikuti jejak shahabat besar dalam menyelesaikan suatu perkara.

 

d. terjadinya perbedaan pendapat

1. Sebab-sebab Ikhtilaf pada Zaman Sahabat

Ikhtilaf zaman sahabat disebabkan oleh tiga hal[29]

1. Perbedaan pendapat yang disebabkan oleh sifat Alquran.

a..  Dalam alquran terdapat kata atau lafadz yang bermakna ganda (isytira’). Umpamanya firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228,

àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr’Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 Ÿwur ‘@Ïts† £`çlm; br& z`ôJçFõ3tƒ $tB t,n=y{ ª!$# þ’Îû £`ÎgÏB%tnö‘r& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ‘,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ ’Îû y7Ï9ºsŒ ÷bÎ) (#ÿrߊ#u‘r& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB “Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_u‘yŠ 3 ª!$#ur ͕tã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ

Artinya :

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Q.S. Al-Baqarah: 228)[30]

 

Kalimat “yang diceraikan oleh suaminya hendaklah menunggu tiga kali quru’,“ membuat para sahabat berbeda pendapat. Perbedaan ini disebabkan kata quru’ mengandung dua arti yakni Al-haidl dan at-thuhr.[31] Adanya dua makna ini membuat terjadinya perbedaan pendapat. Umar ibn Khattab memilih makna al-haidl sebagai makna quru’. Sedangkan sahabat Zaid bin Tsabit menggunakan makna At-tuhr.

  1. Hukum yang ditentukan Alquran masing-masing “berdiri sendiri” tanpa mengantisipasi kemungkinan bergabungnya dua sebab pada satu kasus.[32] Misalnya pada alquran terdapat ketentuan bahwa waktu tunggu (iddah) bagi wanita yang dicerai karena suaminya meninggal dunia adalah 4 bulan 10 hari.

tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâ‘x‹tƒur %[`ºurø—r& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr’Î/ spyèt/ö‘r& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ( #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þ’Îû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ

 

      Artinya:

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (Q.S. Al-Baqarah: 234)[33]

 

Dan iddah wanita yang hamil adalah sampai melahirkan disebutkan dalam alquran adalah tiga bulan.[34] Sebagaimana firman Allah

‘Ï«¯»©9$#ur z`ó¡Í³tƒ z`ÏB ÇيÅsyJø9$# `ÏB ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS ÈbÎ) óOçFö;s?ö‘$# £`åkèE£‰Ïèsù èpsW»n=rO 9ßgô©r& ‘Ï«¯»©9$#ur óOs9 z`ôÒÏts† 4 àM»s9’ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4 `tBur È,­Gtƒ ©!$# @yèøgs† ¼ã&©! ô`ÏB ¾Ín͐öDr& #ZŽô£ç„ ÇÍÈ

4.  Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.(Q.S. At-Thalaq: 4)[35]

Dua ayat tersebut tidak mengantisipasi kemungkinan terjadinya seorang wanita yang hamil ditinggal mati oleh suaminya. Apakah yang berlaku baginya iddah hamil atau  iddah wafat? Hal inilah yang membuat terjadinya perbedaan pendapat diantara sahabat. Ada yang beranggapan bahwa hukum wanita haidh yang ditinggal mati suaminya adalah 4 bulan 10 hari seperti shahabat Umar. Ada yang beranggapan menggunakan iddah hamil karena ayat iddah hamil turun setelah iddah mati seperti kata ibnu mas’ud. Tapi sahabat Ali dan Banu Abbas menggunakan iddah terpanjang diantara dua iddah tersebut.

 

  1. Perbedaan pendapat yang disebabkan oleh sifat Sunnah[36]
  2. tidak semua sahabat memiliki penguasaan yang sama terhadap sunnah. Di antara mereka ada yang penguasaan sunnahnya cukup luas, ada  pula yang sedikit. Hal itu terjadi karena perbedaan mereka dalam menyertai nabi.Adayang intensif dan ada yang tidak, ada yang paling awal masuk islam dan ada pula yang paling akhir.
  3. Kadang-kadang riwayat telah sampai pada  seorang sahabat tetapi tidak atau belum sampai pada sahabat lain, sehingga diantara mereka ada yang mengamalkan ra’y karena ketidaktahuan mereka terhadap Sunnah. Umpamanya Abu Hurairah berpendapat bahwa orang yang masih junub pada waktu shubuh, tidak dihitung berpuasa ramadhan, (man ashabaha junub (an) fa la shaum lah). kemudian pendapat ini didengar oleh aisyah yang berpendapat sebaliknya. Aisyah menjadikan peristiwa dengan nabi sebagai alas an. Maka Abu Hurairah menarik kembali pendapatnya.
  4. Sahabat berbeda pendapat dalam penakwilan Sunnah. Umpamanya, thawaf. Sebagian besar sahabat berpendapat bahwa bersegera dalam thawaf adalah sunnah, sedangkan Ibnu Abbas berpendapat bersegera dalam thawaf tidak sunnah.
  5. Perbedaan struktur masyarakat dan perubahan zaman menimbulkan perbedaan dalam menetapkan sesuatu pendapat.[37]

 

  1. Perbedaan pendapat dalam menggunakan wahyu

Adapun perbedaan pendapat di kalangan sahabat yang disebabkan oleh penggunaan ra’yu diantaranya perbedaan pendapat antara Umar dan Ali tentang permepuan yang menikah dalam waktu iddahnya. Menurut Umar, apabila seorang wanita menikah dalam masa iddahnya, tetapi ia belum dukhul, maka pasangan itu wajib dipisah. Dan perempuan itu wajib menyelesaikan waktu tunggunya. Apabila sudah dukhul, pasangan itu harus dipisahkan dan menyelesaikan dua waktu tunggu. Waktu tunggu dari suami yang pertama dan waktu tunggu dari suami berikutnya. Sedangkan menurut ali, perempuan itu hanya diwajibkan menyelesaikan waktu tunggu yang pertama. Ali berpegang pada keumuman ayat, sedangkan Umar berpegang pada tujuan hukum, yakni agar orang tidak lagi melakukan pelanggaran.[38]

 

b. perkara-perkara yang menjadi ikhtilaf shahabat

Perbedaan pendapat itu antara lain :

  1. Pada masa Umar ada seorang istri yang dicerai, dan berada dalam masa iddah, dinikahkan (hal ini dinash dalam Alquran). Maka umar memukul si suami dengan alat pemukul beberapa kali dan ia menceraikan kedua suami istri itu seraya berkata, “ perempuan manapun yang dinikahkan pada masa iddahnya, jika suami  ayng memperistrikannya belum bersetubuh dengannya maka keduanya diceraikannya dan permepuan itu beriddah dengan sisa iddahnya dari suami yang pertama. Kemudian, laki-laki itu melamar seperti pelamar-pelamar lain. Jika suami itu telah bersetubuh dengannya maka keduanya diceraikan kemudian perempuan itu beriddah dengan sisa iddahnya dari suami kedua, kemudian suami itu tidak boleh mengawininya untuk selama-lamanya”. Ali berkata : “jika istri telah habis iddahnya dari suami yang pertama, maka orang lain jika mau boleh memperistrikannya.[39]

Keduanya berbeda pendapat dalam mengekalkan haramnya nikah atas suami yang kedua setelah ia bersetubuh dengan perempuan yang sedang beriddah. Tidak ada nash-nash Alquran yang menguatkan salah satu dari keduanya. Dalam hal ini Umar mengambil kaidah penengahan dan pengajaran sedang ali mengambil pokok-pokok umum.

  1. Ustman bin Affan dan Zaid bin Tsabit berfatwa bahwa wanita wanita merdeka yang menjadi isteri hamba, maka wanita itu haram hukumnya dengan dua thalaq. Ali menyelisihinya dengan berkata, ”wanita itu hanya haram dengan tiga thalaq. Adapun amat (budak perempuan yang menjadi istri laki-laki merdeka, maka amat itu haram dengan dua thalaq. Para mufti itu sepakat atas separoh hak-hak hamba, namun mereka berbeda pendapat apakah perceraian itu dipandandang dari suami ataukah dari istri. Usman dan Zaid berpendapat bahwa perceraian itu dipandangdari suami, karena suamilah yang menjatuhkan thalaq. Sedang Ali berpendapat bahwa perceraian itu dipandang dari istri. Karena istrilah yang kena thalaq.[40]
  2. Abdurrahman mencerai istrinya dimana ia sedang sakit. Maka Utsman memberi warisan kepada wanita itu dari Abdurrahman bin Auf setelah habis iddahnya. Diriwayatkan bahwa syuraih menulis kepada umar bin Khattab tentang seorang laki-laki yang menceraikan istrinya tiga kali sedanga laki-laki itu dalam keadaan sakit, maka Umar menjawab bahwa wanita itu mewarisinya selagi dalm masa iddahnya. Jika wanita itu habis masa iddahnya maka ia tidak mendapat warisan. Keduanya sepakat bahwa perceraian dari orang sakit tidak menghilangkan perkawinan dengan sifatnya sebagai sebab yang mewajibkan warisan. Terhadap hal ini, Umar memberi batasan yaitu iddah dan Utsman tidak membuat batas. Dalam masalah ini tidak ada nash untuk menjadi tempat merujuk agar terdapat penyelesaian masalah.[41]
  3. Umar bin Khattab  berkata bahwa orang hamil yang ditingal mati, maka iddahnya adalah melahirkan kandungannya. Ali berkata bahwa iddahnya itu dengan sejauh-jauh dua masa itu, yaitu sejauh-jauh kandungan, dan melewati empat bulan sepuluh hari. Sebab perbedaan pendapat itu karena Allah menjadikan iddah wanita hamil yang diceraikan adalah melahirkan kandungan. Dan Allah menjadikan iddah wanita yang ditinggal mati adalah empat bulan sepuluh hari tanpa perincian. Ali dalam fatwanya tentang wanita yang ditinggal mati berlandaskan dua ayat itu seluruhnya. Sedang Umar menjadikan ayat thalaq itu sebagai hukum ayat fatwa yakni secara khusus. Dalam hal ini mereka melihat suatu haidst bahwasanya Sabi’an binti Harits Al Aslamiyah suaminya meninggal, kemudian ia melahirkan kandungannya setelah dua bulan 10 hari dari kematian suaminya. Maka nabi memberikan fatwa dengan habisnya iddah. [42]
  4. Muslim dan Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata: “keadaan thalaq pada masa rasulullah, Abu bakar dan dua tahun pada masa kekuasaan Umar, thalaq tiga itu adalah satu. Umar berkata: “ Sesungguhnya manusia telah tergesa-gesa dalam perkara yang di dalamnya terdapat keperlahanan. Seandainya hal itu kami biarkan berjalan atas mereka niscaya hal itu akan berjalan terus. Dan shahabat tidak sepakat atas hal itu bahkan diriwayatkan perselisihannya dari Ali dan Abu Musa. Umar melakukannya seolah-olah siksaan dan orang-orang yang menyelisihinya berpegang pada dzahir-dzahir nash.[43]
  5. Ibnu Mas’ud dan yang lain memberikan fatwa bahwa suami apabila ila’ terhadap istrinya telah lewat empat bulan dan tidak kembali maka istri itu telah lewat empat bulan dan tidak kembali. Maka istri itu telah terthalaq ba’in dan suaminya merupakan salah satu peminang. Dan orang lain berfatwa bahwa apabila masa empat bulan itu telah lewat maka suami itu diberi tangguh. Adakalanya akan kembali dan adakalanya akan menceraikan. Berlakunya empat bulan itu tidak menjadikan thalaq. [44]
  6. Ibnu Mas’ud berfatwa dan Umar bin Khattab menyetujuinya bahwa wanita yang dicerai keluar dari iddahnya kecuali apabila ia telah mandi dari haidlnya yang ketiga. Zaid bin Tsabit berfatwa, bahwa wanita itu keluar dari iddahnya kapan saja ia masuk dalam haidh yang ketiga. Tempat timbulnya perbedaan adalah perbedaan mereka dalam quru’, apakah quru’ itu berarti suci sebagaimana dipahamkan oleh Zaid bin Tsabit dan orang lain, apakah quru’ itu haidh sebagaimana dipahamkan oleh Ibnu Mas’ud.
  7. Umar bin Khattab berfatwa, bahwa apabila wanita itu masih berhaidh (namun tidak sedang haidh), dicerai, dan haidhnya hilang, maka wanita itu menanti sembilan bulan. Jika ternyata ia mengandung maka itulah iddahnya. Jika tidak, maka ia beriddah tiga bulan sesudah sembilan bulan itu. Orang lain berfatwa bahwa wanita itu menanti hingga tidak berhaidh lagi, maka wanita itu beriddah dengan beberapa bulan. Fatwa Umar itu meminjam kepada ma’na iddah yaitu benar-benar bersih dari hamil, dan setelah lewatnya masa yang umum hingga tidak ada keraguan lagi. Maka wanita itu beriddah dengan beberapa bulan.
  8. Umar bin Khattab berfatwa bahwa wanita yang cerai putus (thalaq bain) itu mendapat nafkah dan tempat  tinggal. Ketika sampai kepada Umar sebuah hadist dari Fathimah binti Qays bahwasanya rasulullah tidak memberi nafkah dan juga tempat tinggal setelah thalaq ba’in, maka Umar berkata, ”Sesungguhnya  kita tidak meninggalkan kitab Allah dan sunnah Nabi kita karena perkataan seorang perempuan yang baeangkali ia hafal atau lupa.” Dan orang lain berfatwa bahwa wanita yang berthalaq tiga tetapi tidak hamil, maka ia tidak mendapat nafkah karena berdasarkan hadist Fathimah binti Qays.[45]
  9. Abu Bakar tidak memberikan warisan kepada saudara-saudara bersama kakek. Adapun Umar memberikan bagian saudara-saudara bersama kakek. Abu Bakar menjadikan kakek sebagai ayah dan saudara tidak mewaris bersama ayah, berdasarkan nash dan Umar tidak menjadikannya demikian, dan Zaid bin tsabit sependapat dengan ini. [46]
  10. Malik meriwayatkan dalam Muwatha’ berkata seorang nenek datang kepada Abu Bakar minta bagian warisnya. Abu Bakar berkata: “Kami menurut kitabullah tidak mendapat bagian sedikitpun, dan begitu juga dalam sunnah Rasulullah SAW. Maka pulanglah kamu sehingga saya tanya kepada manusia.” Kemudian Abu bakar berkata kepada audiens, Al Mughiroh bin Syu’bah berkata : “Seorang wanita datang kepada Rasulullah dan beliau memberinya seperenam.” Abu Bakar berkata, ”Apakah ada orang lain bersamamu?” Maka Muhammad bin Maslamah berdiri dan berkata, “seperti itulah.” Maka Abu bakar melaksanakannya (meneruskannya) kepada nenek tersebut. Seorang nenek lain datang kepada Umar bin Khattab untuk meminta perihal warisannya. Maka Umar berkata, “Menurut kitabullah kamu tidak medapat sedikitpun.” [47]
  11. Malik meriwayatkan dalam Muwatha’ bahwa Dhaha’ bin  Khalifah membuat saluran air hingga sampai sungai kecil, ia berkehendak untuk melewati tanah Muhammad bin Maslamah, namun Muhammad bin Maslamah  enggan. Kenapakah kamu mencegahku sedangkan hal itu bermanfaat bagimu, kamu meminum darinya, baik pada permulaan dan akhirnya serta tiadk membahayakanmu? Ia tetap enggan, maka Ad-dhahak membicarakan kepada Umar bin Khattab, lalu umar bin Khattab memanggil Muhammad bin Maslamah, lantas menyuruhnya untuk melepaskan maksudnya, tetapi ia tetap enggan. Umar berkata, ”Kenapa kamu menolak saudaramu terhadap sesuatu yang bermanfaat baginya dan berguna bagimu, kamu minum dengannya pada awal dan akhir, lagipula tidak membahayaka kamu?” Muhammad bin Maslamah berkata, “Tidak demi Allah.” Umar berkata, ”Demi Allah agar ia lewat walaupun lewat diatas perutmu.” Maka Umar menyuruh Dhahak untuk menjalankan perahunya.
  12. Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa onta-onta yang tersesat pada zaman Umar r.a. dilepaskan dengan berkembang biak dan tidak disentuh oleh seorangpun hingga ketika masa Utsman bin Affan ia memerintahkan untuk mengetahuinya, memberitakannya kemudian onta itu dijual. Apabila pemiliknya datang maka ia diberi harganya. [48]

 

 

 

 

 

 

4. Keputusan-keputusan yang Ditetapkan pada Masa Khulafaur Rasyidin

a. masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq

Khalifah Abu Bakar  adalah seorang ahli hukum yang tinggi mutunya dan dikenal sebagai orang yang jujur dan disegani. Ia memerintah dari tahun 632 sampai 634 M. sebelum masuk islam, dia terkenal sebagai orang yang jujur dan disegani. Ikut aktif mengembangkan dan menyiarkan islam. Atas usaha dan seruannya banyak orang-orang terkemuka yang memeluk agama islam dan kemudian terkenal sebagai pahlawan-pahlawan islam yang ternama. Dan kerena hubungannya yang ssangat dekat dengan Nabi Muhammad, beliau mempunyai pengertian yang dalam tentang isalm dibanding yang lain. Karena itu pula pemilihannya sebagai khalifa pertama tepat sekali.

 

 

a. Tindakan-tindakan Penting yang Dilakukan Abu Bakar:

a.   Pidatonya pada waktu pelantikan yang berbunyi:

“Aku telah kalian pilih sebagai khalifah, kepala Negara. Tetapi aku bukanlah orang yang terbaik diantara kalian. Kerena itu, jika aku melakukan sesuatu yang benar, ikutilah, dan bantulah aku. Tetapi jika aku melakukan kesalahan, perbaikilah. Sebab menurut pendapatku, menyatakan yang benar adalah amanat, membohongi rakyat adalah pengkhianat.” Selanjutnya beliau berkata, “Ikutilah perintahku selama aku mengikuti perintah Allah dan Rasulnya. Kalian berhak untuk tidak patuh kepadaku dan akupun tidak akan menuntut kepatuhan kalian.”[49]

Kata-katanya itu sangat penting artinya dipandang dari sudut hukum ketatanegaraan dan pemikiran politik islam. Sebab, kata-katanya itu dapat dijadikan dasar dalam menentukan hubungan antara rakyat dengan penguasa, antara pemerintah dan warga negara.

b.  Cara yang dilakukan dalam memecahkan persoalan yang timbul di masyarakat. Mula-mula pemecahan masalah itu dicarinya dalam wahyu tuhan. Kalu dalam wakyu tuhan tidak ada, dicarinya dalam wahyu nabi. Kalau dalam sunnah nabi tidak diperoleh pemecahan masalah, Abu bakar bertanya kepada para sahabat nabi yang dikumpulkan dalam majelis. Mejelis ini melakukan ijtihad lalu timbullah konsesus bersama yang disebut ijma’ mengenai masalah tertentu.[50] Dalam masa abu bakar inilah apa yang disebut dalam kepustakaan sebagai ijma’ sahabat.

c.  Pembentukan panitia khusus yang bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat Alquran yang telah ditulis pada zaman nabi pada bahan-bahan darurat seperti pelepah-pelepah kurma, tulang-tulang unta, kemudian dihimpun dalam satu naskah. Panitia ini dipimpin oleh Zaid bin Tsabit, salah seorang sekretaris nabi Muhammad.[51] Sebelum diserahkan kepada Abu Bakar, himpunan naskah Alquran  itu diuji dahulu ketepatan pencatatannya dengan hafalan para penghafal Alquran yang selalu ada dari masa ke masa. Setelah Khalifah Abu Bakar meninggal dunia, naskah itu disimpan oleh Umar bin Khattab. Dan sesudah Khalifah Umar meninggal pula, naskah Alquran itu disimpan dan dipelihara oleh Hafshah, janda nabi Muhammad.

 

b. Masa Khalifah Umar bin Khattab

Setelah khalifah Abu bakar meninggal dunia, Umar bin Khattab menjadi khalifah tahun 13 H/634 M. Dalam masanya daerah islam berkembang dan meluas antara lain : Mesir, Iraq, Adjebijan, Parsi, Siria.[52] Umar telah mengusir orang-orang Yahudi dan Jazirah Arab. Dan Umarlah yang pertama kali menyusun adsministrasi pemerintahan, menetapkan peradilan dan perkantoran, serta kalender penanggalan.

Umar dkenal sebagai Imam Mujtahiddin. Pada masanya ida berijtihad antara lain tidak menghukum pencuri dengan potong tangan karena tidak ada illat untuk memotongnya. Pencuri itu merupakan pegawai dari majikannya yang kaya raya yang tidak memberikan gaji secara wajar. Maka umar menjalankan istislah, yang kemudian dinamai almaslahatul mursalah. Umat tidak memberikan zakat kepada almullafatu qulubuhum karena tidak ada illat untuk memberikannya, maqashid yang terdapat dalam ayat ma’qulun-nash itu tidak terdapat. Yang kemudian dianamai dengan al-ihtihsaan dll.  [53]

Selain itu yang perlu dicatat dari Umar adalah sikap tolerannya terhadap pemeluk agama lain. Hal itu terbukti ketika beliau hendak mendirikan masjid (yang sekarang terkenal dengan masjid Umar) di Jerussalem. Karena di tempat itu telah berdiri suatu tempat ibadah umat Kristen dan Yahudi, sebelum mendirikan masjid tersebut, Umar turun terlebih dahulu, memberitahukan maksudnya dan memohon kepada pemimpin agama golongan Kristen dan Yahudi di tempat itu. Padahal sebagai seorang khalifah atas seluruh daerah tersebut, Umar tidak wajib melakukan hal itu. Namun, ia melakukan hal tersebut karena sikapnya yang toleran terhadap pemeluk agama lain.

Karena usianya yang masih relatif muda dibandingkan dengan Abu Bakar, Umar lama memegang pemerintahan. Sikapnya keras dan sebagaimana biasanya orang yang mempunyai sikap keras, selalu berusaha bertindak adil melaksanakan hukum. Terkenal keberaniannya dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran berdasarkan keadaan nyata pada suatu saat tertentu. Ia mengikuti Abu Bakar dalam menemukan hukum. Namun demikian, Khalifah Umar terkenal keberanian dan kebijaksanaannya dalam menerapkan ketentuan hukum yang terdapat dalam Alquran untuk mengatasi sesuatu masalah yang timbul dalam masyarakat berdasarkan kemaslahatan atau kepentingan umum.

 

a. Tindakan-tindakan Khalifah Umar ;

a.  Turut aktif menyiarkan agama Islam sampai ke Palestina, Syiria, Irak, danPersiaserta ke Mesir.

b.  Menentukan tahun Hijriyah sebagai tahun islam yang terkenal berdasarkan peredaran bulan (qamariyah). Dibandingkan dengan tahun Masehi yang didasarkan pada peredaran matahari (syamsiyahh), tahun Huijriyah lebih pendek. Perbedaan pergeserannya 11 hari lebih dahulu dari tahun sebelumnya. Penetapan tahun hijriyah ini dilakukan pada tahun 638 M dengan bantuan para ahli hisab (hitung) pada waktu itu.

c.  Menetapkan kebiasaan shalat tarawih., yaitu salat sunnah malam yang dilakukan sesudah shalat isya’, selama bulan Ramadlan.[54]

 

Tindakan Umar dalam  bidang hukum,  ada beberapa contoh ijtihad Umar antara lain sebagai berikut :

a.  Talak tiga, yang diucapkan sekaligus di suatu tempat pada suatu ketika dianggap sebagai talak yang tidak mungkin rujuk (kembali) sebagai suami istri. Kecuali salah satu pihak (dalam hal ini bekas istri) kawin lebih dahulu dengan orang lain. Garis hukum ini ditentukan oleh Umar berdqsarkan kepentingan wanita, karena di zamannya banyak pria yang dengan mudah mnegucapkan talak tiga sekaligus kepada istrinya, untuk dapat bercerai dan kawin lagi dengan wanita lain. Tujuannya dalah untuk  melindungi kaum wanita dari penyalahgunaan hak talak yang berada di tangan pria. Tindakan ini dilakukan oleh Umar agar pria berhati-hati mempergunakan hak talak itu dan tidak mudah mengucapkan talak tiga sekaligus yang di zaman nabi dan Khalifah Abu Bakar dianggap (jatuh sebagai) talak satu.[55] Umar menetapkan garis hukum yang demikian untuk mendidik suami supaya tidak menyalahgunakan wewenang yang berada dalam tangannya.

b.  Pemberian hak zakat kepada mualaf (orang yang baru masuk islam) seperti yang ditetapkan dalam Alquran.[56] Dikarenakan ia perlu dilindungi karena masih lemah imannya dan (mungkin) terputus hubungan    dengan keluarganya. Pada zaman rasulullah, golongan ini memperoleh golongan zakat, tapi Umar menghentikan pemberian zakat kepada muallat berdasarkan pertimbangan, islam lebih kuat sehingga tidak perlu diberi keistimewaan.

c.  Menurut alquransuratAl-Maidah (5) ayat 38, disebutkan tentang hukuman potong tangan bagi pencuri. Pada masa pemerintahan Umar terjadi kelaparan dalam masyarakat di semenanjung Arabia. Dlam keadaan masyarakat ditimpa oleh bahaya kelaparan itu, ancaman hukuman pencuri yang disebut dalam alquran tidak dilaksanakan karena pertimbanagn keadaan darurat dari kemaksiatan (jiwa) masyarakat.

d.  Di dalam alquran suratAl Maidah Ayat 5 terdapat ketentuan yang memperbolehkan pria muslim menikahi wanita ahlulkitab (wanita yahudi dan Nasrani). Akan tetapi khalifah Umar melarang kawin campur antara lelaki islam dengan wanita yahudi atau nasrani demi melindungi kedudukan wanita islam dan keamanan Negara.[57]

 

            Sepintas lalu keputusan-keputusan (dalam kepustakaan terkenal dengan ijtihad) Umar itu seakan-akan bertentangan dengan ketentuan Alquran. Namun, kalau dikaji sifat hakikat ayat-ayat tersebut dalam kerangka tujuan hukum Islam keseluruhannya, ijtihad yang dilakukan Umar bin Khattab itu tidak bertentangan dengan maksud ayat-ayat hukum tersebut.Pokok-pokok pikiran mengenai peradilan; yang tercantum dalam suratnya kepada Abu Musa Al-Asyari.[58] Isinya antara lain ;

a.    Kewajiban seorang hakim adalah memutuskan suatu perkara;

b.  Hakim mempelajari dahulu  berkas perkara itu sebaik-baiknya.  Setelah jelas duduk perkaranya, keputusan hakim harus seadil-adilnya.

c.  keadilan harus diwujudkan dalam praktik, sebab kalau ia tidak diwujudkan, keadilan tidak ada artinya. Hakim harus menyamakan kedudukan kedua pihak yang bersengketa haruslah disamakan kedudukannya. Dengan demikian, orang yang kuat tidak akan dapat mengharapkan sesuatu dan yang lemah tidak akan sampai putus asa karena mendambakan keadilan hakim;

d.   Hakim harus berperan mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa

e.   Hakim tidak boleh menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

f.   Tidak ragu dalam mengambil keputusan dan tidak ragu mengubah keputusan tersebut jika ternyata keputusan tersebut salah;

g.  Bila hakim tidak mendapat ketentuan hukum suatu perkara dari Alquran dan sunnah, hekim menggunakan hukum qiyash.

h.  Memilih penyelesaian perkara yang lebih diridlai Allah dan lebih sesuai serta mendekati kebenaran.

 

c. Masa Pemerintahan Khalifah  Utsman bin Affan

Panitia pemilihan khalifah memilih Utsman menjadi khalifah ketiga menggantikan Umar bin khattab. Pemerintahan Utsman ini berlangsung dari tahun 644 sampai 655 M. Ketika dipilih, Utsman telah berusia 70 tahun. Ia seorang yang mempunyai kepribadian yang lemah. Kelemahan ini dipergunakan oleh  orang-orang di sekitarnya untuk mengejar keuntungan pribadi, kekayaan dan kemewahan. Hal ini  dimanfaatkan utamanya oleh keluarganya sendiri dan golongan Umayyah. Banyak pangkat-pangkat tinggi dan jabatan-jabatan penting dikuasai oleh familinya. Pelaksanaan pemerintahan seperti ini dalam bahas orang-orang sekarang disebut nepotisme(kecendrungan untuk mengutamakan atau menguntungkan sanak saudara/ keluarga sendiri). Timbullah klik system dalam pemerintahan.[59]

 

 

a. Tindakan-tindakan  Khalifah Utsman:

1.  Membentuk kembali panitia yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Zubair, Said bin Ash, dan Abdurrahman bin Harrits menjalin kembali naskah-naskah Alquran kedalam lima mushaf (kumpulan lembaran-lembaran yang ditulis, dan alquran itu sendiri juga disebut mushaf), kemudian dikirim ke ibukota provinsi (Makkah, Kairo, Damaskus, Bagdad). Naskah itu disimpan di masjid besarnya masing-masing seperti umat Indonesia menyimpan Alquran pusakanya di masjid Baiturrahim di komplek Istana Merdeka Jakarta. Satu naskah disimpan di Madinah untuk mengenang jasa Utsman. Hal itu terjadi pada tahun 30 H/ 650 M. Naskah mushaf Usmany adalah naskah yang dikirim pada masanya. Sebagai kenang-kenangan atas jasa-jasanya, Utsman disebut juga Al-imam.[60] Mushaf Usmany di salin dan diberi tanda-tanda bacaan di Mesir seperti yang kita liat sekarang ini.

Penelitian terhadap kitab-kitab suci agama di dunia sekarang menunjukkan bahwa diantara kitab-kitab suci yang ada, hanya Alquran yang tidak dapat dibuktikan telah pernah dipasulkan oleh tangan manusia. Ia tetap asli seperti waktu diturunkan dahulu, tanpa perubahan sedikitpun baik dalam surah maupun dalam ayat dan kalimat-kalimatnya.

 

b. Menyalin dan membuat alquran standar yang disebut dengan kodifikasi Alquran.[61] Standarisasi Alquran ini perlu diadakan. Karena, pada masa itu, wilayah Islam sangat luas dan didiami oleh berbagai suku bangsa dan dialek yang tidak sama. Karena itu, di kalangan pemeluk agama islam terjadi perbedaan ungkapandan ucapan tentang ayat-ayat alquran yang disebarkan melalui hafalan. Perbedaan cara mengungkapakan itu menimbulkan perbedaan arti.

c.  Meluaskan daerah pemerintahan sampai ke baros, Maroko, India dan Konstantinopel.[62]

 

4. Ali bin Abi Thalib

Setelah Utsman meninggal dunia, orang-orang terkemuka memilih Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah keempat. Ia memerintah dari tahun 656 sampai tahun 662 M. Sejak kecil ia diasuh dan didik oleh nabi Muhammad, oleh karena itu, hubungannya rapat sekali dengan nabi.  Ali adalah keponakan dan menantu Nabi SAW, setelah ia menikah dengan putri nabi, Fathimah Az-zahra. Ketika nabi Muhammas masih hidup, Ali sering ditunjuk oleh nabi menggantikan beliau menyelesaikan masalah-masalah penting. Nabi Muhammad sendiri pernah menyatakan bahwa hubungan nabi dengan Ali dapat dimisalkan seperti Nabi Musa dan Harun. Dan karena itu pula, orang berkata bahwa Ali telah mengambil suri teladan, ilmu pengetahuan, budi pekerti, dan kebersihan hati Nabi Muhammad Saw. Karena itu banyak orang yang berpendapat bahwa ia lebih berhak menjadi khalifah daripada yang lainnya. Yang berpendapat demikian terkenal dengan golongan syi’ah. Ali terkenal dengan kemahirannya sebagai qadli, sejak zaman Nabi.

Semasa pemerintahan Ali, tidak banyak yang diperbuat untuk mengembangkan hukum islam.[63] Hal ini dikarenakan keadaan Negara tidak stabil. Di sana sini timbul bibit-bibit perpecahan yang serius dalam tubuh umat islam yang bermuara pada perang saudara dan timbulnya kelompok-kelompok besar umat islam sekarang ini, antara lain :

  1. Kelompok Ahlussunnah waljamaah (suni), yaitu kelompok atau jamaah yang berpegang teguh pada sunnah nabi Muhammad;
  2. Kelompok syiah yaitu pengikut ali bin Abi Thalib.

Dasar perpecahan adalah perbedaan pendapat mengenai masalah politik, yakni siapa saja yang berhak menjadi khalifah, masalah pemahaman akidah, pelaksanaan ibadah, system hukum dan kekeluargaan.       Golongan syiah banyak terdapat di Lebanon, Irak, Pakistan, dan India. Bekas pengaruhnya terdapat di Indonesia, tepatnya di Tanjung Priok, di Pasar Koja.[64]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

C. PETA KONSEP

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

D. PENUTUP

Setelah nabi wafat, pengambilan keputusan dilaksanakan oleh sahabat, utamanya khulafaur rsyidin juga dengan sahabat-sahabat besar yang lain seperti Zaid bin Tsabit, Ibnu Masud dll. Pada masa khulafaur Rasyidin, terjadi berbagai permasalahan yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah. Sehingga, timbullah penafsiran nash-nash ayat dan terbukalah pintu istinbath terhadap masalah-masalah yang tidak ada nash yang jelas. Ketika  mengambilan keputusan, khulafaur rasyidin dan para shahabat tetap berpegang pada Alquran dan Sunnah namun jika penyelesainya tidak ditemukan dalam alquran dan sunna maka shahabat  melakukan ijtihad berupa  ijma’ dan qiyash. Hal ini dilakukan bila tidak ada penyelesaian tertulis dalam Alquran dan Sunnah.

Pengambilan keputusan pada masa khulafaur Rasyidin ini menjadi rujukan bagi ulama’-ulama’ mutaakhirin dan menjadi dasar pijakan bagi generasi setelahnya dalam mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah syari’at. Akan tetapi fatwa-fatwa yang muncul pada zaman khulafaurrasyidin tersebut amat terbatas. Dikarenakan sahabat lebih memilih untuk tidak membicarakan pengambilan keputusan jika tidak ada terjadi masalah.  Para sahabat juga tidak membukukan fatwa mereka sehingga menyulitkan generasi setelahnya untuk mendapatkan pendapat para sahabat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI. 2007. Al-Quran dan Terjemahnya. Cet VII,Bandung: Diponegoro.

 

Ash Shiddeay,Hasbi. 1994. Pengantar Hukum Islam. Cet IX,Yogyakarta: Bulan Bintang.

 

Bik, Hudhori. Tanpa Tahun. Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami.Surabaya: Al-Hidayah.

 

Bik,Hudhori. 1980. Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami. Terjemah Muhammad Zuhri. Cet IV,Semarang:Darul Hidayah.

 

 

Hanafi, Ahmad. 1970. Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam. Cet II, Bandung: Malja.

 

Mubarok, Jaih. 2000. Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam. Cet.II, Bandung: Remaja Rosdakarya.

 

Ramulya, Idris. 2004. Asas-asas Hukum Islam. Cet.I, Jakarta: Sinar Grafika.

 

Wahab, Abdul hallaf. 2005. Sejarah Hukum Islam. Cet I, Bandung: Maljah.

 

Zainuddin, Ali. 2006. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Cet.I, Jakarta: Sinar Grafika.

 

Zuhri, Muhammad. 1980. Tarikh Tasyri’ Al-Islam. Cet II, Semarang: Darul Ikhya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


[1] Muhammad Ali As-says, Sejarah Fiqih Islam, cet I (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003) hal 59.

[2] Ahmad Hanafi, Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam, Cet II (Bandung: Malja, 1970), hal 76.

[3] Muhammad Ali As-says, Sejarah ……., hal 169.

[4] Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Cet X (Bandung: Diponegoro, 2007) hal 6.

[5] Teungku Muhammad Hasbi As-shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, cet II (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1999), hal 43.

[6] Abdul hallaf Wahab, Sejarah Hukum Islam, Cet I, (Bandung: Maljah. 2005) hal 45.

[7] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, cet 2, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal 41.

[8] . Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam,……., hal 37

[9] Muhammad Ali As-says, Sejarah……., hal 58.

[10] Muhammad Ali As-says, Sejarah ……. hal 59.

[11] Muhammad Ali As-says, Sejarah…….hal 60.

[12] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan ……., hal 41.

[13] Muhammad Ali As-says, Sejarah ……., hal 61.

[14] Abdul Hallaf Wahab, Sejarah hukum……., hal 51.

[15] . Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan…….  h.37.

[16] Zainudin Ali, Hukum……., h 69.

[17] Muhammad Ali As-Says. Sejarah Fiqih……. h 60.

[18] Zainudin, Ali, Hukum……..h 68.

[19] Abdul Hallaf Wahab, Sejarah Hukum……., hal 56.

[20] Ali Zainuddin, Hukum Islam : Pengantar……., hal 34.

[21] Abdul Hallaf Wahab, Sejarah Hukum……., hal 57.

[22] Ali Zainuddin, Hukum Islam : Pengantar ……., hal 35.

[23] Muhammad Ali As-Says, Sejarah Fikih……., hal 60.

[24] Muhammad Ali As-Says, Sejarah Fikih……., hal 61.

[25] Teungku Muhammad Hasbi As-shiddieqy, Pengantar Ilmu……., h. 43.

[26] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah……., hal 67.

[27] Muhammad Ali  Daud, Hukum Islam, Cet I,(Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2005), hal 121.

[28] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan……., h 37.

[29] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan……., h. 41.

[30] Departemen Agama RI, Alquran dan ……., hal 36.

[31] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan ……., hal 42.

[32] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan……., hal 43.

[33] Departemen Agama RI, Alquran dan ……., hal 37.

[34] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan ……., hal 44.

[35] Departemen Agama RI, Alquran dan ……., hal 558.

[36] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan ……., hal 43.

[37] Teungku Muhammad Hasbi As-shiddieqy, Pengantar Ilmu ……., hal. 49.

[38] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan ……., h.44.

[39] Hudhori Bik, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami. Terjemah Muhammad Zuhri, Cet IV,Semarang:Darul Hidayah, 1980), hal 267.

[40] Hudhori Bik, Tarikh……., hal 268

[41] Hudhori Bik, Tarikh……., hal 269

[42] Hudhori Bik, Tarikh……., hal 270

[43] Hudhori Bik, Tarikh……., hal 271

[44] Hudhori Bik, Tarikh……., hal 271

[45] Hudhori Bik, Tarikh……., hal 272

[46] Hudhori Bik, Tarikh……., hal 273

[47] Hudhori Bik, Tarikh……., hal 268

[48] Hudhori Bik, Tarikh……., hal 268

[49] Idris Romulya, Asas-asas ……., hal 123.

[50] Idris Romulya, Asas-asas ……., hal 124

[51] Idris Romulya, Asas-asas……., hal 123.

[52] Idris Romulya, Asas-asas ……., hal 125.

[53] Idris Romulya, Asas-asas ……., hal 125.

[54] . Idris Ramulyo,Asas-asas……., hal 125.

[55] Idris Romulya, Asas-asas ……., hal 126.

[56] Idris Romulya, Asas-asas ……., hal 126.

[57]  Idris Ramulyo,Asas-asas……., hal 124

[58] Idris Romulya, Asas-asas ……., hal 127

[59] Idris Romulya, Asas-asas……., hal 127

[60] Idris Romulya, Asas-asas ……., hal 128

[61]  Idris Romulya, Asas-asas ……., hal 128.

[62] . Idris Ramulyo,Asas-asas……., hal 129.

[63] Idris Romulya, Asas-asas ……., hal 130.

[64]  Idris Romulyu, Asas-asas……., hal 130

Asal Usul Pendidikan Dalam Perspektif Teori Sosiologi

A.    Pendahuluan

1.      Latar Belakang

Alhamduliallahirobbil’aalamin, segala pujian dan kesempurnaan milik Allah SWT, yang telah mengajarkan ilmu dengan pena-Nya hingga kita dapat mengetahui apa yang tidak kita ketahui, dan atas petunjuk dan ridho-Nya makalah yang berjudul “Asal Usul Pendidikan Dalam Perspektif Teori Sosiologi ” ini dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini dibuat oleh Laily Nur Arifa (08110044) dan Devi Kurniawati (08110136) dari kelompok V dalam rangka memenuhi tugas matakuliah Sosiologi Pendidikan Islam yang dibimbing oleh Dr. H. Zulfi Mubaraq, M. Ag, serta berkat bimbingan dan kesabaran Beliaulah makalah ini bisa kami selesaikan dengan baik. Pastinya kami berusaha semampu kami delam menyelesaikan makalah ini sesuai dengan arahan yang diberikan bapak Dr. H. Zulfi Mubaraq, M. Ag, sehingga makalah ini bisa dikonsumsi oleh akademisi yang berada pada kelas G Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Maulana Malik Ibrahim Malang pada tangal 29 bulan Maret tahun 2011.

Pentingnya pembahasan tema ini adalah dalam rangka memberikan informasi tentang asal usul pendidikan dalam perspektif sosiologi. Pertama, bagi penulis, pembahasan ini dapat memberikan tambahan wawasan terhadap bidang sosiologi pendidikan. Kedua bagi fakultas dan universitas, pembahasan ini diharapkan dapat menjadi tambahan pustaka bagi dosen dan mahasiswa fakultas tarbiyah. Ketiga bagi khalayak umum, pembahasan ini diharap dapat memberikan sumbangsih bagi dunia pendidikan.

Secara umum dalam makalah ini terdapat beberapa pembahasan yang berhubungan dengan asal usul pendidikan dalam perspektif teori sosiologi. Diantara pembahasan yang ada di makalah ini adalah hakikat manusia dalam pendidikan, teori-teori pendidikan, dan pendidikan dalam perspektif teori sosiologi.

  1. 2.      Tujuan Pembahasan
    1. Ingin memahami hakikat manusia dalam perspektif pendidikan
    2. Ingin memahami teori-teori tentang pendidikan
    3. Ingin memahami asal-usul pendidikan dalam perspektif sosiologi
    4. Ingin memahami pendidikan dalam perspektif teori sosiologi

 

  1. 3.      Rumusan Masalah
    1. Bagaimana hakikat manusia dalam perspektif pendidikan?
    2. Bagaimana teori-teori tentang pendidikan?
    3. Bagaimana asal-usul pendidikan dalam perspektif sosiologi?
    4. Bagaimana pendidikan dalam perspektif teori sosiologi?
  1. B.     POKOK PEMBAHASAN
  2. 1.      Hakikat Manusia dalam Perspektif Pendidikan

Manusia adalah makhluk yang harus hidup bermasyarakat untuk kelangsungan hidupnya, baik yang menyangkut pengembangan pikiran, perasaan dan tindakannya serta agar dapat mengembangkan sifat-sifat kemanusiaan dalam lingkungan manusia. Interaksi antar manusia tumbuh sebagai suatu keharusan oleh karena kondisi kemanusiaannya seperti; kebutuhan biologis dan psikologis. Kondisi manusia tersebut menuntut adanya kerjasama dengan manusia lain. Kodrat manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosial, menyebabkan timbulnya bentuk-bentuk organisasi sosial yang berdiri atas landasan simbiotik-sinergistik, saling memberi manfaat atas dasar tingkah laku fisik, bersifat otomatis dan merupakan komunikasi sosial.[1]

Istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani yaitu paedagogiek yang asal katanya pais berarti anak, gogos artinya membimbing atau tuntutan, dan iek artinya ilmu. Jadi secara etimologi, paedagogiek adalah ilmu yang membicarakan cara memberi bimbingan kepada anak. Dalam arti khusus, Langeveld mengemukakan bahwa pendidikan adalah bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaan. Dalam arti luas pendidikan merupakan usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya yang berlangsung sepanjang hayat.[2]

Pendidikan pada dasarnya adalah suatu sistem dan cara meningkatkan kualitas hidup dalam segala bidang, sehingga dalam perjalanan sejarah hidup manusia dimuka bumi ini, hampir tidak ada kelompok manusia yang menggunakan pendidikan sebagai alat meningkatkan kualitas sekalipun dalam kelompok primitif.[3]

Manusia adalah makhluk yang paling sempurna diantara mahkluk yang lain ciftaan allah SWT.salah satu kelebihan yang di miliki oleh manusia ialah manusia diberi akal pikiran dan nafsu yang tidak dimiliki oleh malaikat, jin dan binatang. Dengan akal inilah diharapkan manusia bisa menggelola bumi ini dengan baik, untuk melakukan tugas yang berat tersebut maka manusia membutuhkan ilmu pengetahuan. Hal inilah yang menyebabkan manusia menjadi objek pendidikan,atau mahluk yang membutuhkan pendidikan sebagai mana yang terdapat dalam Alquran[4]:

zN¯=tæur tPyŠ#uä uä!$oÿôœF{$# $yg¯=ä. §NèO öNåkyÎztä ’n?tã Ïps3Í´¯»n=yJø9$# tA$s)sù ’ÎTqä«Î6/Rr& Ïä!$yJó™r’Î/ ÏäIwàs¯»yd bÎ) öNçFZä. tûüÏ%ω»|¹ ÇÌÊÈ (#qä9$s% y7oY»ysö6ߙ Ÿw zNù=Ïæ !$uZs9 žwÎ) $tB !$oYtFôJ¯=tã ( y7¨RÎ) |MRr& ãLìÎ=yèø9$# ÞOŠÅ3ptø:$# ÇÌËÈ

            Dan ingatlah ketika allah berfirman kepada malaikat “aku hendak menjadi kan kholifah di bumi “mereka berkata apakah engkau hendak menjadikan orang orang perusak dan menumpahkan darah di muka bumi,sedangkan kami selalu bertasbih memuji engkau”dia berfirman  “sungguh aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui . Dan dia mengajarkan nama –nama benda, kemudian dia perlihat kan kepada para malaikat “kata kan lah jika kamu orang  yang benar.(Al-Baqorah ayat 31-32 )[5]

Dari ayat tersebut kita memperoleh  pengertian bahwa manusia adalah  mahluk yang bisa dididik dan diajar. Untuk meningkatkan kualitas hidup, manusia memerlukan pendidikan, baik pendidikan yang formal, informal maupun nonformal. Pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan manusia yang sekaligus membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Hewan juga belajar, tetapi lebih ditentukan oleh instingnya, sedangkan manusia belajar berarti merupakan rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna menuju kehidupan yang lebih berarti.[6]

كلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَاَبَوَاهُ يُهَوِدَانِهِ اَوْ يُنَصِّرَانِهِ اَوْ يُمَجِّسَانهِ

Artinya: “Setiap anak yang dilahirkan ke dunia itu dalam keadaan suci. Hanya kedua orang tuanyalah yang membuat anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi”. (HR.Bukhari Muslim).

Dari hadist atas dapat dipahami bahwa manusia di lahirkan ke dunia ini pertama kalinya tidak mengetahui apa-apa. Teori Behaviorisme dalam psikologi beranggapan bahwa manusia bukan baik dan bukan juga jahat semenjak lahir. Dia adalah tabula rasa, putih seperti kertas .maka pendidikanlah yang memegang peranan membentuk pribadinya.[7]

Manusia terdiri dari unsur biologis dan psikologis, maka sudah barang tentu pendidikan harus berpijak pada pertimbangan tersebut sehingga pada akhirnya didapat hasil yang optimal. Dengan potensi yang dimilikinya, Allah menempatkan manusia pada posisi yang mulia, tetapi dengan hal yang sama manusia juga dapat menjadi lebih rendah dari binatang. Dari itu sudah seyogyanya pendidikan haruslah mampu mengarahkan dan mengoptimalkan potensi tersebut kearah yang posotif dan meminimalisasi perkembangan negativitas perilaku sebagai efek dari perkembangan manusia yang salah.[8]

Dari potensi-potensi dasar tersebut juga menunjukkan pada kita akan pentingnya pendidikan untuk mengembangkan dan mengolah sampai di mana titik optimal itu dapat capai. Apalagi kita saksikan kondisi manusia pada waktu dilahirkan di dunia ini, mereka dalam keadaan yang sangat lemah, yang secara tidak langsung membutuhkan pertolongan dari kedua orangtuanya.[9]

Dengan demikian, pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan kepribadian manusia. Potensi jasmaniah dan rohaniah tidak secara otomatis tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, tetapi membutuhkan adanya bimbingan, arahan, dan pendidikan. [10]

Immanuel Kant menyatakan bahwa “Manusia akan menjadi manusia karena pendidikan“. Pendapat serupa dikatakan oleh John Dewey, menurutnya pendidikan adalah salah satu kebutuhan hidup (a necessity of life), salah satu fungsi sosial (a sosial fuction), sebagai pengarah (as direction), dan sebagai alat yang mengantarkan manusia menjadi bertanggungjawab dalam hidupnya. Pernyataan ini telah menempatkan pendidikan pada posisi penting dalam kehidupan manusia, sekaligus memposisikan manusia sebagai obyek pendidikan. Pendidikan dipandang sebagai suatu proses untuk mengantarkan manusia menjadi “manusia“ yang sesungguhnya (khalifah fil- ardh).[11]

 

  1. 2.      Teori-teori  tentang  Pendidikan

Beberapa teori tentang pendidikan antara lain

  1. a.      Empirisme

Empirisme berasal dari kata empiri yang berarti pengalaman, teori ini dipelopori oleh Jhon Lock (1632-1704) dengan teori Tabularasa. Teori ini berpendapat bahwa manusia dilahirkan dengan jiwa yang kosong. Teori ini mengajarkan bahwa perkembangan pribadi ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan, terutama pendidikan. Bagi John Lock, faktor pengalaman yang berasal dari lingkungan itulah yang menentukan pribadi seseorang.[12]

Teori ini menyatakan bahwa perkembangan potensi dasar anak tergantung pada lingkungannya, sedangkan pembawaan tidak dianggap penting. Manusia dilahirkan tanpa potensi dasar apapun sehingga jiwanya diibaratkan seperti meja lilin atau kertas putih yang bersih tanpa noda. Pendidikanlah yang sangat berperan dalam membentuk dan mewarnai jiwa manusia. Apabila manusia dalam pertumbuhan dan perkembangannya menerima pendidikan yang baik, maka ia akan tumbuh menjadi manusia yang bermutu. Sebaliknya, apabila dalam pertumbuhannya ia menerima pendidikan-pendidikan yang buruk, maka ia akan tumbuh menjadi manusia yang buruk.[13]

Paham ini mengandaikan bahwa pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia ditentukan sepenuhnya oleh faktor-faktor pengalaman yang berada diluar diri manusia, baik yang sengaja didesain melalui pendidikan formal maupun pengalaman-pengalaman yang tidak disengaja yang diterima melalui pendidikan formal maupun pengalaman-pengalaman yang tidak disengaja yang diterima melalui pendidikan informal, non formal, dan alam sekitar. Paham ini berpendapat bahwa pendidikanlah yang menentukan masa depan manusia, sedangkan faktor-faktor yang berasal dari dalam, seperti bakat dan keturunan, tidak mempunyai pengaruh sama sekali dalam menentukan masa depan manusia.[14]

Teori ini di kembangkan dari pernyataan John Locke (1704-1932) bahwa seorang anak lahir di dunia bagaikan kertas putih yang bersih. Implikasinya, lingkungan yang dalam  hal ini bisa berbentuk keluarga, sekolah atau masyarakat akan menentukan pola-pola mengenai cara pandang tertentu yang di transfer  melalui pendidikan. Dengan demikian pendidikan akan berperan menentukan pilihan-pilihan hidup yang dijalaninya. Untuk itu Ngalim Purwanto menyebutnya optimisme pedagogis, yakni pendidikan berpeluang untuk mengembangkan kedirian manusia. Paham Empirisme berkembang luas di dunia Barat terutama di Amerika Serikat. Dalam perkembangannya, paham ini menjelma dalam aliran Behaviorisme, yang dipelopori oleh William James dan Large. Dan banyak pula pengaruh terhadap pandangan tokoh pendidikan barat lainnya seperti Watson, Skiner, Jhon Dewey dan sebagainya. [15]

b.  Nativisme

Nativisme berasal dari kata natives yang artinya pembawaan. Pengertian nativisme dalam kamus paedagogik diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kebakatan. Aliran ini menyatakan bahwa, perkembangan manusia ditentukan oleh sifat-sifat bawaan sejak lahir. Untuk kali pertama, aliran ini dikembangkan oleh Schopenhaeuer, seorang filosof berkebangsaan Jerman. Ia beranggapan yang jahat tidak akan berubah menjadi baik karena pendidikan, paling tinggi hanya berhati-hati. Begitu pula sebaliknya, yang baik tidak akan berubah menjadi buruk karena teladan yang negatif. Jadi, baik dan buruknya manusia menjadi bawaan sejak lahir, taken for granted. Nativisme dipelopori oleh Arthur Schopenheur berkebangsaan Jerman (1768-1880).[16]

Schopenhaur menyatakan bayi lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Dengan demikian, keberhasilan disebabkan oleh adanya kemampuan yang berasal dari dalam diri sendiri yang berupa kecerdasan atau kemauan keras dalam mengembangkan bakat atau kemampuan yang ada dalam dirinya.[17] Implikasinya, faktor eksternal diri manusia yang meliputi lingkungan keluarga, sekolah atau masyarakat tidak akan memiliki peran menentukan dalam membentuk karakter manusia. Dengan demukian, proses transmisi pengetahuan (pendidikan) tidak terjadi antara manusia dengan lingkungannya. Sebab manusia hanya akan sebatas menunggu potensi-potensinya menjadi kenyataan dalam menjalani kehidupan. Ngalim Purwanto      menyebut aliran ini sebagai pesimisme pedagogis, yakni pendidikan tidak berpeluang untuk mengembangkan kedirian manusia. [18]

c.  Naturalisme

Teori ini di kembangkan oleh JJ.Rosseau (1712-1778) yang menyatakan bahwa semua anak yang baru dilahirkan mempunyai pembawaan baik. Pembawaan baik anak akan menjadi rusak karena di pengaruhi lingkungan. Pandangan ini menekankan bahwa perkembangan potensi anak harus secara alami, artinya tanpa ada rekayasa dan rekadaya dari luar dalam perkembangan potensi anak. Karena itu pendidikan harus  memberikan kebebasan secara alami kepada anak didik dalam menentukan perkembangan dirinya, sehingga anak tetap berada dalam pembawaannya.[19] Pada dasarnya, aliran ini sejalan dengan empirisme  dalam hal bahwa pendidikan memiliki peran penting pada diri manusia. Hanya saja perbedaannya terletak pada anggapan bahwa manusia itu berpotensi baik, dan ketika aktualisasinya buruk maka itu tidak lebih karena disebabkan oleh faktor pengaruh lingkungan (pendidikan). [20]

Oleh karena itu, manusia tidak perlu dididik oleh orang lain, akan tetapi harus dibiarkan dididik oleh kemampuan alamiahnya sendiri melalui proses pendidikan secara alamiah yang bebas dan merdeka sesuai dengan hukum alam. Campur tangan pendidikan dalam diri manusia, menurut paham ini, sebagaimana dikemukakan John Holt (1964) hanyalah sebuah upaya menghancurkan manusia. Manusia dihancurkan oleh suatu proses yang salah, yaitu proses pendidikan yang berlangsung terus menerus dirumah-rumah dan di sekolah-sekolah. Paham ini mengetengahkan tiga prinsip dasar dalam proses belajar mengajar.[21]

d.  Konvergensi

Teori ini di kembangkan oleh William Stern (1871-1739) yang menyatakan bahwa anak dilahirkan di dunia sudah di sertai pembawaan baik maupun buruk, dan dalam proses perkembangannya faktor pembawaan dan faktor lingkungan sama-sama mempunyai peran yang sangat penting.[22] Dengan kata lain, ketika pendidikan yang baik telah diperoleh seseorang dan efektif, maka ini berarti antara faktor internal dan eksternal saling memperkuat satu sama lain. Dan sebaliknya, ketika pendidikan yang baik telah diperoleh seseorang dan ternyata tidak efektif maka nampaknya pembawaan buruk lebih dominan. Namun demikian bukan pendidikan yang menjadi datu-satunya penyebab rusaknya potensi baik seperti yang dinyatakan aliran naturalisme.[23]

Menurut faham konvergensi tersebut, faktor pembawaan sejak lahir saja tidak dapat berkembang seoptimal mungkin tanpa dipengaruhi oleh faktor lingkungan sekitar yang sepadan. Sebaliknya, faktor lingkungan yang baik tidak akan dapat menghasilkan perkembangan anak yang maksimal, jika faktor dasar yang sesuai tidak terdapat dalam diri anak Jadi, teori konvergensi menyatakan bahwa perkembangan anak merupakan hasil proses kerjasama antara faktor bakat atau bawaan dan faktor lingkungan (termasuk pendidikan).[24]

3.Asal-Usul Pendidikan dalam Perspektif Sosiologi

Dilihat dari kerangka keilmuan, sosiologi memiliki sudut pandang, dan metode serta susunan yang tertentu. Secara tegas dapat dinyatakan bahwa obyek telaah sosiologi adalah manusia dalam kelompok, dengan memandang hakekat masyarakat, kebudayaan dan individu secara ilmiah.[25] Sosiologi pendidikan secara khusus dapat diartikan sebagai sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental yang memusatkan perhatian pada penyelidikan daerah yang saling dilingkupi antara sosiologi dengan ilmu pendidikan.[26]

Salah satu tokoh penting dalam khazanah perkembangan sosiologi pendidikan adalah Durkheim (1858-1917), terutama pandangannya terhadap pendidikan sebagai suatu sosial thing (ikhtisar sosial). Atas dasar pandangan ini, beliau mengatakan bahwa pendidikan itu bukanlah hanya satu bentuk, baik dalam artian ideal maupun aktualnya, tetapi bermacam-macam. Pendidikan merupakan alat untuk mengembangkan kesadaran diri dan kesadaran sosial menjadi suatu panduan yang stabil, disiplin, utuh dan bermakna. Sehingga dalam konteks antisipasi terhadap arus deras tranformasi, yang berkembang dalam perkembangan masyarakat modern, beliau menegaskan bahwa pendidikan harus melakukan perubahan dan penyesuaian. Untuk itu, para pelaku pendidikan harus memandang penting pendekatan sosiologis.[27]

Beberapa ahli sosiologi terdahulu berpendapat bahwa pendidikan sebagai proses perbaikan yang memiliki fungsi utama dalam memperbaiki masyarakat. Lester F. Ward mengatakan bahwa pendidikan adalah alat untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Sekolah harus berhasil dalam mengajar siswanya, sehingga melalui pengetahuan yang diperolehnya dapat meningkatkan budaya ke arah yang lebih tinggi dan memungkinkan.[28]

John Dewey mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan proses masyarakat dan banyak terdapat macam masyarakat, maka suatu kriteria untuk kritik dan pembangunan pendidikan mengandung cita-cita utama dan istimewa. Masyarakat yang demikian harus memiliki semacam pendidikan yang memberikan interes perorangan kepada individu dalam hubungan kemasyarakatan dan mempunyai pemikiran yang menjamin perubahan-perubahan sosial.[29]

Pendidikan, menurut Dewey, adalah hidup itu sendiri. Disini pertumbuhannya terus bertambah. Setiap pencapaian perkembangan menjadi batu loncatan bagi perkembangan selanjutnya. Oleh karena itu, proses pendidikan merupakan salah satu bentuk penyesuain diri yang terus menerus berlangsung. Dalam proses tersebut berlangsung proses psikologis (perubahan tingkah laku yang tertuju pada tingkah laku yang canggih, terencana dan bertujuan) dalam proses sosiologis (perubahan adat istiadat ,sikap kebiasaan dan lembaga) yang tidak terpisahkan. Pandangan John Dewey bahwa pendidikan harus tertuju pada efesiensi sosial,atau kemanfaatan pada kehidupan sosial; dan belajar berbuat atau belajar melalui pengalaman langsung yang lebih dikenal dengan sebutan learning by doing.[30]

Ibnu Khaldun memandang ilmu dan pendidikan sebagai satu aktifitas yang semata–mata bersifat pemikiran dan perenungan serta jauh dari aspek pragmatis dalam kehidupan. Ia memandang ilmu dan pendidikan sebagai suatu gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya didalam tahapan kebudayaan, akal mendorong manusia untuk memiliki pengetahuan yang penting baginya di dalam kehidupannya yang sederhana pada periode pertama pembentukan masyarakat, lalu lahirlah ilmu pengetahuan sejalan dengan perkembangan masa kemudian lahir pula pendidikan sebagai akibat adanya kesenangan manusia dalam memahami dan mendalami pegetahuan.[31]

Jadi ilmu dan pengetahuan adalah dua anak yang lahir dari kehidupan yang berkebudayaan dan berguna untuk kelestarian alam. Oleh karena itu pendidikan menurutnya disandarkan pada pengalaman dan pengamatan sehingga hasil dari pendidikan adalah kemandirian dan keberanian dalam menghadapi kenyataan. Pandangannnya mengenai pendidikan dan pengajaran didasarkan filsafatnya yang realistis pragmatis yang disarikan dari filsafat sosialnya ia menjadikan pengajaran sebagai profesi untuk mencari rizki. [32]

 

4. Pendidikan dalam Perspektif Teori Sosiologi

a. Pengertian Teori

Pengertian Teori dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah 1 pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa (kejadian dsb); 2 asas dan hukum umum yang menjadi dasar suatu kesenian/ilmu pengetahuan.[33] Jika kita melihat dalam kamus ilmiah maka teori diartiakan perangkat dari proposisi- proposisi yang mempunyai korelasi yang telah terbukti dan teruji kebenarannya, asa dan hukum yang menjadi dasar kesenian dan ilmu pengetahuan.[34] Sedangkan dalam kamus popular teori berarti dalil ilmu pasti, ajaran atau faham pandangan tentang sesuatu berdasarkan kekuatan atau akal (rasio), patokan dasar sains dan ilmu pengetahuan. pedoman praktik.[35]

 

b. Teori-teori Sosiologi tentang Pendidikan

1) Teori Interaksi

Teori ini memandang bahwa sosiologi mempunyai perhatian pada individu dengan individu lainnya. Setiap individu memberikan sumbangan budaya dalam usaha menjabarkan dan menetapkan lembaga-lembaga sosial dalam cara-cara yang sama akibat dari kesamaan sosialisasi pengalaman dan harapan.[36] Lebih jauh, bahwa teori ini menekankan pada pemahaman pandangan pikiran sehat terhadap realitias, bagaimana kita memandang peristiwa dan situasi di sekitar kita dan mereaksinya sebagaimana kita perbuat. Aplikasinya pada pendidikan diwujudkan dalam bentuk kajian proses interaksi di dalam kelas, pengelolaan dan penggunaan pengetahuan, pertanyaan tentang apakah hal itu di ajarkan, materi kurikulum, dan hal lainnya.[37]

Selanjutnya Payne menjelaskan bahwa: ‘’The sosial interdepences include not nurely those in which the individual gains and organizes his experiences as a child, but also those sosial groups and processes in which the must function in adult life. These sosial relationships are for theremore regarded particulary inrelation to the educational system in its evolution and changing finction’’ Jadi bukan saja pada anak-anak tetapi juga pada orang-orang dewasa, kelompok-kelompok sosial, bahkan pada proses sosial pun, bahwa interaksi sosial itu yang membentuk tingkah laku manusia, secara tertentu dianggap sebagai sistem pendidikan yang berkembang terus. Artinya setiap kali didapati kondisi dan situasi baru, haruslah ada interaksi sosial yang baru dan seolah-olah individu-individu itu belajar berinteraksi sosial. Inilah yang merupakan prinsip pedagogisnya.[38]

Sebagai makluk sosial, manusia dalam kehidupannya membutuhkan hubungan dengan manusia yang lain. Hubungan tersebut terjadi karena manusia mengajarkan manusia yang lain, ketika sesuatu yang akan dilakukan tidak dapat dilakukan seorang diri. Kecenderungan manusia untuk berhubungan melahirkan komunikasi dua arah melalui bahasa yang mengandung tindakan dan perbuatan. Karena ada aksi dan reaksi, maka interaksi pun terjadi. Karena itu, interaksi akan berlangsung bila ada hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih.[39]

Interaksi antara manusia satu dengan lainnya selalu mempunyai motif tertentu guna memenuhi tuntutan hidup dan kehidupan mereka masing-masing. Interaksi yang berlangsung di sekitar kehidupan manusia dapat bernilai edukatif apabila interaksi yang dilakukan dengan sadar meletakkan tujuan untuk mengubah tingkah laku dan perbuatan seseorang. Interaksi yang bernilai pendidikan ini dalam dunia pendidikan disebut sebagai interaksi edukatif. Dengan konsep di atas, memunculkan istilah guru di satu pihak dan anak didik di lain pihak. Keduanya berada dalam interaksi edukatif dengan posisi, tugas dan tanggung jawab yang berbeda, namun bersama-sama mencapai tujuan. [40]

Oemar Hamalik mendefinisikan pengajaran adalah sebagai interaksi belajar mengajar yang berlangsung sebagai suatu proses saling mempengaruhu antara guru dengan siswa. keduanya terdapat hubungan atau komunikasi interaksi guru mengajar disatu pihak yang lain dan siswa belajar dilain pihak. Dimana keduanya menunjukan aktifitas yang seimbang, hanya berbeda peranannya[41]

Interaksi edukatif harus menggambarkan hubungan aktif dua arah dengan sejumlah pengetahuan sebagai mediumnya, sehingga interaksi itu merupakan hubungan yang bermakna dan kreatif. Semua unsur interaksi edukatif harus berproses dalam ikatan tujuan pendidikan. Karena itu, interaksi edukatif adalah suatu gambaran hubungan aktif dua arah antara guru dan anak didik yang berlangsung dalam ikatan tujuan pendidikan. [42]     Bentuk umum proses-proses sosial adalah interaksi sosial (yang juga dapat di namakan proses sosial), oleh karena interkasi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Bentuk lain dari proses-proses sosial hanya merupakan bentuk-bentuk khusus dari interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Apabila ada dua orang bertemu, interaksi sosial di mulai. Pada saat itu mereka saling menegur, berjabat tangan, saling bebicara atau mungkin saling berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk-bentuk interaksi sosial.[43]

Contoh :

Metode Cooperative Learning adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih. Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran. [44]

Ada dua macam proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial, yaitu (1) Proses yang asosiatif yang terbagi ke dalam tiga bentuk khusus lagi yakni; (a) akomodasi dan (b) asimilasi dan akulturasi, serta (2) proses yang disasosiatif yang mencangkup (a) persaingan (b) pertentangan atau pertikaian. Proses-proses interaksi yang pokok adalah; (a) kerjasama, (b) akomodasi, dan (c) asimilasi[45]

Secara khusus Vygotsky mengemukakan bahwa disamping guru, teman sebaya juga berpengaruh penting pada perkembangan kognitif anak.berlawanan dengan pembelajaran lewat penemuan individu (individual discovery learning), kerja kelompok secara koperatif (cooperative groupwork) tampaknya mempercepat perkembangan anak.[46]

2) Sosialisasi sebagai Proses Belajar

Seorang bayi lahir ke dunia sebagai suatu organisme kecil yang egois yang penuh dengan segala macam kebutuhan fisik. Kemudian ia menjadi seorang manusia dengan seperangkat sikap nilai dan tujuan, Kesukaan dan ketidaksukaan, pola reaksi, konsep yang mendalam, serta konsisten terhadap dirinya. Setiap orang memperoleh semua itu melalui proses yang kita sebut sosialisasi, yakni proses belajar yang mengubahnya dari seekor binatang menjadi seorang pribadi dengan kepribadian yang manusiawi. Lebih tepatnya, sosialisasi adalah suatu proses dimana seorang menginternalisasi norma-norma kelompok dimana dia hidup sehingga timbullah diri yang unik.[47]

Berger mendefinisikan sosialisasi sebagai “a process by which a child learns to be a participant member of society” yakni proses melalui mana seorang anak belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat.[48] Mead menyatakan bahwa manusia yang baru lahir belum mempunyai diri. Diri manusia berkembang secara bertahap melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain.[49]

Dewey memandang pendidikan dari segi proses, dimana pendidikan diartikan sebagai tuntutan terhadap proses pertumbuhan dan proses sosialisasi dari anak. Disamping proses pertumbuhan dari anak mengembangkan diri ke tingkat yang makin lama makin sempurna. sedangkan proses sosialisasi adalah proses untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat yang penuh dengan problem-problem dan yang senantiasa berubah atau berkembang secara dinamis.[50]

Contoh :

Cooley mengungkapkan sebuah kasus yang mengisahkan Anna yang semenjak bayi dikurung ibunya dalam gudang selama lima tahun dan juga seorang anak perempuan yang tidak terungkap namanya yang disekap ayahnya di gudang semenjak usia satu setengah tahun hingga tiga belas tahun. Anak-anak yang tersebut berperilaku seperti manusia. Mereka tidak dapat berpakaian, buang air besar-kecil secara tertib atau berbicara. Anna juga tidak dapat makan dan mengunyah makanannya sendiri, juga tidak dapat tertawa atau menangis. Setelah bersosialisasi dengan masyarakat, lambat laun mereka dapat mempelajari kemampuan yang dimiliki sebayanya. Namun, mereka tidak pernah terlihat wajar dan meninggal pada usia muda.[51]

 

3) Teori Social – Culture

Vygotsky dalam teorinya mengatakan bahwa kondisi sosial dan budaya mempengaruhi kognisi anak. Kognisi yang dimiliki oleh manusia menjadi pembawaan dalam dasar bersosialisasi dan berbahasa. Menurut Vygotsky bayi telah dipersiapkan dengan persepsi dasar, kemampuan untuk memperhatikan, dan kapasitas memori seperti yang ada pada binatang. Hal-hal tersebut berkembang pada 2 tahun pertama melalui kontak langsung dengan lingkungan. Perkembangan bahasa yang cepat mengarah pada perubahan dalam berpikir. Pemikiran Vygotsky yang telah diulas diatas lebih dikenal dengan Teori Sosiokultural.[52]

Bagi Vygotsky pembelajaran melibatkan perolehan tanda-tanda melalui pengajaran dan informasi dari orang-orang lain. Perkembangan melibatkan internalisasi anak terhadap tanda-tanda ini sehingga sanggup berfikir dan memecahkan masalah tanpa bantuan orang-orang lain. Kemampuan ini disebut pengaturan diri (self-regulation). [53]

 

4)  Bahasa sebagai Tahapan Penting Proses Pendidikan

Durkheim berpendirian bahwa pemikiran bergantung pada bahasa dan bahasa bergantung pada masyarakat. Jadi masyarakat menghasilkan instrumentalitas dasar bagi pemikiran.  Sebagai tambahan pula, dia berpendapat bahwa kategori-kategori fundamental bagi kognisi hanyalah kategori-kategori sosial sendiri yang telah di transformasikan dan telah disaring. Demikian pula halnya Dewey menganggap  individu sebagai proses perkembangan. Ia tertarik dengan proses sosial yang disajikan oleh revolusi industry. Diperlukan adanya kurikulum baru yang cocok dengan praktik seni dan disiplin dalam kehidupan industri. Jika manusia ingin hidup dalam masyarakat maka ia harus belajar sebagai seorang warga negara yang tumbuh di dalam sebuah interaksi dan hubungan yang kompleks. Melalui pendidikan individu, mereka diajarkan untuk membayangkan apa yang mengikuti dirinya dalam sebuah proses yang menghasilkan batasan-batasan perkembangan. Pendidikan adalah instrument penyesuaian sosial dan instrument politik serta rekonstruksi moral, sama seperti pemikiran yang merupakan instrument penyesuaian diri di dunia.[54]

Dewey mengartikan pendidikan adalah suatu tranmisi yang dilakukan melalui komunikasi. Komunikasi adalah proses dari penyatuan empiris dan proses modifikasi watak, hingga menjadi suatu keadaan pribadi. Hal ini dapat dikatakan bahwa setiap rancangan sosial memiliki bagian penting dari sebuah kelompok, dari yang tertua hingga yang termuda. Sebagai sebuah masyarakat yang sangat kompleks dalam struktur maupun sumber daya, membutuhkan pendidikan formal serta proses pembelajaran.[55]

Contoh:

Percakapan pribadi adalah suatu mekanisme yang ditekankan vigotsky untuk mengubah pengetahuan bersama menjadi pengetahuan pribadi. Vigotsky berpendapat bahwa anak-anak menyerapkan percakapan orang-orang lain dan kemudian menggunakan percakapan itu untuk membantu diri sendiri memecahkan masalah. Percakapan pribadi mudah dilihat dalam anak-anak kecil, yang sering berbicara dengan diri sendiri,khususnya ketika dihadapkan dengan tugas-tugas sulit. Kemudian, percakapan pribadi akhirnya tidak terdengar masih sangat berperan penting. Studi telah menemukan bahwa anak-anak yang melakukan banyak percakapan pribadi mempelajari tugas-tugas yang rumit dengan lebih efektif daripada anak-anak yang lain.[56]

C. Analisa dan Diskusi

1. Analisis Hakikat Manusia dalam Perspektif Pendidikan

Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang harus hidup bermasyarakat dan berinteraksi. Kewajiban untuk bersosialisasi inilah yang membuat manusia berbeda dari makhluk lain. Makhluk lain tidak pernah berpikir untuk membuat hidupnya lebih baik dari sebelumnya. Kainginan untuk berkembangng menuju arah yang lebih baik inilah yang kemudian menyebabkan manusia memerlukan pendidikan.

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya yang berlangsung sepanjang hayat. Manusia juga sudah ditakdirkan oleh Allah menjadi khalifah di muka bumi.

Manusia juga sudah ditakdirkan mendapat pendidikan. Hal ini dapat diinterpretasikan dari surat Al-Baqarah ketika Allah mengajarkan nama-nama benda kepada Adam sehingga membuat malaikat terdiam dari keraguannya. Di dalam hadis nabi juga telah disebutkan bahwa manusia pada dasarnya terlahir suci dan memiliki fitrah, lingkunganlah yang kemudian memberikan perubahan pada perilaku manusia tersebut. Ilmuwan barat juga merumuskan teori behaviorisme yang beranggapan bahwa manusia terlahir putih dan kosong seperti kertas, pendidikanlah yang kemudian memegang peranan membentuk pribadinya.

Dalam pendidikan terdapat banyak teori tentang hakikat manusia. Teori Empririsme menyebutkan bahwa manusia tergantung pada lingkungan. Namun, teori Nativisme menyebutkan sebaliknya, bahwa pendidikan sama sekali tidak berpengaruh terhadap manusia. Manusia memiliki bawaan sejak lahir berupa bawaan baik dan bawaan buruk.  Konvergensi adalah teori yang mengkompromikan keduanya. Bahwa manusia memiliki bawaan sejak lahir, namun pendidikan juga berperan penting terhadap perkembangan manusia. Teori Naturalisme hampir sama dengan konvergensi, namun teori ini menyatakan bahwa manusia hanya memiliki bawaan baik sejak lahir dan tidak memiliki bawaan buruk.

  1. 2.      Analisis Teori-teori Pendidikan

Ada empat teori utama pendidikan, yakni empirisme, nativisme, naturalism dan konvergensi. Teori empirisme ialah teori yang menyatakan bahwa manusia seperti kertas kosong, putih bersih dan tidak membawa bakat dari lahir. Pendidikan (lingkungan) lah yang mempengaruhinya.

Teori Nativisme berpendapat sebaliknya, bahwa manusia memiliki bawaan lahir dan pendidikan tidak memberikan pengaruh apapun terhadap manusia. Teori naturalism berpendapat bahwa manusia memiliki potensi baik dalam dirinya dan pendidikan membantu mengembangkan potensi baik tersebut. Teori konvergensi hamper sama dengan teori naturalism, hanya saja konvergensi berpendapat bahwa manusia memiliki potensi baik dan buruk.

3. Analisis Asal-usul Pendidikan dalam Perspektif Sosiologi

Seperti yang telah dikemukakan tadi bahwa pendidikan adalah bimbingan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah proses interaksi antara orang dewasa dengan orang yang lebih muda. Ilmu yang lebih khusus mempelajari proses interaksi adalah sosiologi.

Menurut Emile Durkheim, pendidikan adalah alat untuk mengembangkan kesadaran diri dan kesadaran sosial. Lester F. Ward mengatakan bahwa pendidikan adalah alat untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. John Dewey mengungkapkan bahwa pendidikan adalh proses masyarakat. Menurut Dewey, pendidikan adalah hidup itu sendiri. Oleh karena itu, proses pendidikan merupakan salah satu bentuk penyesuaian diri yang terus menerus berlangsung. Pendidikan harus tertuju pada efisiensi sosial atau kemanfaatan pada kehidupan sosial. Belajar atau berbuat diperoleh melalui pengalaman langsung yang disebut learning by doing. Sedangkan Ibnu Khaldun memandang pendidikan sebagai suatu aktifitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan jarak jauh yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan.

4. Analisis Teori Sosiologi tentang Pendidikan

Teori interaksi, yang banyak dibahas oleh tokoh-tokoh sosiologi mengungkapkan  bahwa tiap individu mempunyai perhatian pada individu lainnya. Lebih jauh, teori ini memandang aperistiwa di sekitar manusia dan reaksi manusia itu sendiri terhadap peristiwa tersebut. Aplikasinya ialah interaksi antara guru dan murid dan antara murid dengan murid lainnya di dalam kelas.

Vygotsky mengemukakan bahwa disamping guru, teman sebaya juga berpengaruh penting pada perkembangan kognitif anak. Hal inilah yang kemudian menyebabkan Vygotsky mencetuskan konsep ZPD (Zone Proximal Development) dan Scafholding. Ini berarti bahwa interaksi amat penting dalam proses pendidikan karena pada hakikatnya, pendidikan adalah interaksi itu sendiri.

Sosialisasi juga merupakan tahapan penting dalam pendidikan. Seorang manusia yang tidak bersosialisasi, tidak akan mencapai perkembangan yang sama dengan manusia sosialis. Berger mendefinisikan sosialisasi dengan proses seorang anak untuk menjadi anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat.

Kondisi sosial budaya juga merupakan faktor penting dalam pendidikan. Karena semakin beradab kondisi sosial di suatu daerah akan semakin memudahkan proses pendidikan. Durkeim, mengemukakan bahwa bahasa adalah proses pendidikan yang paling penting. Bahasa adalah hasil cipta manusia. Bahasa juga merupakan kunci sumber informasi. Dewey mengartikan pendidikan adalah suatu tranmisi yang dilakukan melalui komunikasi. Komunikasi adalah proses dari penyatuan empiris dan proses modifikasi watak, hingga menjadi suatu keadaan pribadi.

5. Diskusi (Dilaksanakan pada Kamis, 31 Maret 2011)

a.    M. Abdun Nafi’ Kurniawan

Pertanyaan: Dari sekian teori-teori pendidikan dalam perspektif sosiologi, menurut pemakalah, teori apa yang sesuai dengan sistem pendidikan dalam budaya indonesia?

Jawaban: Teori-teori seperti teori interaksi dan sebagainya memiliki konteks yang berbeda, tergantung situasi dan kondisi yang ada. Oleh karena Indonesia juga memiliki konteks budaya dan social yang beragam, teori yang digunakan juga menyesuaikan kondisi yang ada.

  1. Mushlihatul Ula

Pertanyaan: Bagaimana  pernyataan yang tepat untuk pendidikan di Indonesia saat ini “pendidikan untuk hidup atau hidup untuk pendidikan” ?

Jawaban: pendidikan untuk hidup bagi orang kapitalis dan mayoritas orang yang memaknai pendidikan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan. Dan hidup untuk pendidikan bagi orang yang idealis, yang menganggap pendidikan adalah hal paling urgen dan jalan untuk kehidupan akhirat.

  1. Mariyatul Qibtiyah

Pertanyaan: Berikan contoh salah satu teori sosiologi yang di UIN Maliki  Malang! Bagaimana hubungan teori sosiologi dengan teori pendidikan?

Jawaban: di kelas kita selalu berinteraksi, baik dalam berdiskusi atau interaksi antara dosen dan mahasiswa. Hubungan antara teori sosiologi dan teori pendidikan adalah bahwa pendidikan pada dasarnya merupakan proses interaksi. Pendidikan sendiri memiliki cakupan yang luas, salah satunya sosiologi.

  1. Nurul Hidayat

Pertanyaan: Menurut pemakalah, apakah sama belajar dengan pengalaman atau terdidik dengan pengalaman?

Jawaban: Perbedaan istilah di atas bersifat subyektif. Individu yang mengganggap bahwa istilah pembelajaran dan pendidikan adalah hal yang sama, maka ungkapan belajar dengan pengalaman atau terdidik dengan pengalaman merupakan hal yang sama. Tapi secara pribadi, pemakalah menganggap hal tersebut berbeda karena pendidikan memiliki cakupan yang lebih luas dari pembelajaran.

Tambahan:

Abdun Nafi’: perlu di bedakan antara pendidikan dengan belajar

Mariyatul qibtiyah: tidak setuju dengan adanya persamaan antara pendidikan dengan belajar

Adi Purwanto: perbedaan pendidikan dengan belajar. Pendidikan = formal, belajar= non formal

  1. Yanti Kamiarsih

Pertanyaan: Apa Teori pendidikan yang sesuai  dengan pendidikan Islam?

Jawaban: Islam menganggap manusia sejak lahir memiliki bawaan (potensi) tapi juga harus mendapatkan pendidikan. Hal ini sama dengan yang dikemukakan oleh teori konvergensi.

D.  Kesimpulan

1. Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk sosial dikarenakan kebutuhannya untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Oleh sebab itu pula, secara otomatis manusia memerlukan pendidikan. Pendidikan diperlukan untuk mengembangkan pribadi manusia menjadi individu yang lebih baik.

2. Perkembangan manusia itu sendiri memiliki banyak teori. Beberapa diantaranya adalah nativisme, empirisme, naturalisme dan konvergensi. Teori-teori tersebut membicarakan tentang hakikat manusia dalam perspektif manusia. Tentang apakah lingkungan memberikan pengaruh terhadap pendidikan manusia.

3. Dapat ditarik kesimpulan bahwa asal usul pendidikan berasal dari kebutuhan manusia terhadap kebudayaan dan kemuajuan peradaban. Kesimpulan ini dapat dikerucutkan menjadi kalimat di atas setelah mengamati definisi para tokoh tentang asal usul pendidikan.

4. Dalam perspektif sosiologi, pendidikan adalah proses sosial. Dengan demikian maka lingkungan amat berpengaruh dalam pendidikan. Beberapa teori sosiologi yang erat kaitannya dengan pendidikan adalah teori interaksi, teori sosialisasi, teori  sosial budaya dll.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Rujukan

 

Arifin, M. 1995. Kapita selekta Pendidikan (Islam dan Umum). Jakarta: Bumi Aksara.

Al-Barry, M. Dahlan.  Dkk. 2003. Kamus Induk Ilmiah. Surabaya: Taeget Press.

_________________. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola

Departemen Agama. 2005. Alquran dan Terjemahannya. Bandung: Diponegoro.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Dewey, John. 1972, Experience And Education, Colliers Books: New York, Alih Bahasa John De Santo Jakarta: Erlangga. 2007

Horton, Paul B. dan Hunt, Chester L. 2006. Sosiologi Jilid I Edisi VI, Penerjemah, Aminudin Ram dan Tirta Sobari. Jakarta: Erlangga

Hidayanto, 2007. Dwi Nugroho. Pemikiran Kependidikan; dari Filsafat ke Ruang Kelas, Jakarta: Transwacana Jakarta.

Hufad, Ahmad. 2007. Teori Sosiologi Pendidikan dalam buku Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Bag I  (Ilmu Pendidikan Teoritis). Bandung: Imperial Bhakti Utama.

Ibnu Khaldun, Abdurrahman. 2001. Muqaddimah Ibnu Khaldun. Terj. Ahmadie Thoha. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Ihsanudin, M.   2009. Pragmatisme Pendidikan, Telaah Atas Pemikiran John Dewey. http://indekos.tripod.com/id4.html// diakses tanggal 23 Maret 2011

Khan, Achmad Warid. 2002. Membebaskan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Istiwa.

Khaliq, Abdul dkk. 1999. Pemikiran Pendidikan Islam : Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Latif, Abdul. 2009. Pendidikan Bebasis Nilai Kemasyarakatan. Bandung: PT.Refika Aditama.

Oemar Hamalik. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara

Purwanto, Ngalim. 2003. Ilmu Pendidikan dan Praktis. Bandung: Rosdakarya.

Slavin, Robert. 2008. Psikologi Pendidikan Teori dan Praktek edisi VII jilid I, Jakarta: PT Indeks

Soekamto, Soerjono. 1988. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali.

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Suyitno, Tokoh-Tokoh Pendidikan Dunia (Dari Dunia Timur, Timur Tengah Dan Barat), (Bandung: UPI. 2009), hal 8.

Thoib, Ismail. 2008. Wacana Baru Pendidikan. Yogyakarta: Genta Press.

Tirtaraharja, Umar dan Sula, La. 2000. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Usman, Abu Bakar dan Surohim. 2005. Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam. Yogyakarta: Safina Insania Press.

Woolfolk, Anita. 2009. Educational Psicology. United State of America: Pearson Education. http://comunity.um.ac.id diakses pada selasa 23 Maret 2011 pukul 20.30, hal 55.

Zayadi, Ahmad. 2006. Manusia dan Pendidikan dalam Perspektif Alquran. Bandung : PSPM.


[1] Dwi Nugroho Hidayanto, Pemikiran Kependidikan; dari Filsafat ke Ruang Kelas, (Jakarta: Transwacana Jakarta, 2007), hal  4.

[2] M. Arifin, Kapita selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 71

[3] Ibid, hal. 72

[4] Ahmad Zayadi, Manusia dan Pendidikan dalam Perspektif Alquran, (Bandung : PSPM, 2006), hal 112.

[5] Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro, 2005), hal 7.

[6] Ahmad Zayadi, op.cit, hal 113

[7] Ibid

[8] Ibid, hal 114

[9] Ibid

[10] Ibid

[11] Achmad Warid Khan, Membebaskan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Istiwa, 2002), hal 62-63.

[12] Ismail Thoib, Wacana Baru Pendidikan, (Yogyakarta: Genta Press, 2008), hal. 20

[13] Umar Tirtaraharja dan La Sula, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 194.

[14] Ismail Thoib, op.cit.

[15] Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan dan Praktis, (Bandung: Rosdakarya, 2003), hal. 59.

[16] Ismail Thoib, op.cit. hal 22

[17] Umar Tirtaraharja dan La Sula, op.cit, hal. 196

[18] Ngalim Purwanto, op.cit, hal. 60

[19] Usman Abu Bakar dan Surohim, Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam, (Yogyakarta:Safina Insania Press, 2005), hal. 32

[20] Abdul Latif, Pendidikan Bebasis Nilai Kemasyarakatan (Bandung: PT.Refika Aditama, 2009), hal. 39

[21] Ismail Thoib, op.cit. hal 24

[22] Umar Tirtarahardja dan La Sula, op.cit, hal. 198.

[23] Abdul Latif, op.cit, hal. 39

[24] Ismail Thoib, op.cit. hal 26

[25] Ahmad Hufad, Teori Sosiologi Pendidikan dalam buku Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Bag I  (Ilmu Pendidikan Teoritis), (Bandung: Imperial Bhakti Utama, 2007), hal 221

[26] Ibid, hal 223

[27] Ahmad Hufad,  op.cit, hal 224

[28] Ibid, hal 230

[29] M. Ihsanudin,  2009, Pragmatisme Pendidikan, Telaah Atas Pemikiran John Dewey, http://indekos.tripod.com/id4.html// diakses tanggal 23 Maret 2011 pukul 20.30

[30] Suyitno, Tokoh-Tokoh Pendidikan Dunia(Dari Dunia Timur, Timur Tengah Dan Barat), (Bandung: UPI. 2009), hal 8.

[31] Abdurrahman Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Terj. Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, Cet. VI), Hlm 535.

[32] Abdul Khaliq, dkk. Pemikiran Pendidikan Islam : Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1999), Hal. 22.

[33] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka), hal 935.

[34] M. Dahlan. Al-Barry, dkk, Kamus Induk Ilmiah, (Surabaya: Taeget Press, 2003), hal. 767.

[35] M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,1994), hal. 746.

[36] Ahmad Hufad,  op.cit, hal 246

[37] Ibid, hal 247

[38] Ibid

[39] Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hal 47

[40] Ibid

[41] Ibid, hal 54-55

[42] Ibid, hal 55

[43] Soerjono Soekamto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali, 1988), hal 51

[44] Ibid. hal 59

[45] Ibid, hal 61

[46] Robert Slavin,  Psikologi Pendidikan Teori dan Praktek edisi VII jilid I, (Jakarta:PT Indeks 2008), hal 87.

[47] Paul B. Horton, Chester L. Hunt, Sosiologi Jilid I Edisi VI, Penerjemah, Aminudin Ram dan Tirta Sobari. (Jakarta: Erlangga, 2006), Hal, 99.

[48] Kamanto Sunarto, op.cit, hal 21.

[49] Ibid, hal 22.

[50] John Dewey, 1972, Experience And Education, Colliers Books: New York, Alih Bahasa John De Santo, (Jakarta: Erlangga, 2007), hal 12-13

[51] Ibid, hal 23.

[52] Anita Woolfolk. 2009. Educational Psicology. United State of America: Pearson Education. http://comunity.um.ac.id diakses pada selasa 23 Maret 2011 pukul 20.30, hal 55.

[53]Ibid,  Hal. 57.

[54] Ibid, hal 112

[55] Dewey, op.cit, 47-48

[56] Robert Slavin, op.cit, hal 60

SHOLAT JUMAT DAN SHOLAT JENAZAH

 

I. SHOLAT JENAZAH

a. Pengertian sholat jenazah

Sholat yang dikerjakan dengan empat kali takbir, dilakukan manakala jenazah belum dimakamkan. (abdurrahman ibn muhammad ‘aud al-jaziri: 450)

 

b. Hukum shalat jenazah

Hukum sholat jenazah ialah fardlu kifayah menurut kesepakatan empat madzhab (abdurrahman ibn muhammad ‘aud al-jaziri: 451)

 

c. Perbedaan ulama mengenai takbir dalam sholat jenazah

para ulama sepakat bahwa takbir dalam sholat jenazah ada empat kali. Namun yang menjadi perbedan adalah mengangkat tangan pada saat takbir dan bacaan yang dibaca setelah takbir. berikut adalah tabel tentang perbedaan mengangkat tangan saat takbir menurut imam madzhab (abdurrahman ibn muhammad ‘aud al-jaziri: 452-455)

 

 

HANAFI

MALIKI

SYAFI’I

HANBALI

Takbir I

Ya

Ya

Ya

YA

Takbir II

Tidak

Tidak

Ya

Ya

Takbir III

Tidak

Tidak

Ya

Ya

Takbir IV

Tidak

Tidak

Ya

Ya

 

Bacaan yang dibaca setelah takbir menutu imam madzhab

 

HANAFI

MALIKI

SYAFI’I

HANBALI

Takbir I

Pujian bagi Allah

Doa

Alfatihah

Ta’awudz & fatihah

Takbir II

Sholawat

Doa

Sholawat

Solawat

Takbir III

Doa untuk mayyit

Do’a bagi mayyit

Do’a bagi mayyit

Do’a bagi mayyit

Takbir IV

Do’a

 

d. Tata cara mendampingi seseorang saat sakarotul maut

1. mengajari mengucapkan tahlil

2. dihadapkan kiblat

3. menghadirkan keluuarga atau shabatnya yang dikenal sholih

4. memperbanyak doa

5. menjauhkan orang yang haid , nifas dan dalam keadaan junub atau apapun yang dibenci malaikat seperti benda-benda mewah

6. membaca yasin

7. mensugestikan kepada orang yang sekarat tentang persangkaan baik pada Allah bahwa Allah maha baik dan mengampuni dosa hambanya (Nor Hadi :2008: 105)

 

e. Tata cara merawat jenazah sebelum dikuburkan

1. memejamkan matanya

2. Mengumumkan kematiannya

3. memandikan jenazah

3. mengkafankan jenazah

4. memberi wewangian

5. menyolatkan

6. menguburkan (Nor Hadi,. 2008: 105)

 

f. Syarat sholat janazah

Bagi mayyit :

  1. Mayyit muslim
  2. Mayyit berada di tempat
  3. Sucinya mayyit
  4. Mayyit berada di depan
  5. Bukan mati syahid

Bagi musholli :

Sama dengan syarat sholat (abdurrahman ibn muhammad ‘aud al-jaziri: 455)

 

 

g. rukun shalat jenazah

  1. Niat (menurut maliki dan syafii) sedangkan menurut hanafi dan hanbali niat adalah syarat bukan rukun
  2. Takbirotul Ihrom
  3. Berdiri
  4. Do’a bagi mayyit

Salam setelah takbir yang keempat menurut tiga madzhab kecuali madzhab hanafi. (abdurrahman ibn muhammad ‘aud al-jaziri: 455)

 

h. Tata cara sholat janazah

menurut imam madzhab tata cara sholat janazah adalah (abdurrahman ibn muhammad ‘aud al-jaziri: 452-453)

 

Hanafi :

berdiri di depan dada mayyit → niat shalat janazah→ takbirotul ihrom dengan mengangkat tangan → membaca pujian → takbir tanpa mengangakat tangan → membaca shalawat atas nabi → takbir ketiga tanpa mengangkat tangan → berdoa untuk si mayyit → takbir keempat dengan tanpa mengangkat tangan → salam 2x (salam pertama menghadap kanan dengan niat salam bagi orang di sebelah kannanya dan salam kedua menghadap kiri dengan niat salam bagi orang di sebelah kirinya)

Malikiyah :

berdiri di depan dada mayyit (jika laki-laki) dan pusar (jika perempuan) → niat shalat janazah→ takbirotul ihrom dengan mengangkat tangan → membaca doa → takbir tanpa mengangakat tangan → berdoa → takbir ketiga tanpa mengangkat tangan → berdoa untuk si mayyit → takbir keempat dengan tanpamengangkat tangan → salam menghadap kanan dengan niat untuk keluar dari sholat

Syafii’yah:

berdiri di depan kepala mayyit (jika laki-laki) atau pusar (jika perempuan)  → niat shalat janazah→ takbirotul ihrom dengan mengangkat tangan → membaca taawudz dan alfatihah→ takbir mengangkat tangan → membaca shalawat atas nabi → takbir ketiga mengangkat tangan → berdoa untuk si mayyit → takbir keempat dengan mengangkat tangan → اللهم لا تحرمنا أجره ولا تفتنا بعده berdoa salam 2x (salam pertama menghadap kanan dengan niat salam bagi orang di sebelah kannanya dan salam kedua menghadap kiri dengan niat salam bagi orang di sebelah kirinya)

Hanabilah :

berdiri di dada mayyit  → niat shalat janazah→ takbirotul ihrom dengan mengangkat tangan → membaca taawudz dan alfatihah→ takbir mengangkat tangan → membaca shalawat atas nabi → takbir ketiga mengangkat tangan → berdoa untuk si mayyit → takbir keempat dengan mengangkat tangan → salam menghadap kanan

 

II. SHOLAT JUMAT

a. Pengertian Sholat Jumat

adalah sholat dua rokaat dilaksanakan pada waktu dzuhur di hari jumat (abdurrahman ibn muhammad ‘aud al-jaziri:333)

 

b. Hukum sholat jumat

Sholat jumat hukumnya fardlu bagi orang yang telah sempurna syarat-syaratnya menurut kesepakatan ulama madzhab (abdurrahman ibn muhammad ‘aud al-jaziri: 333)

 

c. Syarat Sholat Jumat

syarat-syarat sholat menurut imam madzhab adalah (abdurrahman ibn muhammad ‘aud al-jaziri: 335-336) :

hanafi:

syarat sholat jumat yang merupakan tambahan dari syart sholat terbagi dua:

  1. syarat wajib
    1. laki-laki
    2. merdeka
    3. sehat
    4. iqomat di tempat dilaksanakannya sholat jumat
    5. berakal
    6. baligh
    7. syarat sah
      1. berada di kota
      2. izin sulton
      3. masuk waktu shlat jumat
      4. khutbah
      5. pelaksanaan khutbah sblum sholat
      6. jamaah
      7. persetujuan imam

 

maliki:

syarat sholat jumat terbagi dua,

  1. syarat wajib

seperti syarat sholat dengan tambahan

  1. laki-laki
  2. merdeka
  3. tidak ada udzur
  4. bisa melihat
  5. bukan laki-laki yang tua
  6. bukan pada waktu panas/dingin yang sangat
  7. tidak mengkhawatirkan akan ada orang yang akan berbuat dzolim
  8. tidak engkhawatirkan harta (yang sempit) atau jiwanya
  9. muqim
  10. syarat sah
    1. telah menetapnya qoum pada wilayah tersebut
    2. hadirnya 12 orang selain imam
    3. imam mempunyai dua syarat : muqim dan khotib
    4. dua khutbah
    5. jamaah

Syafiiyah:

  1. Syarat wajib :

Syarat sah sholat ditambah dengan syarat yan telah disebutkan maliki kecuali takut dari orang yang dzolim ditembah dengan

  1. Iqomat
  2. Muqim dari tempat yang dekat
  3. Syarat sah
    1. Masuk waktu dengan yakin
    2. Pda tempat yang tetap
    3. Telah terpenuhi syarat wajib
    4. Minimal 40 orang
    5. Mendahulukan dua khutbah

Hanafiyah :

  1. Syarat wajib

Selain syarat untuk sholat ditambah dengan

  1. laki-laki
  2. merdeka
  3. tidak ada udzur
  4. bisa melihat
  5. bukan laki-laki yang tua
  6. bukan pada waktu panas/dingin yang sangat
  7. iqomat
  8. tidak mengkhawatirkan akan ada orang yang akan berbuat dzolim
  9. tidak engkhawatirkan harta (yang sempit) atau jiwanya

 

  1. Syarat sah
  2. Masuk waktu dengan yakin
  3. muqim
  4. Minimal 40 orang
  5. Mendahulukan dua khutbah

 

d. Waktu sholat jumat

Adalah waktu sholat dhuhur, yakni dai tergelincirnya matahari dari posisi tegak lurus terhadap benda. (abdurrahman ibn muhammad ‘aud al-jaziri: 333)

 

e. Khutbah Jumat

1. Rukun Khutbah Sholat jumat (abdurrahman ibn muhammad ‘aud al-jaziri: 346)

 

Menurut . hanafi :

Yang mutlaq adalah mengingat Allah baik dengan tasbih, takbir atau tahmid

Syafiiyah :

  1. Mengucap ‘hamdu lillah”
  2. Sholawat atas nabi
  3. Wasiyat untuk bertaqwadalam tiap-tiap dua khutbah
  4. Membaca satu ayat dari dua khutbah
  5. Do’a bagi orang mukmin

Malikiyah :

Memberi kabar gembira atau menakut-nakuti

Hanabilah:

  1. Alhamdulillah di awal tiap-tiap khutbah
  2. Sholawat
  3. Membaca ayat alquran
  4. Wasiyat denan taqwa

 

2. Syarat khutbah sholat jumat

a. didahulukan dari sholat jumat, kecuali maliki

b. niat khutbah menurut hanafi dan hanbali

c. dengan bahasa arab menurut tiga madzhab. Hanafi boleh tidak dengan bahasa arab

d. masuk waktu

e. dengan suara keras

f. antara khutbah dan sholat tidak terpisah dengan waktu yang lama (abdurrahman ibn muhammad ‘aud al-jaziri: 346)

 

f. Sunnah Jumat

  1. Khutbah diatas mimbar
  2. Mimbar terletak di sebelah kanan mihrob
  3. Duduk di atas mimbar sebelum khutbah terlebih dahulu
  4. Menyibukkan tangan kirinya dengan sesuatu seperti tongkat dsb (Nor Hadi,. 2008: 70-71)